Tuesday, November 3, 2009

Fungsi Pajak Tanah Dalam Meningkatkan Pembangunan Penataan Ruang Kota di Indonesia


A.Latar Belakang
Perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat pada era kontemporer pada kelanjutannya berdampak pada besarnya jumlah urbanisasi karena berbagai fasilitas kehidupan dan lapangan kerja berada pada pusat-pusat kota yang juga diakibatkan oleh arus globalisasi yang menjadikan saluran informasi dan teknologi menjadi begitu besar. Besarnya laju petumbuhan urbanisasi diperkirakan bukan hanya terjadi di Negara-negara maju saja, namun hamper seluruh Negara dan kota-kota di dunia mengalami pertumbuhan yang pesat, Philip M. Hauser dan Robert Gardner seperti yang dikutip oleh Janet L. Abu Lughod mengindikasikan bahwa prosentase penduduk dunia yang tinggal di daerah urban atau perkotaan pada tahun 2025 adalah 62,5%, dan rata-rata Negara-negara di Asia termasuk juga Indonesia mencapai 53,7%.[1]
Dengan meningkatnya laju masyarakat yang berdatangan ke kota secara otomatis menimbulkan tata kota yang terkait dengan masalah pertanahan yang dalam hal ini digunakan dalam berbagai keperluan masyarakat, dengan semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan tanah perkotaan pada akhirnya menimbulkan kepemilikan yang tidak teratur yang berakibat pada mahalnya biaya yang ditawarkan pemerintah dalam membangun sarana publik.
Permasalahan petanahan yang paling mendasar untuk ditalaah adalah yang berkaitan dengan masalah penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.[2] dengan penataan dan penyelesaian permasalahan di atas akan didapat suatu pengaturan yang sistematis mengenai tata guna tanah dan akhirnya berdampak terhadap pemberlakuan pajak tanah (Pajak Bumi dan Bangunan) yang efisien. Perlu diketahui juga bahwa kegagalan administrasi perpajakan dalam bidang pertanahan akan mempengaruhi kepada penerimaan (revenue) pajak yang pada akhirnya akan menghambat pembangunan kota secara keseluruhan, beberapa hal dalam administrasi pajak pertanahan yang perlu diperhatikan antara lain:
1.       Pendataan objek kena pajak, subjek pajak;
2.       Penilaian objek kena pajak;
3.       Penetapan pajak;
4.       Penerimaan, penagihan;
5.       Keberatan;
6.       Perubahan atau mutasi nama pemilikan/pengawasan tanah dan bangunan.[3]
Pentingnya masalah pertanahan seperti yang dikemukakan di atas yang berpengaruh kepada efektifitas pendapatan dari pajak pertanahan juga telah terdapat dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan bahwa disatu pihak tanah mempunyai arti sebagai “milik pribadi” yang secara filsofis menjelaskan hubungan hukum antara subyek dan objeknya, dilain pihak juga menggambarkan “fungsi sosial” yang menjelaskan hubungan subjek , objek dan lingkungannya secara luas.[4]
Oleh karena itu pengaturan dan penataan tanah perlu ditertibkan dalam rangka mencapai ketertiban pertanahan, disamping itu juga kebijakan penataan tanah tetntunya berpengaruh secara langsung terhadap penerimaan pajak (revenue) yang selanjutnya apabila penerimaan pajak tanah tidak berjalan optimal permasalahan bukan hanya terhambatnya pembangunan dikarenakan dana yang masuk berkurang, tetapi juga tidak teraturnya penataan tata guna tanah yang berkaitan dengan kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan yang pada akhirnya berakibat pada tidak teraturnya penataan tata ruang kota. Beberapa hal diatas seperti tata guna tanah, pajak tanah dan tata ruang kota adalah variable yang memiliki esensi yang sama.
Terkait dengan hal itu, adalah isu desentralisasi dan otonomi daerah yang juga menjadi isu sentral. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah memberikan tekanan yang signifikan mengenai kewenangan daerah dalam mengelola dan mengembangkan potensinya masing-masing, dengan UU tersebut di sisi lain juga telah merubah paradigm baru yang pada awalnya bersifat Top Down kini menjadi Bottom Up yaitu perencanaan yang bersifat partisipatif.
Ketentuan dalam UU No.32 Tahun 2004 seperti yang tercantum pada bab X pasal 199 bahwa kewenangan pengelolaan kawasan perkotaan menjadi tanggung jawab pemerintah kota dan kabupaten. Dengan penekanan yang demikian maka saat ini pemerintah daerah lebih memiliki ruang yang luas untuk mengefektifkan pengelolaan pajak tanah sebagai salah satu elemen dan fungsi pembiayaan pembangunan kota, lebih lanjut dengan adanya pajak tanah dapat memberikan peranan yang signifikan.
B. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas maka terdapat dua permasalahan yang mengemuka, antara lain:
1.       Bagaimanakah pengaturan pajak tanah di Indonesia terkait dengan penataan ruang kota
2.       Peranan apakah yang dimiliki oleh pajak tanah dalam proses pembangunan tata kota?
C. Tinjauan Teoritis mengenai Pajak
Bergulirnya konsep negara hukum kesejahteraan yang selanjutnya disebut dengan welfare state (negara kesejahteraan) merupakan respon terhadap konsep negara hukum lama yang menimbulkan kepincangan sosial dengan konsepsi liberalisme dan individualisme.[5] Secara etimologi welfare state berarti “Government Responsibility for Social Welfare”[6] (tanggung jawab pemerintah dalam kesejahteraan masyarakat) yang pada awalnya istilah tersebut digunakan pada perang dunia II untuk menunjuk kepada negara yang bersebrangan konsep dengan negara komunis seperti NAZI Jerman.[7]
Pada perkembangannya konsep welfare state menjadi konsep baru yang berarti bahwa negara memiliki fungsi utama untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, negara dalam hal ini memberikan jaminan dan terlibat sepenuhnya dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.[8] Berdasarkan hal tersebut maka terdapat unsur-unsur welfare state yang dikemukakan oleh F.J Stahl[9] yang antara lain:
1.       Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia ;
2.       Adanya pembagian kekuasaan;
3.       Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum
4.       Adanya peradilan administrasi
Konsep welfare state yang seperti ini kemudian juga diadopsi menjadi bagian dari asas bernegara di Indonesia, hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke III Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Penegasan dengan dicantumkannya klausul tersebut maka secara jelas Indonesia adalah negara yang berdsar kepada hukum (rechstaat).

Daripada itu terdapat sebuah konsekuensi logis dari pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk memanifestasikan dan menjabarkan konsepsi negara hukum tersebut dengan cara mengusahakan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh dari berbagai aspek kehidupan. Namun pencapaian tujuan tersebut perlu didukung dengan beberapa hal dan diantaranya adalah pemungutan pajak sebagai sarana untuk membiayai penyelenggaraan negara dalam rangka pemenuhan kesejahteraan sebagaimana tersebut di atas.[10]
Adanya esensi pajak dalam pembangunan melahirkan istilah Fiscal Policy yang berasal dari istilah hukum pajak internasional yang kemudian di Indonesia diperkenalkan oleh Soemitro Djojohadikoesoemo yang menyatakan bahwa “fiscal policy is an instrument of development must therefore have a simultaneous purpose of directly finding the necessary funds for public investment, or indirectly channeling private savings to productive sectors, as wel as of preventing the kind of spending that impedes development. Summarily it can be stated that fiscal policy as a instrument of development must be based on a combination of progressively in high direct and indirect taxation plus flexibility within the system for exemption and incentives to stimulate desirable private investment” (kebijakan fiskal adalah sebuah instrumen perkembangan harus memiliki tujuan yang berkesinambungan dalam menghimpun dana yang dibutuhkan dalam investasi publik. Atau mengalirkan dana swasta kepada sektor-sektor produktif, yang ditujukan untuk mencegah pengwluarn dana yang menghambat pembangunan. Kesimpulannya dapat dikatkan bahwa kebijakan fiskal adalah instrumen pembangunan harus didasarkan kepada kombinasi yang progresif baik dalam bentuk pajak langsung dan tidak langsung dalam sebuah sistem yang flexible seperti kebijakan pembebasan dan insentif pajak untuk mendorong investasi swasta).[11]
Salah satu wacana yang sangat krusial semenjak Indonesia merdeka adalah masalah otonomi daerah, yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang memberikan kewenangan tertentu kepada pemerintahan di daerah. Hal tersebut merupakan salah satu subsistem dalam negara kesatuan Republik Indonesia,[12] dan juga dalam perencanaan awal negara kesatuan ini juga melahirkan UU yang pertama mengenai otonomi daerah yang tertera dalam UU No 1 Tahun 1945 Tentang Komite Nasional Daerah.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai makna otonomi yang berkaitan dengan aspek implisit maupun eksplisit, artinya dalam tataran explisit otonomi daerah adalah sebuah hubungan yang erat antara pusat dan daerah dalam berbagai hal. Ditinjau dari makna implisit merupakan tugas negara dalam mensejahterakan dan memakmurkan rakyat, karena secara konkrit dengan adanya otonomi akan memberikan kesempatan daerah mengembangkan potensinya karena daerah lebih mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan dan prioritas apa yang harus didahulukan dalam hal pembangunan.[13]
Dengan berkembangnya masyarakat Indonesia dan meluasnya wacana otonomi dengan lahirnya UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka titik berat otonomi berada pada daerah tingkat II yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, dan sesuai dengan penjelasan dari UU tersebut pada dasar pemikiran sub B bahwa:
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Begitu pula menilik pengertian Desentralisasi, maka menurut Ateng Syafrudin[14]Desentralisasi dalam arti luas terbagi dalam:
a. Staatkundige atau Politieke Desentralisatie, yaitu kewenangan membuat peraturan dan kewenangan membuat keputusan atau mengurus
b. Ambtelijke Decsntralisatie atau Deconcentratie, dan dibagi dua, yaitu: Teritoriale Decentralisatie dan Functionere Decentralisatie
Seperti halnya pemerintah pusat, pemerintah daerah pun dalam membangun wilayahnya memerlukan elemen-elemen penunjang yang salah satunya ialah pajak, dan dari sekian banyak jenis pajak adalah pajak tanah yang kemudian menjadi salah satu sentra utama dalam pembangunan tata kota.
Kota yang dimaksud dala tulisan ini ialah kawasan perkotaan seperti pengertian yang tercantum dalam Pasal 1 Nomor 25 Undang-undang No.26 Tahun 2007 Rentang Penataan Ruang yang berbunyi “Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
UU No.12 Tahun 1985 tentang PBB sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.12 Tahun 2000, telah mengatur tentang objek, subjek, tarif pajak, dasar pengenaan dan cara menghitung pajak serta penagihan, keberatan dan banding serta pembagian hasil PBB.
Penerapan UUPBB tidak dapat dilepaskan dari sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia. Pemungutan PBB diatur dalam hukum administrasi perpajakan yang berlaku di Indonesia. Pemungutan PBB diatur dalam hukum administrasi perpajakan (tax administration) yang dilakukan oleh aparatur perpajakan terkait dengan kebijakan perpajakan pemerintah (land based tax policy) dan undang-undang PBB yang merupakan peraturan dasar tentang pengenaan pajak atas bumi dan bangunan.[15]
Menilik dari sejarah pengenaan pajak tanah di Indonesia pada realitanya sudah ada sejak zaman VOC (Verenigde oost indies compagnie) dan baru mulai abad XVI saat masuknya pengaruh agama Islam, sebagian kerajaan-kerajaan di daerah pesisir Indonesia yang merupakan pusat persebaran agama Islam[16]
Beranjak kepada masa sesudah kolonial Belanda, pengaturan masalah pajak tanah diatur dalam Undang-undang No.4 Tahun 1952 (lembaran negara 1952 Nomor 43) kemudian setelah adanya Tax Reform pada tahun 1983 pajak bumi dan bangunan diatur melalui undang-undang No.12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan akhirnya disempurnakan melalui perubahan Undang-undang No.12 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan
D. Pembahasan
1. Pengaturan Pajak Tanah (Pajak Bumi dan Bangunan) di Indonesia
Pada akhir tahun 1983 pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan baru yang berkaitan dengan reformasi perpajakan di Indonesia atau dikenal juga dengan sebutan Tax reform. Selanjutnya seiring dengan perubahan kebijakan tersebut lahirlah Undang-undang No.12 Tahun 1985 yang diubah dengan Undang-undang No.12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Perubahan secara menyeluruh atas perundang-undangan pajak oleh pemerintah di Indonesia dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan keuangan Negara dengan mengadakan:
1. Penyederhanaan Jumlah Jenis Pajak;
2. Penyederhanaan tarif pajak;
3. Penyederhanaan tata cara pajak;
4. Penyederhanaan aparatur perpajakan mengenai:
a. Prosedur;
b. Disiplin;
c. Mental Pegawai.[17]
Dengan adanya pengaturan UU PBB maka secara otomatis telah meletakan dasar bagi pembaharuan sistem pungutan pajak tanah dan bangunan di Indonesia. Penerapan UUPBB di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sitem perpajakan yang berlaku di Indonesia. Pemungutan pajak PBB diatur dalam hukum administrasi perpajakan (tax administration) yang dilakukan oleh aparatur perpajakan terkait dengan kebijakan perpajakan pemerintah (land based tax policy) dan undang-undang PBB yang merupakan peraturan dasar tentang pengenaan pajak atas bumi dan bangunan.
2. Penerapan Pajak PBB
Meskipun UUPBB memiliki nilai-nilai substantive yang begitu penting dalam masalah perpajakan di bidang tanah dan bangunan, namun berbagai kendala masih ditemui dalam konteks pelaksanaannya. Beberapa hal yang dianggap menjadi permasalahan utama ialah factor objek dan subjek pajak, factor administrasiperpajakan, koordinasi antara instansi terkait, dan perselisihan mengenai pengenaan pajak tersebut. Terkait dengan pemerintah daerah dalam menata tata kota tentunya permasalahan diatas menjadi pokok utama dalam isu pajak PBB di daerah sebagaimana halnya juga menjadi isu utama dalam tataran pemerintah pusat, disamping itu juga isu penataan kota dan peranan pajak tanah memiliki peranan penting dalam pembangunan tata kota.
Permasalahan dalam penerapan pajak tananh di atas kemudian secara otomatis akan menghambat proses pembangunan kota tidak hanya dari segi keteraturan tata guna tanah semata melainkan juga pemasukan yang berkurang kepada pemerintah yang dampaknya berdampak kepada kelancaran pembangunan itu sendiri.
3. City Planning Tax (Pajak Perencanaan Kota)
Berkaitan dengan pajak tanah sebagai elemen penting dalam keberhasilan pembangunan kota maka dikenal kemudian istilah city planning tax (pajak perencanaan kota). Secara definitive pengertian city planning tax ialah “city planning tax is a special purpose tax levied to pay for the expenses required to carry out urban planning works and/or land readjustment projects” (pajak perencanaan kota ialah pajak yang ditujukan untuk tujuan khusus untuk membiayai kebutuhan perencanaan dan pembangunan kota/masyarakat urban serta untuk mengatur pertanahan).[18] Apalagi dengan akan diundangkannya undang-undang Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang sekaligus diatur di dalamnya mengenai pengalihan 2 pajak PBB dari 5 jenis pajak PBB kepada pemerintah daerah yang antara lain, Pajak PBB Pedesaan dan Pajak PBB Perkotaan. Dengan adany komposisi kebijakan pengalihan tersebut maka daerah akan memiliki pendapatan asli baru untuk membangun daerahnya.[19]
Pajak PBB pada pelaksanaannya memiliki perangkat kebijakan pertanahan yang antara lain:
a. Pendaftaran Tanah dan pemberian Hak atas tanah
Selain untuk memelihara ketertiban dan keteraturan tata guna tanah, pendaftaran dan pemberian hak atas tanah juga memberikan kepastian mengenai orang/badan pemegang hak yang dapat juga disebut kepastian subjeknya serta memberikan keapstian tentang letak batas luas bidang-bidang yang didaftarkan (kepastian objeknya)
Pendaftaran tanah di Indonesia diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 Pasal 19 Ayat (2) yang meliputi:
1). Pengukura, pemetaan, dan pembukuan tanah;
2). Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut;
3). Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
b. Konsolidasi Tanah
konsolidasi tanah memiliki definisi yaitu suatu teknik yang d, igunakan untuk menata kembali penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah.[20]atau dalam pengertian yang lain ialah “Land Consolidation Means to unite and reregister the lands, which were divided because of heritage, sales or irrigation canals.(konsolidasi tanah memiliki arti menyatukan dan mendaftarkan tanah kembali, yang sebelumnya terbagi-bagi karena digunakan sebagai warisan, penjualan atau irigasi).[21]
Konsolidasi tanah di Indonesia terbagi atas dua hal, yaitu konsolidasi tanah pedesaan dan tanah perkotaan. Konsolidaasi tanah pedesaan ditujuakan untuk menoptimalisasikan tanah pertanian agar tidak hilang, sedangkan di kota diperuntukan agar menjadi kawasan tertib dan teratur untuk lebih menjaga ekosistem/lingkungan hidup yang lebih baik.[22] Instrumen konsolidasi tanah adalah instrumen yang sangat penting dalam pengaturan tata guna tanah sehingga target penanggulangan masalah pelaksanaan pajak PBB dapat dihadapi, sehingga dengan tertibnya kepemilikan, pemguasaan dan penggunaan tanah maka pendapatan dari pajak PBB akan mudah tersalurkan ke dalam kas pemerintah yang kemudian akan digunakan sebagai biaya pembangunan tata kota. Selain itu dengan adanya konsolidasi tanah maka akan didapat manfaat antara lain:[23]
1. Setiap bidang memperoleh akses terhadap jalan lingkungan
2. Bentuk tanah menjadi teratur sesuai sifat dan kebutuhannya
3. Luas tanah ditata sesuai dengan kebutuhan
4. Tata letak kawasan disesuaikan dengan kebutuhan akan pola yang baik
5. Kawasan yang ditata dapat dirancang sebagai suatu unitusaha secara terpadu sejak awal sehingga lebih terencana dan teratur

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa dengan adanya instrumen kebijakan konsolidasi tanah maka penerapan pajak PBB akan semaik mudah dan pada akhirnya akam memudahkan pemerintah daerah dalam memungut pajak sesuai dengan kapasitasnya dalam rangka pembangunan tata kota.
4.Pajak Tanah dan Pembangunan Kota
Berdasarkan estimasi terhadap pertumbuhan jumlah penduduk yang menyatakan bahwa sekitar 40 % penduduk akan tinggal di kota khususnya di negara-negara berkembang.[24]pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang begitu besar kemudian menyebabkan peningkatan kepadatan di aerah perkotaan yang akhirnya menimbulkan biaya yang sangat besar yang harus disediakan oleh pemerintah untuk menyediakan pelayanan yang memadai bagi masyarakat seperti kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan lain-lain
Dengan adanya penerimaan (revenue) dari sektor pajak tanah diharapkan dapat membantu berbagai kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. Pada dasarnya pajak PBB di indonesia khususnya di daerah tidak banyak memberikan kontribusi, namun meskipun demikian hal tersebut dapat dioptimalkan melalui beberapa elemen kebijakan tanah dan optimalisasi pengalokasian dana yang proporsional dan tepat sasaran. Sebagai studi perbandingan , di Amerika terdapat juga pajak PBB yang dikenal dengan property Tax dan memiliki peran yang sangat tepat dalam menghimpun dana bagi pemerintah daerah. Biasanya kegiatan pemerintah daerah memberikan manfaat atau keuntungan bagi harta tidak bergerakyang ada di wilayah jurisdiksinya serta ada pertauran antara pajak yang dibayar dan keuntungan yang diperoleh.[25]
Biasanya pajak properti dipergunakan pertama-tama untuk membiayai dinas kepolisian dan pemadam kebakaran kaena kedua pelayanan umum tersebut langsung berhubungan dengan perlindungan serta menjaga nilai harta tersebut. Kemudian hasil pajak tersebut juga digunakan antara lain untuk:
1. Membayar pemeliharaan taman-taman, museum perpustakaan dan lain-lain
2. Membiayai pembuatan jalan-jalan menuju ke tempat pelayanan masyarakat
3. Mendirikan infrastruktur penting seperti sekolah, jembatan,. Gedung pemerintahan, dan lain-lain.
Pada tataran yang ideal seperti yang terjadi di negara-negara maju, pajak tanah atau PBB sangat berarti dalam pembangunan karena meeka mampu menerapkannya secara proporsional dan tepat sasaran. Oleh karena itu apabila pajak tanah diberlakukan secara baik, transparan dan benar-benar digunakan untuk kepentingan dan pembangunan kota maka pajak tanah akan menjadi salah satu elemen penting dan memegang peranan yang utama dalam proses pembangunan.
E. Kesimpulan
Dari uraian di atas maka akan di dapat kesimpulan yang antara lain:
1. Pengaturan pajak tanah di Indonesia seperti yang diatur oleh UU No.12 Tahun 2000 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan telah memberikan beberapa perangkat kebijakan yang berusaha untuk menata kembali penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan tanah dengan berbagai cara salah satunya adalah melalui konsolidasi tanah.
2. Perangkat kebijakan pajak tanah tersebut secara langsung akan berpengaruh kepada beberapa hal yang antara lain dapat menertibkan penggunaan dan penataan tata guna tanah yang akan menunjang kesesuaian tata kota dan dengan terlaksananya pemberlakukan pajak tanah akan memberikan pemasukan (revenue) khususnya kepada pemerintah daerah untuk membangun kota
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arlo Woorley, The Art of Valuation, Lexington Books, Massachusetts, D.C Heath Company, Toronto, 1978
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH UII, Yogyakarta: 2005
Hasan Zaini Z, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 197
Haryo Sasongko, Desentralisasi dan Otonomi Daerah pada Pembangunan Perkotaan, dalam “Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21”, URDI dan Yayasan Sugijanto Soegijoko, Jakarta, 2005
Janet L. Abu Lughod, Changing Cities, Harper Collin, New York, 1991
Parlindungan, A.P, Beberapa Pelaksanaan Kegiatan UUPA, C.V Mandar Maju, Bandung, 1992

No comments:

Post a Comment

Simpan komentar anda di sini?