Analisis Kebijakan; Ruang Lingkup, Fokus dan Lokus
"Sebagai penguasa jika bekerja berlandaskan asas kebenaran, walaupun tanpa Perintah(maksudnya Peraturan Hukum), rakyatpun akan melakukan secara sadar. Namun jika sebagai penguasa tidak benar, maka biarpun ada Peraturan hukum pun, rakyat tidak sudi menaatinya." Kalimat di atas merupakan sebuah pernyataan bijak dari Confucius. Di Indonesia, pernyataan ini telah menjadi justifikasi para elite politik kita dalam mendapatkan simpati masyarakat agar diberikan dukungan/ suara dengan I’tikad bahwa jikalau mereka diberikan kesempatan, maka mereka akan berbuat untuk rakyat. Setiap tindak tanduk mereka akan dibuktikan dengan pengabdian melalui penyampaian aspirasi rakyat yang kemudian akan dijewantahkan dalam kebijakan.
Berbicara mengenai kebijakan, maka terdapat singkronisasi antara otoritas sang pemegang kebijakan dengan aspirasi yang berasal dari lingkungan. Banyak setiap keputusan yang diambil mengenai berbagai hal, namun tidak semuanya dapat dikategorisasikan sebagai sebuah kebijakan. Suatu keputusan dapat dikategorisasikan sebagai suatu kebijakan apabila ada otoritas yang dimiliki oleh sang pembuat kebijakan. Otoritas inilah yang membuat kebijakan tersebut memiliki dasar yang kuat untuk dilaksanakan dan ditaati oleh masyarakat. Suatu kebijakan dapat bersumber dari suatu isu yang berkembang dalam kehidupam masyarakat, atapun kebijakan tersebut yang melahirkan berbagai isu yang akan berujung pada implikasi, apakah kebijakan tersebut masih relevan atau perlu direvisi. Hal inilah yang menurut penulis menjustifikasi bahwa konsep kebijakan confusius tidak berlaku di Indonesia.
Untuk lebih memahami mengenai kebijakan dalam hal ruang lingkupnya, lokus dan fokus, maka penulis akan menganalisis sebuah kebijakan (studi kasus melalui media massa) dengan topik,” Pajak Daerah”.
Judul : “Pajak Daerah Diundangkan”
Sumber : Harian Fajar Edisi Rabu, 19 Agustus 2009
Dari sumber kasus kebijakan melalui media massa yang penulis lampirkan, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa kebijakan yang dibicarakan dalam kasus tersebut termasuk dalam ruang lingkup kebijakan publik/ Negara, dengan fokusnya di bidang ekonomi dan lokusnya mengenai kebijakan fiskal (perpajakan). Analisis lebih jauh mengenai ruang lingkup, fokus dan lokus dari kebijakan tersebut adalah sebagai berikut.
Kebijakan mengenai pajak tersebut sebenarnya merupakan kebijakan pengganti dari Undang-Undang yang ada sebelumnya, yaitu UU No. 18/1997 Jo 34/2000 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRB). Hal ini berawal dari isu yang berkembang mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, di mana terdapat ketidakjelasan dalam aturan tersebut tentang hal-hal apa saja yang dapat dikenakan pajak dan retribusi oleh daerah. Selain itu juga berkembang isu mengenai banyaknya daerah yang memungut pajak dan retribusi yang cukup tinggi dalam berbagai hal untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerahnya (PAD). Hal ini terjadi dikarenakan pemerintah daerah merasa bahwa pajak dan retribusi merupakan sumber utama PAD.
Adanya ketidakjelasan aturan mengenai PDRD tersebut mengakibatkan kesenjangan vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta kesenjangan horizontal antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Dikarenakan pemerintah daerah merasa minimnya anggaran yang diberikan oleh pemerintah pusat, maka berbekal kebijakan otonomi daerah, berbagai daerah berlomba-lomba memungut pendapatan yang besar dari pajak dan retribusi, sekalipun tidak diatur dalam undang-undang desentralisasi fiskal yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Berkembangya isu tersebut membuat pemerintah pusat sebagai pemegang otoritas tertinggi atas kebijakan fiskal merasa perlu untuk merevisi aturan mengenai PDRD tersebut, sehingga lahirlah RUU mengenai PDRB tahun 2006. Setelah sekian lama mengalami penggodokan, maka pada tanggal 18 Agustus 2009 RUU tersebut menjadi kebijakan setelah diundangkan.
Kebijakan di atas menurut hemat penulis merupakan kebijakan public/ Negara dikarenakan kebijakan tersebut mempunyai implikasi kepada semua orang (umum), dengan daerah sebagai titik tolak pengimplementasian kebijakannya. Dalam hal ini, kebijakan mengenai PDRD tersebut nantinya akan berdampak pada kehidupan sosial perekonomian masyarakat. Dikarenakan kebijakan tersebut berdampak pada kehidupan perekonomian dalam hal ini hak pemerintah daerah untuk memungut pendapatan dan kewajiban masyarakat untuk membayarnya, maka kita dapat mengatakan bahwa focus kebijakan ini adalah ekonomi, sekalipun tidak dapat dipungkiri memiliki dampak sosial yang luas sedangkan lokusnya ialah inti dari kebijakan tersebut yakni kebijakan desentralisasi fiskal yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi Daerah.
Jadi berdasarkan hasil analisis penulis di atas, maka penulis kembali menyimpulkan bahwa kebijakan yang dikaji memiliki ruang lingkup kebijakan publik dengan fokusnya di bidang ekonomi serta lokusnya mengenai desentralisasi fiskal, yaitu Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
http://www.djpk.depkeu.go.id/news/1/tahun/2009/bulan/08/tanggal/28/id/423/
No comments:
Post a Comment
Simpan komentar anda di sini?