Eksistensi masyarakat tradisional di Indonesia kini diambang kehancuran. Hal ini disebabkan oleh mulai hilangnya entitas semangat masyarakat persekutuan adat di sejumlah tempat yang diakibatkan oleh hegemini pemerintah pusat melalui sejumlah kebijakan penyeragaman tata kepemerintahan khususnya desa, yang terlihat jelas pada UU No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, sehingga terjadilah pengikisan bahkan pengrusakan budaya lokal. Adanya penyeragaman tata kepemerintahan ini menimbulkan sejumlah polemik diantaranya hilangnya referensi tata cara terbentuknya kepemimpinan lokal di tingkat desa yang pada dasarnya merupakan salah satu khazanah kekayaan bangsa. Hal ini diperparah dengan sejumlah celoteh yang mencela dari sebagian kalangan apabila kita bercermin dari sejarah hidup perjalanan bangsa yang dianggap “kuno” bahkan diidentikkan dengan mitos atau legenda belaka.
Pola Kepemimpinan Nusantara (Tempo Doeloe)
Bila kita telaah lebih jauh, ternyata terdapat sejumlah pandangan yang mencoba mengidentifikasikan pola-pola kepemimpinan melalui tradisi masyarakat nusantara Indonesia, salah satunya oleh Mochtar Naim yang membagi pola kepemimpinan masyarakat nusantara atas pola kepemimpinan jawa yang menjungjung tinggi nilai-nilai keserasian, keselarasan dan keseimbangan dengan menjunjung tinggi hirarkis antara raja dan rakyat, di mana kekuasaan merupakan sesuatu yang sifatnya adi kodrati; dan pola kepemimpinan melayu yang bercirikan demokratisasi; egaliter dan menghargai kritik yang berorientasi pada keahlian dan keunggulan mental spiritual dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan. Selain itu ada pula yang menambahkan pola kepemimpinan kapitan laut yang dianut oleh masyarakat maritim yang memiliki esensi dinamika dan profesionalitas yang fungsional.
Ketiga pola kepemimpinan ini pada dasarnya tersebar di seluruh Nusantara yang menurut sebagian kalangan mengalami kegagalan dalam penerapannya di karenakan hanya mengutamakan satu pola di atas pola yang lain sehingga menutup entitas pola kepemimpinan lainnya. Dengan demikian, dalam praksisnya tidak dapat dipisahkan antara pola yang satu dengan pola lainnya sehingga intergrasi bangsa dapat dipertahankan.
Pola Umum Kepemimpinan dan Legitimasi Menurut Alm Pikiran
Peursen dalam bukunya pernah menyajikan perkembangan kebudayaan berdasarkan alam pikiran. Pertama, Alam Pikiran Mistis yang menyatakan kosmos berada dalam satu wahana, di mana kekuasaan terpusat pada siapa saja yang memegang simbol-simbol kebesaran yang dianggap merupakan penyatuan kosmos sebagaimana yang berlaku pada pola kepemimpinan paku buana. Kedua, Alam Pikiran Ontologis yang memperjelas eksistensi antara subyek dan obyek, di mana entitas kepemimpinan didasarkan atas keluwesan/ kebebasan tapi tetap memegang teguh ikatan solidaritas persekutuan. Hal ini diidentikkan dengan pola kepemimpinan melayu yang menghargai otonomi dari suatu persekutuan terkecil namun tetap menjaga ikatan solidaritas dalam persekutuan yang lebih besar. Ketiga, Alam Pikiran Fungsional yang menekankan adanya prinsip saling membutuhkan sesuai dengan fungsi-fungsi yang melekat pada subyek dan obyek yang terkait di dalamnya. Hal ini diidentikkan dengan pola kepemimpinan kapitan laut yang di dalamnya ada hubungan fungsional yang menjadi legitimasi atas kepemimpinan yang dijalankan.
Bila ditelaah lebih jauh, masing-masing pola kepemimpinan yang mempunyai warna yang berbeda ternyata tergantung pada proses terbentuknya ikatan kebersamaan dalam kalangan masyarakat yang bersangkutan. Pertama, Ikatan Genealogis yang persekutuannya didasarkan atas pertalian darah. Hal inilah yang mendasari terbentuknya pola kepemimpinan paku buana (jawa). Kedua, Ikatan Teritorial yang persekutuan masyarakatnya dibangun atas dasar ikatan wilayah teritorial yang masing-masing mempunyai entitas yang berbeda namun disatukan oleh kepemimpinan yang mampu menyatukan berbagai entitas yang berbeda tersebut. Ikatan inilah yang mendasari terbentuknya pola kepemimpinan Manjinjing Alam (Melayu). Ketiga, Ikaan Fungsional yang merupakan faktor kuat lahirnya pola kepemimpinan kapitan laut, di mana ikatan tersebut terbentuk dari adanya hubungan fungsional antara anggota komunitas dengan prinsip saling membutukan.
Berdasarkan hal di atas, upaya-upaya untuk menemukan potensi kepemimpinan yang bersumber dari masyarakat Nusantara merupakan suatu alasan strategis yang didasarai oleh pemikiran rasional dan empirik yang tujuannya tidak lain adalah untuk mencapai tujuan bangsa diperlukan adanya suatu perubahan dalam pola pikir dan cara pandang dari yang selama ini dianut. Di mana berdasarkan rasionalitas yang selama ini mengagung-agungkan kebesaran negara-negara barat yang pada hakikatnya memiliki entitas yang berbeda dengan Indonesia, seyogyanya menerapkan pendekatan kepemimpinan berdasarkan pola yang berkembang di masyarakatnya. Sementara dari sudut pandang empirik yang sangat menekankan metode induksi dalam memahami permasalahan sangat menekankan petingnya entitas lokal dalam menunjang entitas nasional dengan mengutamakan kebebasan yang berbasiskan kedaulatan rakyat dalam pembangunan bangsa. Dengan demikian, melalui upaya penggalian pola kepemimpinan nusantara inilah nilai-nilai kepemimpinan, seperti keteladanan (pola paku buana), keluwesan (pola manjinjing alam), dinamika (pola kapitan laut) sangat diharapkan dapat mengisi dan mewarnai pola-pola kepemimpinan nasional dalam menghadapi era dekandensi moral yang turut ikut serta dalam globalisasi yang penuh dengan ketidakpastian.
No comments:
Post a Comment
Simpan komentar anda di sini?