Sunday, November 29, 2009


Teman-teman Pemerintahan Unhas angkatan 07.....
yang tidak ada dalam foto artinya ndak datang waktu
pengambilan gambar....
sory yach bro...

Sistem Pemerintahan Indonesia (Menyingkap Tangisan Letih Anak Bangsa)

Sistem pemerintahan yang diterapkan oleh suatu negara, akan sangat menentukan kiprah negara tersebut dalam menjawab tantangan perkembangan zaman. Jikalau demikian, maka jika sistem pemerintahan yang diterapkan oleh suatu negara tepat, maka pelaksanaan segala kegiatan politik kenegaraan akan mencapai tujuan yang maskimal, begitupun sebaliknya. Namun, sebelum kita membahas lebih jauh tentang hal di atas, terlebih dahulu kita hendaknya memahami sistem pemerintahan yang ada di dunia dan yang manakah yang diterapkan di Indonesia.
Pada dasarnya ada tiga Sistem Pemerintahan yang perah diterapkan di berbagai belahan dunia, yaitu :
 Sistem Pemerintahan Oleh Satu Orang (Monarki – Tirani)
 Sistem Pemerintahan Oleh Sedikit Orang (Aristokrasi – Oligarki)
 Sistem Pemerintahan Oleh Banyak Orang (Demokrasi – Mobokrasi)
Kita ketahui bersama bahwa Indonesia saat ini telah menganut Sistem Pemerintahan Demokrasi, yaitu kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, jika kita mengkaji lebih jauh tentang realita yang ada, tentunya kita akan melihat banyak perbedaan yang ada diantara sistem demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia dengan negara – negara lainnya.
Suatu hal yang membedakan pelaksanaan demokrasi yang ada di Indonesia adalah terletak pada falsafah yang dianut oleh Indonesia, dalam hal ini karena Indonesia berideologi pancasila, maka sistem pemerintahan demokrasi yag dianut oleh Indonesia adalah Sistem Pemerintahan Demokrasi Pancasila, yaitu demokrasi kerakyatan yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, beradab, berpersatuan serta menjunjung tinggi nilai nilai keadilan dan kemanusiaan.
Dewasa ini penerapan pemerintahan yang berdasarkan kekuasaan rakyat saat ini dapat kita lihat melalui kegiatan politik dan pemerintahan negara, misalnya melalui Pemilu dan penerapan prinsip Good Governance.
 Pada Pemilu sehubungan keterkaitannya dengan demokrasi, Indonesia telah melewati dua fase sistem pemilihan kepala negara/ daerah. Pada fase pertama, Indonesia berada dalam tahapan Demokrasi Perwakilan, dimana rakyat meilih wakil – wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif dan kemudian wakil-wakilnya inilah yang kemudian memilih kepala negara dan kepala daerah. Pada fase kedua (saat ini), Indonesia sedang berasa dalam tahapan Demokrasi Langsung, dimana rakyalah yang menentukan wakil – wakilnya dan kepala negara/ daerah.
 Pada penerapan Prinsip Good Governance, Indonesia saat ini menganut lima asas yang saat ini kenal dengan transparansi, akuntabilitas, supremasi hukum, dan partisipasi yang jika kita lihat secara sekilas sangat memihak pada rakyat.
Penerapan sistem demokrasi yag tentunya sudah cukup lama ini seharusnya akan membawa banyak dampak yang positif bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Namun, realita yang ada nampaknya berbicara lain, dimana demokrasi pancasila yang mengutamakan kekuasaan rakyat malah bukannya membuat rakyat semakin sejahtera namun membuat rakyat semakin berada dalam jeratan penderitaan. Hari ini kita bisa melihat bahwa dimana – mana rakyat berteriak bahkan mengungkapkan keluh kesahnya melalui deraian air mata dan hembusan nafas yang mengharapkan datangnya suatu hembusan penghabisan hanya untuk menuntut haknya dan meminta keadilan, namun segala kebijakan yang dihasilkan justru berpihak pada kepentingan penguasa. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa aspek, diantaranya :
 Aspek Politik, adanya suatu aturan yang menguntungkan penguasa dan sangat menyulitkan rakyat. Misalnya di dalam pilkada, rakyat senantiasa terbebani oleh aturan admisnistratif yang mengharuskan setiap pemilih yang boleh memilih hanyalah yang mempunyai kartu pemilih, padahal masih banyak yang tidak kebagian. Hal ini tentunya menunjukkan suatu bentuk pengekangan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu. Selain itu juga Undang – undang penentuan calon wakil rakyat sepertinya berpihak pada penguasa, dimana calon yang memiliki nomor urut satu memiliki prioritas utama untuk menjadi wakil rakyat ketimbang calon yang berada di nomor urut yang belakang meskipun mendapat suara mayoritas.
 Aspek Sosial, dalam hal ini dimana – mana rakyat berteriak menuntut perbaikan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Namun, pemerintah seakan – akan menjawab panggilan nurani itu dengan hati yang beku serta rasionalitas yang telah terbungkam oleh keserakahan. Di tengah – tengah kegelisahan rakyat untuk menutup mata pengharapan agar secepatnya dia dipanggil oleh sang pencipta, para kaum munafik itu malah asik – asiknya untuk menuntut kenaikan gaji, fasilitas negara yang serba mewah dan perjalanan politik ke luar negeri padahal hanya untuk rapat. Selain itu juga di dalam dunia pendidikan, para generasi muda penerus bangsa khususnya mahasiswa yang nantinya akan membawa suatu perubahan dan pencerahan bagi bangsa malah dipersulit dengan akan disahkannya RUU BHP yang sangat memberatkan mahasiswa.
 Aspek ekonomi, bisa kita lihat dimana – mana banyak sekali pembangunan gedung – gedung mewah dan mall – mall yang sangat sulit untuk dibendung. Dilain pihak, masyarakat senantiasa tertindas oleh semakin banyaknya penggusuran karena alasan kepentingan yang pada dasarnya tidak manusiawi dan mematikan perekonomian rakyat sehingga semakin tingginya tingkat kemiskinan dan kemelaratan di negara ini. Sementara itu, para pejabat yang mengatasnamakan wakil rakyat malah bersembunyi di balik jubahnya yang hina itu yang selama ini membuat mata hatinya buta.
Menyingkapi hal di atas tentunya kita sebagai bagian dari insan perwujudan perubahan tidak bisa tinggal diam dan bersikap seolah – olah tidak tahu menahu tentang permasalahan yang ada. Selain itu juga, hendaknya mereka yang merasa wakil - wakil rakyat hendaknya mengembalikan demokrasi pancasila sesuai dengan nilai – nilai yang ada, yaitu yang berpihak pada rakyat.
Akankah Penindasan terus berlanjut ?
Akankah kita hanya bisa terdiam oleh ketakutan dan akhirnya menyerah pada kemunafikan ?
”Biarlah waktu yang akan menjawabnya”

Sistem Pemerintahan Indonesia (Menyingkap Tangisan Letih Anak Bangsa)

Sistem pemerintahan yang diterapkan oleh suatu negara, akan sangat menentukan kiprah negara tersebut dalam menjawab tantangan perkembangan zaman. Jikalau demikian, maka jika sistem pemerintahan yang diterapkan oleh suatu negara tepat, maka pelaksanaan segala kegiatan politik kenegaraan akan mencapai tujuan yang maskimal, begitupun sebaliknya. Namun, sebelum kita membahas lebih jauh tentang hal di atas, terlebih dahulu kita hendaknya memahami sistem pemerintahan yang ada di dunia dan yang manakah yang diterapkan di Indonesia.
Pada dasarnya ada tiga Sistem Pemerintahan yang perah diterapkan di berbagai belahan dunia, yaitu :
 Sistem Pemerintahan Oleh Satu Orang (Monarki – Tirani)
 Sistem Pemerintahan Oleh Sedikit Orang (Aristokrasi – Oligarki)
 Sistem Pemerintahan Oleh Banyak Orang (Demokrasi – Mobokrasi)
Kita ketahui bersama bahwa Indonesia saat ini telah menganut Sistem Pemerintahan Demokrasi, yaitu kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, jika kita mengkaji lebih jauh tentang realita yang ada, tentunya kita akan melihat banyak perbedaan yang ada diantara sistem demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia dengan negara – negara lainnya.
Suatu hal yang membedakan pelaksanaan demokrasi yang ada di Indonesia adalah terletak pada falsafah yang dianut oleh Indonesia, dalam hal ini karena Indonesia berideologi pancasila, maka sistem pemerintahan demokrasi yag dianut oleh Indonesia adalah Sistem Pemerintahan Demokrasi Pancasila, yaitu demokrasi kerakyatan yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, beradab, berpersatuan serta menjunjung tinggi nilai nilai keadilan dan kemanusiaan.
Dewasa ini penerapan pemerintahan yang berdasarkan kekuasaan rakyat saat ini dapat kita lihat melalui kegiatan politik dan pemerintahan negara, misalnya melalui Pemilu dan penerapan prinsip Good Governance.
 Pada Pemilu sehubungan keterkaitannya dengan demokrasi, Indonesia telah melewati dua fase sistem pemilihan kepala negara/ daerah. Pada fase pertama, Indonesia berada dalam tahapan Demokrasi Perwakilan, dimana rakyat meilih wakil – wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif dan kemudian wakil-wakilnya inilah yang kemudian memilih kepala negara dan kepala daerah. Pada fase kedua (saat ini), Indonesia sedang berasa dalam tahapan Demokrasi Langsung, dimana rakyalah yang menentukan wakil – wakilnya dan kepala negara/ daerah.
 Pada penerapan Prinsip Good Governance, Indonesia saat ini menganut lima asas yang saat ini kenal dengan transparansi, akuntabilitas, supremasi hukum, dan partisipasi yang jika kita lihat secara sekilas sangat memihak pada rakyat.
Penerapan sistem demokrasi yag tentunya sudah cukup lama ini seharusnya akan membawa banyak dampak yang positif bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Namun, realita yang ada nampaknya berbicara lain, dimana demokrasi pancasila yang mengutamakan kekuasaan rakyat malah bukannya membuat rakyat semakin sejahtera namun membuat rakyat semakin berada dalam jeratan penderitaan. Hari ini kita bisa melihat bahwa dimana – mana rakyat berteriak bahkan mengungkapkan keluh kesahnya melalui deraian air mata dan hembusan nafas yang mengharapkan datangnya suatu hembusan penghabisan hanya untuk menuntut haknya dan meminta keadilan, namun segala kebijakan yang dihasilkan justru berpihak pada kepentingan penguasa. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa aspek, diantaranya :
 Aspek Politik, adanya suatu aturan yang menguntungkan penguasa dan sangat menyulitkan rakyat. Misalnya di dalam pilkada, rakyat senantiasa terbebani oleh aturan admisnistratif yang mengharuskan setiap pemilih yang boleh memilih hanyalah yang mempunyai kartu pemilih, padahal masih banyak yang tidak kebagian. Hal ini tentunya menunjukkan suatu bentuk pengekangan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu. Selain itu juga Undang – undang penentuan calon wakil rakyat sepertinya berpihak pada penguasa, dimana calon yang memiliki nomor urut satu memiliki prioritas utama untuk menjadi wakil rakyat ketimbang calon yang berada di nomor urut yang belakang meskipun mendapat suara mayoritas.
 Aspek Sosial, dalam hal ini dimana – mana rakyat berteriak menuntut perbaikan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Namun, pemerintah seakan – akan menjawab panggilan nurani itu dengan hati yang beku serta rasionalitas yang telah terbungkam oleh keserakahan. Di tengah – tengah kegelisahan rakyat untuk menutup mata pengharapan agar secepatnya dia dipanggil oleh sang pencipta, para kaum munafik itu malah asik – asiknya untuk menuntut kenaikan gaji, fasilitas negara yang serba mewah dan perjalanan politik ke luar negeri padahal hanya untuk rapat. Selain itu juga di dalam dunia pendidikan, para generasi muda penerus bangsa khususnya mahasiswa yang nantinya akan membawa suatu perubahan dan pencerahan bagi bangsa malah dipersulit dengan akan disahkannya RUU BHP yang sangat memberatkan mahasiswa.
 Aspek ekonomi, bisa kita lihat dimana – mana banyak sekali pembangunan gedung – gedung mewah dan mall – mall yang sangat sulit untuk dibendung. Dilain pihak, masyarakat senantiasa tertindas oleh semakin banyaknya penggusuran karena alasan kepentingan yang pada dasarnya tidak manusiawi dan mematikan perekonomian rakyat sehingga semakin tingginya tingkat kemiskinan dan kemelaratan di negara ini. Sementara itu, para pejabat yang mengatasnamakan wakil rakyat malah bersembunyi di balik jubahnya yang hina itu yang selama ini membuat mata hatinya buta.
Menyingkapi hal di atas tentunya kita sebagai bagian dari insan perwujudan perubahan tidak bisa tinggal diam dan bersikap seolah – olah tidak tahu menahu tentang permasalahan yang ada. Selain itu juga, hendaknya mereka yang merasa wakil - wakil rakyat hendaknya mengembalikan demokrasi pancasila sesuai dengan nilai – nilai yang ada, yaitu yang berpihak pada rakyat.
Akankah Penindasan terus berlanjut ?
Akankah kita hanya bisa terdiam oleh ketakutan dan akhirnya menyerah pada kemunafikan ?
”Biarlah waktu yang akan menjawabnya”
Analisis Kebijakan; Ruang Lingkup, Fokus dan Lokus
"Sebagai penguasa jika bekerja berlandaskan asas kebenaran, walaupun tanpa Perintah(maksudnya Peraturan Hukum), rakyatpun akan melakukan secara sadar. Namun jika sebagai penguasa tidak benar, maka biarpun ada Peraturan hukum pun, rakyat tidak sudi menaatinya." Kalimat di atas merupakan sebuah pernyataan bijak dari Confucius. Di Indonesia, pernyataan ini telah menjadi justifikasi para elite politik kita dalam mendapatkan simpati masyarakat agar diberikan dukungan/ suara dengan I’tikad bahwa jikalau mereka diberikan kesempatan, maka mereka akan berbuat untuk rakyat. Setiap tindak tanduk mereka akan dibuktikan dengan pengabdian melalui penyampaian aspirasi rakyat yang kemudian akan dijewantahkan dalam kebijakan.
Berbicara mengenai kebijakan, maka terdapat singkronisasi antara otoritas sang pemegang kebijakan dengan aspirasi yang berasal dari lingkungan. Banyak setiap keputusan yang diambil mengenai berbagai hal, namun tidak semuanya dapat dikategorisasikan sebagai sebuah kebijakan. Suatu keputusan dapat dikategorisasikan sebagai suatu kebijakan apabila ada otoritas yang dimiliki oleh sang pembuat kebijakan. Otoritas inilah yang membuat kebijakan tersebut memiliki dasar yang kuat untuk dilaksanakan dan ditaati oleh masyarakat. Suatu kebijakan dapat bersumber dari suatu isu yang berkembang dalam kehidupam masyarakat, atapun kebijakan tersebut yang melahirkan berbagai isu yang akan berujung pada implikasi, apakah kebijakan tersebut masih relevan atau perlu direvisi. Hal inilah yang menurut penulis menjustifikasi bahwa konsep kebijakan confusius tidak berlaku di Indonesia.
Untuk lebih memahami mengenai kebijakan dalam hal ruang lingkupnya, lokus dan fokus, maka penulis akan menganalisis sebuah kebijakan (studi kasus melalui media massa) dengan topik,” Pajak Daerah”.

Judul : “Pajak Daerah Diundangkan”
Sumber : Harian Fajar Edisi Rabu, 19 Agustus 2009

Dari sumber kasus kebijakan melalui media massa yang penulis lampirkan, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa kebijakan yang dibicarakan dalam kasus tersebut termasuk dalam ruang lingkup kebijakan publik/ Negara, dengan fokusnya di bidang ekonomi dan lokusnya mengenai kebijakan fiskal (perpajakan). Analisis lebih jauh mengenai ruang lingkup, fokus dan lokus dari kebijakan tersebut adalah sebagai berikut.
Kebijakan mengenai pajak tersebut sebenarnya merupakan kebijakan pengganti dari Undang-Undang yang ada sebelumnya, yaitu UU No. 18/1997 Jo 34/2000 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRB). Hal ini berawal dari isu yang berkembang mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, di mana terdapat ketidakjelasan dalam aturan tersebut tentang hal-hal apa saja yang dapat dikenakan pajak dan retribusi oleh daerah. Selain itu juga berkembang isu mengenai banyaknya daerah yang memungut pajak dan retribusi yang cukup tinggi dalam berbagai hal untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerahnya (PAD). Hal ini terjadi dikarenakan pemerintah daerah merasa bahwa pajak dan retribusi merupakan sumber utama PAD.
Adanya ketidakjelasan aturan mengenai PDRD tersebut mengakibatkan kesenjangan vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta kesenjangan horizontal antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Dikarenakan pemerintah daerah merasa minimnya anggaran yang diberikan oleh pemerintah pusat, maka berbekal kebijakan otonomi daerah, berbagai daerah berlomba-lomba memungut pendapatan yang besar dari pajak dan retribusi, sekalipun tidak diatur dalam undang-undang desentralisasi fiskal yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Berkembangya isu tersebut membuat pemerintah pusat sebagai pemegang otoritas tertinggi atas kebijakan fiskal merasa perlu untuk merevisi aturan mengenai PDRD tersebut, sehingga lahirlah RUU mengenai PDRB tahun 2006. Setelah sekian lama mengalami penggodokan, maka pada tanggal 18 Agustus 2009 RUU tersebut menjadi kebijakan setelah diundangkan.
Kebijakan di atas menurut hemat penulis merupakan kebijakan public/ Negara dikarenakan kebijakan tersebut mempunyai implikasi kepada semua orang (umum), dengan daerah sebagai titik tolak pengimplementasian kebijakannya. Dalam hal ini, kebijakan mengenai PDRD tersebut nantinya akan berdampak pada kehidupan sosial perekonomian masyarakat. Dikarenakan kebijakan tersebut berdampak pada kehidupan perekonomian dalam hal ini hak pemerintah daerah untuk memungut pendapatan dan kewajiban masyarakat untuk membayarnya, maka kita dapat mengatakan bahwa focus kebijakan ini adalah ekonomi, sekalipun tidak dapat dipungkiri memiliki dampak sosial yang luas sedangkan lokusnya ialah inti dari kebijakan tersebut yakni kebijakan desentralisasi fiskal yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi Daerah.
Jadi berdasarkan hasil analisis penulis di atas, maka penulis kembali menyimpulkan bahwa kebijakan yang dikaji memiliki ruang lingkup kebijakan publik dengan fokusnya di bidang ekonomi serta lokusnya mengenai desentralisasi fiskal, yaitu Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.



http://www.djpk.depkeu.go.id/news/1/tahun/2009/bulan/08/tanggal/28/id/423/

Revitalisasi Budaya dan Otonomi

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia terkenal akan keberagaman budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakatnya. Namun fenomena yang paling menarik ialah adanya usaha pemerintah untuk menyeragamkan budaya tersebut melalui iming-iming budaya nasional yang bertujuan untuk menyatukan di bawah simbol bhineka tunggal ika, yang pada hakikatnya tidak lain merupakan hasil pengaruh dari kolonialisme dan akulturasi budaya yang mengedepankan entitas etnis tertentu. Hal ini kemudian menyebabkan sejumlah pergolakan di berbagai daerah yang berujung pada konflik internal sebagaimana yang pernah terjadi di Poso, Aceh, Papua dan di sejumlah tempat lainnya. Padahal pada esensinya mekanisme lokal yang dijewantahkan melalui nilai budayanya mampu untuk menyelasaikan permasalahan lokal, namun malah dihegemoni dengan spektrum sentralisasi budaya.
Polemik di atas tampaknya mendapatkan angin segar dari kebijakan Desentralisasi dengan konsekuensi logisnya Otonomi Daerah, di mana hal ini dapat menjadi momen bagi komunitas lokal untuk kembali menegakkan harkat dan martabat entitas lokalnya dengan mengedepankan nilai-nilai budaya masing-masing. Dengan demikian, desentralisasi budaya merupakan suatu kemutlakan apabila pemerintahan ingin mengedepankan pemberdayaan potensi lokal yang berbasiskan keberagaman.
Oleh karena itu, solusi kongkrit untuk mewujudkannya tidak lain ialah dengan melakukan sejumlah upaya revitalisasi pemerintahan yang berbasiskan kearifan lokal. Pertama, melalui penerapan otonomi asli yang dikonsisikan dengan kondisi sosial masyarakat lokal sebagai pengakuan terhadap entitas adat. Kedua, melalui pengembalian kedaulatan rakyat melalui penerapan demokratisasi yang berbasiskan potensi. Ketiga, penerapan otonomi budaya yang merupakan suatu kemutlakan dengan menerapkan kebijakan pemerintahan yang berbasiskan budaya dan kearifan lokal guna menopang kemandirian lokal dalam rangka memperkuat konstalasi nasional. Berdasarkan hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa tata pemerintahan daerah seyogyanya diselaraskan dengan budaya lokal, sehingga berbagai unsur seperti keterwakilan politik, kekayaan khazanah budaya yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dapat tercermin dalam pelaksanaannya.

Revitalisasi Budaya dan Otonomi

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia terkenal akan keberagaman budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakatnya. Namun fenomena yang paling menarik ialah adanya usaha pemerintah untuk menyeragamkan budaya tersebut melalui iming-iming budaya nasional yang bertujuan untuk menyatukan di bawah simbol bhineka tunggal ika, yang pada hakikatnya tidak lain merupakan hasil pengaruh dari kolonialisme dan akulturasi budaya yang mengedepankan entitas etnis tertentu. Hal ini kemudian menyebabkan sejumlah pergolakan di berbagai daerah yang berujung pada konflik internal sebagaimana yang pernah terjadi di Poso, Aceh, Papua dan di sejumlah tempat lainnya. Padahal pada esensinya mekanisme lokal yang dijewantahkan melalui nilai budayanya mampu untuk menyelasaikan permasalahan lokal, namun malah dihegemoni dengan spektrum sentralisasi budaya.
Polemik di atas tampaknya mendapatkan angin segar dari kebijakan Desentralisasi dengan konsekuensi logisnya Otonomi Daerah, di mana hal ini dapat menjadi momen bagi komunitas lokal untuk kembali menegakkan harkat dan martabat entitas lokalnya dengan mengedepankan nilai-nilai budaya masing-masing. Dengan demikian, desentralisasi budaya merupakan suatu kemutlakan apabila pemerintahan ingin mengedepankan pemberdayaan potensi lokal yang berbasiskan keberagaman.
Oleh karena itu, solusi kongkrit untuk mewujudkannya tidak lain ialah dengan melakukan sejumlah upaya revitalisasi pemerintahan yang berbasiskan kearifan lokal. Pertama, melalui penerapan otonomi asli yang dikonsisikan dengan kondisi sosial masyarakat lokal sebagai pengakuan terhadap entitas adat. Kedua, melalui pengembalian kedaulatan rakyat melalui penerapan demokratisasi yang berbasiskan potensi. Ketiga, penerapan otonomi budaya yang merupakan suatu kemutlakan dengan menerapkan kebijakan pemerintahan yang berbasiskan budaya dan kearifan lokal guna menopang kemandirian lokal dalam rangka memperkuat konstalasi nasional. Berdasarkan hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa tata pemerintahan daerah seyogyanya diselaraskan dengan budaya lokal, sehingga berbagai unsur seperti keterwakilan politik, kekayaan khazanah budaya yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dapat tercermin dalam pelaksanaannya.

Posisi dan Peran Militer dalam Konstelasi Politik Indonesia (Analisis Andil Militer dalam Mempengaruhi Kebijakan Politik Indonesia)

“Suatu peradaban bagaikan mahluk organis: lahir, berkembang, matang, dan pada akhirnya mengalami proses kehancuran. Dari puin-puing kehancuran itu, terjadi kelahiran kembali peradaban yang baru, ini dimungkinkan karena terdapat kelompok minority creative yang mampu menjawab tantangan zaman.”
Pernyataan di atas adalah penggalan dari pernyataan Ibnu Khaldun yang dikutip oleh Arnold Thoynbee dalam bukunya yang berjudul Challenge and Response Theory. Pernyataan ini ternyata terbantahkan jikalau dikaitkan dengan realita di Indonesia, di mana sudah sepuluh tahun jalannya reformasi di Indonesia, tapi perubahan yang diinginkan masyarakat tidak kunjung tercapai. Para aktivis reformasi yang merasa bagian dari minority creative tersebut ternyata hanya dapat memberikan harapan hampa kepada masyarakat, bahkan menjadi penindas-penindas baru yang lupa akan tanggung jawabnya sebagai agen of change, agen of sosial control, and moral force. Momen reformasi malah dijadikan ajang pertarungan elit-elit yang namanya saat itu sedang naik daun karena perannya dalam gerakan reformasi.
Belenggu zaman Orde Baru jika ditelaah dari segi pertarungan politik telah membawa dampak yang signifikan dalam proses demokrasi di Indonesia. Fakta riilnya dapat kita lihat pada masa Orde Baru, di mana selama 32 tahun jalannya pemerintahan, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar peran-peran penting dalam pemerintahan didominasi oleh orang-orang militer, baik dari posisi menteri hingga direktur beberapa BUMN. Memang jika dipandang dari segi tugas dan fungsi, maka militer memegang peranan penting dalam konstelasi politik yang ada di Indonesia. Namun, jikalau tugas dan fungsi yang diemban oleh militer disalahgunakan sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru, maka saat itu pula militer telah keluar dari kaidah-kaidah demokrasi yang dijunjung tinggi di bangsa ini.
Pada masa Orde Baru, posisi militer telah keluar jauh dari garis idealnya, di mana militer bukan hanya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, tetapi juga turut serta menentukan berbagai keputusan politik yang ada di Indonesia. Hal ini diakibatkan beberapa faktor, pertama, militer sangat dekat dengan kekuasaan. Pada saat itu memang ditekankan bahwa komando militer berada di tangan pemegang jabatan politik tertinggi yakni presiden. Namun karena kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan, maka militer dimanfaatkan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara memberikan jabatan kepada para petinggi-petingginya sehingga dengan mudahnya militer dapat mengeluarkan kebijakan politik sesuai dengan kehendak militer tersebut. Studi kasus ketika masa pemerintahan Soeharto, para direktur BUMN seperti pertamina dan posisi menteri yang sangat mendukung jalannya kebijakan, diisi oleh orang-orang kepercayaannya yang sebagian besar berasal dari kalangan militer.
Kedua, tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru politik kepartaian yang berkembang saat itu adalah politik terpusat dengan hanya mengizinkan tiga partai besar untuk ikut dalam pertarungan politik di Indonesia, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada saat itu partai Golkarlah yang menjadi partai yang senantiasa memenangkan lima pemilihan berturut-turut, karena selama masa 32 tahun tersebut suara Golkar didominasi oleh kaum sipil dalam hal ini PNS dan militer. Dominasi tersebut bila dikaji lebih jauh ternyata diselubungi dengan ancaman yang tegas bahwa jika dari kalangan sipil ada yang tidak berpihak pada partai pemerintah dalam hal ini Golkar, maka harus bersiap-siap untuk kehilangan jabatan PNS tersebut. Selain itu juga, bila ada dari kalangan militer yang menjadi oposisi pemerintah, maka karirnya dalam militer tersebut akan terhambat.
Ketiga, dalam menjalankan kekuasaannya presiden Soeharto menggunakan pola otoriter dengan militer sebagai alat untuk memperlancar setiap aktivitas politik presiden beserta jajarannya. Hal di atas dapat kita lihat dari fakta ketika ada yang melakukan gerakan bawah tanah untuk melawan pemerintah, misalnya dari kalangan mahasiswa, maka metode yang dipakai adalah pendekatan persuasive di mana orang-orang yang melawan tersebut diberikan beasiswa bahkan dijanjikan tempat dalam kekuasaan ketika selesai. Jikalau metode di atas tidak dapat meredam perlawanan tersebut, maka preside melalui komando militernya melakukan penculikan dan melenyapkan orang-orang yang menjadi dalang dari perlawanan tersebut.
Keempat, sebenarnya menguatnya peran militer dalam sistem politik Indonesia bukan hanya dikarenakan oleh kuatnya posisi militer dalam kekuasaan kepemerintahanan, tetapi lebih disebabkan oleh kurangnya supremasi sipil dalam melakukan input dan kontrol. Hal ini tidak terlepas dari metode intervensi yang dilakukan oleh alat pertahanan negara tersebut, sehingga kondisi sosial politik kemasyarakatan yang terbangun seakan-akan damai dan demokratis, tetapi diselimuti penderitaan akibat hak-hak mengeluarkan aspirasi dikekang.
Berdasarkan fenomena di atas dapat kita lihat bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, militer berada pada posisi yang tidak seharusnya, di mana pada masa itu militer telah berada pada posisi politik strategis, tepatnya militer bermain pada posisi input dan proses dalam sistem politik Indonesia. Ketika itu, jalannya pemerintahan diatur dengan paradigma militeristik, nalar klinis, dan metode intervensi secara totaliter.
Paradigma militeristik yang mendasari jalannya pemerintahan dapat kita lihat dari setiap kebijakan politik yang diambil menggunakan sudut pandang layaknya strategi militer. Contohnya untuk mempertahankan kekuasaan pada masa Orde Baru tersebut sempat lahir kebijakan ABRI Masuk Desa (AMD). Hal tersebut nampaknya alat pertahanan dan keamanan negara tersebut memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Namun dibalik itu semua, segala sendi-sendi kehidupan masyarakat mulai dari desa telah disusupi oleh militer. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya distrik-distrik militer yang dibangun di tingkat desa, yang kesemuanya itu disiapkan untuk memantau setiap gerak gerik masyarakat dan bersiap-siap untuk megamankan pemerintahan jikalau terjadi hal-hal yang membahayakan konstelasi politik negara. Selain itu juga strategi militer dalam menempatkan posisi pasukan pada posisi yang strategis untuk memenangkan pertempuran juga menjadi paradigma untuk menempatkan orang-orang yang dipercaya dan mempunyai kredibilitas terhadap presiden turut mewarnai konstelasi pemerintahan yang dijalankan selama 32 tahun tersebut.
Nalar Klinis dimaksudkan dalam menjalankan pemerintahan dan mempertahankannya digunakan logika klinis. Analoginya ketika ada penyakit yang susah disembuhkan dan telah menggerogoti bagian tubuh penderita, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan menghilangkan bagian tubuh yang terinfeksi tersebut. Oleh karena itu tidak jarang kita lihat begitu banyak terjadi penculikan dan penghilangan nyawa masyarakat sipil yang melakukan pemerontakan, karena mereka dianngap sebagai penyakit yang harus dihilangkan agar tidak menggerogoti masyarakat lainnya. Hal di atas mengakibatkan lahirnya kebijakan tembak di tempat kepada siapa saja yang dianggap membahayakan jalannya pemerintahan, karena kekuasaan untuk memberikan perintah penembakan bukan saja berada pada presiden, tetapi juga berada pada setiap pimpinan militer dari disrik bawah hingga atas. Dengan demikian dapat kita analisa faktor penyebab mampunya suatu pemerintahan dapat eksis dalam jangka waktu yang lama bahkan dapat menciptakan kondisi sosial kemasyarakatan yang seakan-akan stabil.
Intervensi secara totaliter diraksiskan dengan berbagai kebijakan penyeragaman-penyeragaman dari pemerintahan desa hingga pusat. Bentuk penyeragaman yang terjadi dapat dilihat dari sistem pemerintahan yang dijalankan di tiap daerah yang hamper sama antara yang satu dengan yang lainnya dengan metode sentralisasi. Dalam hal ini tiap daerah tidak punya kekuasaan untuk mengatur daerahnya masing-masing bahkan rata-rata yang menjadi pemimpin daerah adalah dari orang-orang militer yang notabene berkecimpung dalam partai pemerintah (Golkar). Selain itu juga contoh kongkrit pentingnya militer pada masa pemerintahan saat itu dapat kita lihat dari penyusunan APBN yang sebagian besar dialokasikan untuk biaya pertahanan dan keamanan.
Puncak menguatnya peran militer dalam konstelasi politik Indonesia dapat kita lihat pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, di mana pada saat itu mulai terjadi perpecahan internal di kubu militer, misalnya yang dilakukan oleh pembesar-pembesar militer seperti Jenderal Wiranto yang tidak mengindahkan perintah presiden untuk mengamankan pemerintahan sehingga terjadilah reformasi yang menumbangkan rezim totalitarianisme tersebut. Sebenarnya, pemerintahan saat itu mulai dapat dikendalikan kalau saja tidak terjadi perpecahan internal di kubu militer, bahkan berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan seperti kebijakan daerah istimewa dan reshuffle cabinet ternyata juga tidak dapat mempertahankan pemerintahan.
Runtuhnya rezim yang telah memerintah cukup lama tersebut ternyata tetap meninggalkan bekas yang menunjukkan kuatnya peran militer dalam konstelasi politik Indonesia jikalau dilihat dari atmosfir politik yang terbangun saat ini. Di mana saya melihat bahwa peta perpolitikan yang ada saat ini tidak terlepas dari intervensi militer yang mendominasi perpolitikan Indonesia. Fakta sosial yang kemudian berbicara, yaitu menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden 2009, figur-figur seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan Prabowo Sugiantoro yang notabene berlatarbelakang militer mulai mencuak kepermukaan. Hal ini tentunya mulai menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat tentang nasib bangsa ini kedepannya.
Memang, kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi pemimpin suatu negara tidak ditentukan dari latar belakang figur tersebut. Namun, melihat figur-figur dari militer yang pernah memimpin sebelumnya, maka saya pesimis konstelasi politik Indonesia dapat berjalan dengan baik apabila masih tetap dari kalangan militer yang menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu, saya beranggapan bahwa milter seharusnya berada pada posisi Output dalam sistem politik Indonesia, di mana militer menjalankan peran profesional dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara bukan berlomba-lomba untuk mencapai kekuasaan. Selain itu juga, kebijakan milter masuk barak seharusnya diterapkan secara optimal untuk menjaga terulangnya dwifungsi alat pertahanan keamanan negara, sehingga membuat mereka tidak fokus dalam menjalankan tugas fungsinya.
Fungsi output yang dimaksudkan di atas, yaitu militer harus senantiasa berada pada garis koordinasi yang tidak terlepas dari kontrol pemerintah dan masyarakat, di mana militer harus menjalankan tugas dan fungsi berdasarkan kebijakan politik yang diembankan kepadanya. Selain itu juga, militer dalam menjalankan tugas dan fungsinya haruslah sesuai dengan visinya sebagai pengayom rakyat bukan menjadi penindas rakyat. Saya mengatakan demikian karena saya menganggap bahwa reformasi yang dilakukan oleh militer saat ini belumlah menyeluruh, di mana fakta sosial yang berbicara menunjukkan bahwa ternyata peran militer dalam mempengaruhi kebijakan masih cukup besar. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, di mana penguasa yang saat ini berlatar belakang miter masih menggunakan intervensi dalam bentuk kekerasan aparat dalam menstabilkan konstelasi politik yang ada, misalnya kasus-kasus yang terjadi di Aceh dan di Papua tidak terlepas dari rasionalisasi tugas dan fungsi militer dalam menciptakan kondisi aman dan damai, sehingga dengan mudahnya kekerasan aparat terjadi di mana-mana. Selain itu juga, dapat kita lihat bahwa fungsi output yang dijalankan saat ini belum sesuai dengan kondisi yang seharusnya, di mana ketika lahir kebijakan penggusuran, penertiban pedagan kaki lima, dan sengketa tanah seperti yang terjadi di Makassar, dapat kita lihat bahwa masih tingginya peran militer dalam mempengaruhi konstelasi politik pemerintahan yang terbangun saat ini.
Memang kita tidak dapat selamanya menyalahkan militer sebagai faktor utama keterpurukan bangsa ini. Oleh karena itu, kita sebagai warga sipil seharusnya juga menjankan fungsi control dengan baik, sehingga konstelasi politik yang terbangun dapat stabil. Selain itu juga, hendaknya diperjelas bahkan lebih dipertegas lagi posisi dan peran militer dalam sistem politik Indonesia agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam menjalankan tugas dan fungsinya, seperti aturan yang jelas yang menegaskan bahwa militer harus professional dengan amanah konstitusi, dengan tidak mencampuri urusan politik pemerintahan selama tidak membahayakan negara bahkan jikalau harus masuk di dalamnya hendaknya melakukan integrasi ke dalam secara tidak langsung. Dengan demikian, jikalau hal di atas dilankan sebagaimana mestinya, maka jalannya konstelasi politik di Indonesia akan senantiasa sesuai dengan amanah konstitusi dan tuntutan demokrasi di Indonesia.

Posisi dan Peran Militer dalam Konstelasi Politik Indonesia (Analisis Andil Militer dalam Mempengaruhi Kebijakan Politik Indonesia)

“Suatu peradaban bagaikan mahluk organis: lahir, berkembang, matang, dan pada akhirnya mengalami proses kehancuran. Dari puin-puing kehancuran itu, terjadi kelahiran kembali peradaban yang baru, ini dimungkinkan karena terdapat kelompok minority creative yang mampu menjawab tantangan zaman.”
Pernyataan di atas adalah penggalan dari pernyataan Ibnu Khaldun yang dikutip oleh Arnold Thoynbee dalam bukunya yang berjudul Challenge and Response Theory. Pernyataan ini ternyata terbantahkan jikalau dikaitkan dengan realita di Indonesia, di mana sudah sepuluh tahun jalannya reformasi di Indonesia, tapi perubahan yang diinginkan masyarakat tidak kunjung tercapai. Para aktivis reformasi yang merasa bagian dari minority creative tersebut ternyata hanya dapat memberikan harapan hampa kepada masyarakat, bahkan menjadi penindas-penindas baru yang lupa akan tanggung jawabnya sebagai agen of change, agen of sosial control, and moral force. Momen reformasi malah dijadikan ajang pertarungan elit-elit yang namanya saat itu sedang naik daun karena perannya dalam gerakan reformasi.
Belenggu zaman Orde Baru jika ditelaah dari segi pertarungan politik telah membawa dampak yang signifikan dalam proses demokrasi di Indonesia. Fakta riilnya dapat kita lihat pada masa Orde Baru, di mana selama 32 tahun jalannya pemerintahan, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar peran-peran penting dalam pemerintahan didominasi oleh orang-orang militer, baik dari posisi menteri hingga direktur beberapa BUMN. Memang jika dipandang dari segi tugas dan fungsi, maka militer memegang peranan penting dalam konstelasi politik yang ada di Indonesia. Namun, jikalau tugas dan fungsi yang diemban oleh militer disalahgunakan sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru, maka saat itu pula militer telah keluar dari kaidah-kaidah demokrasi yang dijunjung tinggi di bangsa ini.
Pada masa Orde Baru, posisi militer telah keluar jauh dari garis idealnya, di mana militer bukan hanya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, tetapi juga turut serta menentukan berbagai keputusan politik yang ada di Indonesia. Hal ini diakibatkan beberapa faktor, pertama, militer sangat dekat dengan kekuasaan. Pada saat itu memang ditekankan bahwa komando militer berada di tangan pemegang jabatan politik tertinggi yakni presiden. Namun karena kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan, maka militer dimanfaatkan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara memberikan jabatan kepada para petinggi-petingginya sehingga dengan mudahnya militer dapat mengeluarkan kebijakan politik sesuai dengan kehendak militer tersebut. Studi kasus ketika masa pemerintahan Soeharto, para direktur BUMN seperti pertamina dan posisi menteri yang sangat mendukung jalannya kebijakan, diisi oleh orang-orang kepercayaannya yang sebagian besar berasal dari kalangan militer.
Kedua, tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru politik kepartaian yang berkembang saat itu adalah politik terpusat dengan hanya mengizinkan tiga partai besar untuk ikut dalam pertarungan politik di Indonesia, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada saat itu partai Golkarlah yang menjadi partai yang senantiasa memenangkan lima pemilihan berturut-turut, karena selama masa 32 tahun tersebut suara Golkar didominasi oleh kaum sipil dalam hal ini PNS dan militer. Dominasi tersebut bila dikaji lebih jauh ternyata diselubungi dengan ancaman yang tegas bahwa jika dari kalangan sipil ada yang tidak berpihak pada partai pemerintah dalam hal ini Golkar, maka harus bersiap-siap untuk kehilangan jabatan PNS tersebut. Selain itu juga, bila ada dari kalangan militer yang menjadi oposisi pemerintah, maka karirnya dalam militer tersebut akan terhambat.
Ketiga, dalam menjalankan kekuasaannya presiden Soeharto menggunakan pola otoriter dengan militer sebagai alat untuk memperlancar setiap aktivitas politik presiden beserta jajarannya. Hal di atas dapat kita lihat dari fakta ketika ada yang melakukan gerakan bawah tanah untuk melawan pemerintah, misalnya dari kalangan mahasiswa, maka metode yang dipakai adalah pendekatan persuasive di mana orang-orang yang melawan tersebut diberikan beasiswa bahkan dijanjikan tempat dalam kekuasaan ketika selesai. Jikalau metode di atas tidak dapat meredam perlawanan tersebut, maka preside melalui komando militernya melakukan penculikan dan melenyapkan orang-orang yang menjadi dalang dari perlawanan tersebut.
Keempat, sebenarnya menguatnya peran militer dalam sistem politik Indonesia bukan hanya dikarenakan oleh kuatnya posisi militer dalam kekuasaan kepemerintahanan, tetapi lebih disebabkan oleh kurangnya supremasi sipil dalam melakukan input dan kontrol. Hal ini tidak terlepas dari metode intervensi yang dilakukan oleh alat pertahanan negara tersebut, sehingga kondisi sosial politik kemasyarakatan yang terbangun seakan-akan damai dan demokratis, tetapi diselimuti penderitaan akibat hak-hak mengeluarkan aspirasi dikekang.
Berdasarkan fenomena di atas dapat kita lihat bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, militer berada pada posisi yang tidak seharusnya, di mana pada masa itu militer telah berada pada posisi politik strategis, tepatnya militer bermain pada posisi input dan proses dalam sistem politik Indonesia. Ketika itu, jalannya pemerintahan diatur dengan paradigma militeristik, nalar klinis, dan metode intervensi secara totaliter.
Paradigma militeristik yang mendasari jalannya pemerintahan dapat kita lihat dari setiap kebijakan politik yang diambil menggunakan sudut pandang layaknya strategi militer. Contohnya untuk mempertahankan kekuasaan pada masa Orde Baru tersebut sempat lahir kebijakan ABRI Masuk Desa (AMD). Hal tersebut nampaknya alat pertahanan dan keamanan negara tersebut memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Namun dibalik itu semua, segala sendi-sendi kehidupan masyarakat mulai dari desa telah disusupi oleh militer. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya distrik-distrik militer yang dibangun di tingkat desa, yang kesemuanya itu disiapkan untuk memantau setiap gerak gerik masyarakat dan bersiap-siap untuk megamankan pemerintahan jikalau terjadi hal-hal yang membahayakan konstelasi politik negara. Selain itu juga strategi militer dalam menempatkan posisi pasukan pada posisi yang strategis untuk memenangkan pertempuran juga menjadi paradigma untuk menempatkan orang-orang yang dipercaya dan mempunyai kredibilitas terhadap presiden turut mewarnai konstelasi pemerintahan yang dijalankan selama 32 tahun tersebut.
Nalar Klinis dimaksudkan dalam menjalankan pemerintahan dan mempertahankannya digunakan logika klinis. Analoginya ketika ada penyakit yang susah disembuhkan dan telah menggerogoti bagian tubuh penderita, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan menghilangkan bagian tubuh yang terinfeksi tersebut. Oleh karena itu tidak jarang kita lihat begitu banyak terjadi penculikan dan penghilangan nyawa masyarakat sipil yang melakukan pemerontakan, karena mereka dianngap sebagai penyakit yang harus dihilangkan agar tidak menggerogoti masyarakat lainnya. Hal di atas mengakibatkan lahirnya kebijakan tembak di tempat kepada siapa saja yang dianggap membahayakan jalannya pemerintahan, karena kekuasaan untuk memberikan perintah penembakan bukan saja berada pada presiden, tetapi juga berada pada setiap pimpinan militer dari disrik bawah hingga atas. Dengan demikian dapat kita analisa faktor penyebab mampunya suatu pemerintahan dapat eksis dalam jangka waktu yang lama bahkan dapat menciptakan kondisi sosial kemasyarakatan yang seakan-akan stabil.
Intervensi secara totaliter diraksiskan dengan berbagai kebijakan penyeragaman-penyeragaman dari pemerintahan desa hingga pusat. Bentuk penyeragaman yang terjadi dapat dilihat dari sistem pemerintahan yang dijalankan di tiap daerah yang hamper sama antara yang satu dengan yang lainnya dengan metode sentralisasi. Dalam hal ini tiap daerah tidak punya kekuasaan untuk mengatur daerahnya masing-masing bahkan rata-rata yang menjadi pemimpin daerah adalah dari orang-orang militer yang notabene berkecimpung dalam partai pemerintah (Golkar). Selain itu juga contoh kongkrit pentingnya militer pada masa pemerintahan saat itu dapat kita lihat dari penyusunan APBN yang sebagian besar dialokasikan untuk biaya pertahanan dan keamanan.
Puncak menguatnya peran militer dalam konstelasi politik Indonesia dapat kita lihat pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, di mana pada saat itu mulai terjadi perpecahan internal di kubu militer, misalnya yang dilakukan oleh pembesar-pembesar militer seperti Jenderal Wiranto yang tidak mengindahkan perintah presiden untuk mengamankan pemerintahan sehingga terjadilah reformasi yang menumbangkan rezim totalitarianisme tersebut. Sebenarnya, pemerintahan saat itu mulai dapat dikendalikan kalau saja tidak terjadi perpecahan internal di kubu militer, bahkan berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan seperti kebijakan daerah istimewa dan reshuffle cabinet ternyata juga tidak dapat mempertahankan pemerintahan.
Runtuhnya rezim yang telah memerintah cukup lama tersebut ternyata tetap meninggalkan bekas yang menunjukkan kuatnya peran militer dalam konstelasi politik Indonesia jikalau dilihat dari atmosfir politik yang terbangun saat ini. Di mana saya melihat bahwa peta perpolitikan yang ada saat ini tidak terlepas dari intervensi militer yang mendominasi perpolitikan Indonesia. Fakta sosial yang kemudian berbicara, yaitu menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden 2009, figur-figur seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan Prabowo Sugiantoro yang notabene berlatarbelakang militer mulai mencuak kepermukaan. Hal ini tentunya mulai menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat tentang nasib bangsa ini kedepannya.
Memang, kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi pemimpin suatu negara tidak ditentukan dari latar belakang figur tersebut. Namun, melihat figur-figur dari militer yang pernah memimpin sebelumnya, maka saya pesimis konstelasi politik Indonesia dapat berjalan dengan baik apabila masih tetap dari kalangan militer yang menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu, saya beranggapan bahwa milter seharusnya berada pada posisi Output dalam sistem politik Indonesia, di mana militer menjalankan peran profesional dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara bukan berlomba-lomba untuk mencapai kekuasaan. Selain itu juga, kebijakan milter masuk barak seharusnya diterapkan secara optimal untuk menjaga terulangnya dwifungsi alat pertahanan keamanan negara, sehingga membuat mereka tidak fokus dalam menjalankan tugas fungsinya.
Fungsi output yang dimaksudkan di atas, yaitu militer harus senantiasa berada pada garis koordinasi yang tidak terlepas dari kontrol pemerintah dan masyarakat, di mana militer harus menjalankan tugas dan fungsi berdasarkan kebijakan politik yang diembankan kepadanya. Selain itu juga, militer dalam menjalankan tugas dan fungsinya haruslah sesuai dengan visinya sebagai pengayom rakyat bukan menjadi penindas rakyat. Saya mengatakan demikian karena saya menganggap bahwa reformasi yang dilakukan oleh militer saat ini belumlah menyeluruh, di mana fakta sosial yang berbicara menunjukkan bahwa ternyata peran militer dalam mempengaruhi kebijakan masih cukup besar. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, di mana penguasa yang saat ini berlatar belakang miter masih menggunakan intervensi dalam bentuk kekerasan aparat dalam menstabilkan konstelasi politik yang ada, misalnya kasus-kasus yang terjadi di Aceh dan di Papua tidak terlepas dari rasionalisasi tugas dan fungsi militer dalam menciptakan kondisi aman dan damai, sehingga dengan mudahnya kekerasan aparat terjadi di mana-mana. Selain itu juga, dapat kita lihat bahwa fungsi output yang dijalankan saat ini belum sesuai dengan kondisi yang seharusnya, di mana ketika lahir kebijakan penggusuran, penertiban pedagan kaki lima, dan sengketa tanah seperti yang terjadi di Makassar, dapat kita lihat bahwa masih tingginya peran militer dalam mempengaruhi konstelasi politik pemerintahan yang terbangun saat ini.
Memang kita tidak dapat selamanya menyalahkan militer sebagai faktor utama keterpurukan bangsa ini. Oleh karena itu, kita sebagai warga sipil seharusnya juga menjankan fungsi control dengan baik, sehingga konstelasi politik yang terbangun dapat stabil. Selain itu juga, hendaknya diperjelas bahkan lebih dipertegas lagi posisi dan peran militer dalam sistem politik Indonesia agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam menjalankan tugas dan fungsinya, seperti aturan yang jelas yang menegaskan bahwa militer harus professional dengan amanah konstitusi, dengan tidak mencampuri urusan politik pemerintahan selama tidak membahayakan negara bahkan jikalau harus masuk di dalamnya hendaknya melakukan integrasi ke dalam secara tidak langsung. Dengan demikian, jikalau hal di atas dilankan sebagaimana mestinya, maka jalannya konstelasi politik di Indonesia akan senantiasa sesuai dengan amanah konstitusi dan tuntutan demokrasi di Indonesia.

Perkembangan Demokrasi Indonesia

(Pendahuluan)
 Konsep-Konsep Mengenai Demokrasi
Kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi, ada yang dinamakan demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi Terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya, dimana semua konsep ini memakai memakai istilah demokrasi, yang menurut asal katanya berarti “kekuasaan rakyat” atau “government or rule by the people” atau dalam bahasa Yunani kata demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa.
Sesudah perang dunia II kita banyak melihat gejala bahwa secara formil demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negar di dunia. Menurut suatu penelitian yang dilaksanakan oleh UNESCO dalam tahun 1949 maka “mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh”.
Akan tetapi UNESCO juga menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi dianggap ambiguous atau mempinyai arti-dua, yang sekurang-kurangnya ada ambiguity atau ketentuan “mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kulturil serta histories yang mempengaruhi istilah, ide dan praktek demokrasi” (ethier in the institusions or devices employed to effect the idea or in the cultural or historical circumstances by which word, ide and practice are conditioned)1.
Tetapi diantara sekian banyak aliran fikiran yang dinamakan demokrasi ada dua kelompok aliran yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusionil dan satu kelompok lainnya yang menamakan dirinya “demokrasi”, tetapi yang pada hakekatnya mendasarkan dirinya atas komunisme. Kedua kelompok aliran demokrasi mula-mula berasal dari Eropa, tetapi sesuadh perang dunia ke II nampak jyga didukung oleh beberapa Negara-negara baru di Asia, seperti India, Pakistan, Filipina,
dan Indonesia yang sangat mencita-citakan demokrasi konstitusionil, sekalupun terdapat bermacam-macam bentuk pemerintahan maupu gaya hidup dalam Negara-negara tersebut. Dilain fihak ada Negara-negara baru di Asia yag mendasarkan diri atas azas-azas komunisme, yaitu R.R.C., Korea Utara, dan sebagainya.
Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, yang masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan cirri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidak dapat di sangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945. selain dari pada itu Undang-Undang Dasar nagara kita menyebut secara eksplisit dua prinsip yang menjiwai naskah itu, dan yang tercantum dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara yaitu :
I. Indonesia dalah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat). Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
II. Sistem Konstitusionil.
Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Berdasarakan dua istilah “(Rechtsstaat)”, dan “sistem konstitusi”, maka jelas bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945, ialah demokrasi konstitusionil. Di samping itu corak khas demokrasi Indonesia yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Kalau sesudah tertumpasnya G. 30 S/PKI dalam tahun 1965 sudang terang bahwa yang kita cita-citakan yaitu adalah demokrasi konstitusionil, tetapiu tidak dapat disangkal bahwa dalam masa demokrasi demokrasi Terpimpin kita sedikit banyak terpengaruh oleh beberapa konsep komunitas berkat kelihaian PKI untuk menyusupkan konsep-konsep dari alam pikiran komunisme ke dalam kehidupan politik kita pada masa pra-G. 30 S/PKI. Maka dari itu perlu kiranya kita menjernihkan fikiran kita sendiri dan meneropong dua aliran fikiran utama yang sangat berbeda, malahan sering bertentangan serta berkonfrontasi satu sama lain, yaitu demokrasi konstitusionil dan “demokrasi” yang berdasarkan Markxisme-leninisme. Dimana perbedaan fundamintilnya ialah bahwa demokrasi konstitusionil mencita-citakan pemerintah yang terbatas pada kekuasaannya suatu Negara Hukum yang tunduk kepada Rule Of Law. Sebalinya “Demokrasi” yang mendasarkan dirinya atas komunisme yang mencita-citakan pemerintah yang tidak boleh dibatasi kekuasaanya, dan yang bersifat totaliter.
Seperti dijelaskan di atas, maka demokrasi di dukung oleh sebagaian besar Negara di dunia. Akan tetapi perlu disadari juga bahwa di samping demokrasi konstitusionil beserta bermacam-macam variasinya, telah timbul pada abad ke-19 suatu ideologi yang juga mengembangkan suatu konsep demokrasi yang dalam banyak hal linea recta bertentangan dangan azas-azas pokok dari demokrasi konstitusionil. Demokrasi dalam arti ini dipakai misalnya dalam istilah-istilah demokrasi prolentar dan demokrasi soviet (seperti yang dipakai di Uni Soviet), atau dalam istilah demokrasi rakyat (yang antara lain dipakai di Negara-negara Eropa Timur sesudah berakhirnya Perang Dunia II). Dan akhir-akhir ini, dalam dekade lima puluhan telah timbul istilah demokrasi nasional yang khusus dipakai dalam hubungan Negara-negara baru di Asia dan afrika.
Semua istilah demokrasi ini berlandaskan aliran fikiran komunisme. Oleh golongan-golongan yang mendukung demokrasi konstitusionil, antara lain Internasional Commision Of Jurists, suatu badan internasional, dimana badan inin dianggap tidak demokratis.1 Bagi kita, yang dalam masa demokrasi terpimpin hamper terjebak oleh slogan-slogan yang dicetuskan oleh PKI, ada baiknya kalau kita meneropong dengan agak mendalam berbagai istilah demokrasi yang dipakai dalam dunia komunis, mengingat ketetapan MPRS No. XXV/1996 bahwa mempelajari faham Komunisme dalam rangka mengamankan Pancasila dan secara ilmiah, seperti pada universitas-universitas dapat dilakukan secara terpimpin.

Demokrasi Konstitusionil
Ciri khas demokrasi konstitusionil ialah gagasan bahwa pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut “pemerintahan berdasarkan konstitusi” (contitusional government).
Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi pernah dirumuskan oleh ahli sejarah Inggris, Lord Acton, dengan mengingat bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada manusia itu tanpa kecuali melekatbanyak kelemahan. Dalilnya yang kemudian menjadi termasyur, yang bunyinya sebagai berikut : “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya).
Pada waktu demokrasi konstitusionil muncul sebagai suatu program dan sistem politik yang kongkrit, pada akhir abad ke 19, dianggap bahwa pembatasan kekuasaan Negara sebaik-baiknya diselenggarakan dengan konstitusi tertulis, yang dengan tegas menjamin hak-hak azasi dari warga Negara. Disamping itu kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan penyalahgunaannya deperkecil, yaitu dengan cara menyerahkan kepada beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan kekuasaan pemerinrahan dalam tangan satu orang saja stsu satu badan. Perumusan yuridis dari prinsip-prinsip ini terkenal dengan istilah Rechsstaat (Negara Hukum) dan Rule of Law.
Biarpun demokrasi baru pada akhir abad ke-19 mencapai wujud yang kongkrit, tetapi dia sebenatnya sudah mulai berkembang di Eropa Barat dalam abad ke-15 dn ke-16. maka dari itu wajah dari demokrasi abad ke-19 menonjolkan beberapa azas yang dengan susah payah telah dimenangkannya, seperti misalnya kebebasan manusia terhadap segala bentuk kekangan dan kekuasaan dan kekuasaan yang sewenang-wenang baik di bidang agama, maupun dibidang pemikiran serta di bidang pilitik. Jaminan terhadap hak-hak azasi manusia dianggap paling penting. Dalam rangka ini negar hanya dapat dilihat manfaatnya sebagai Penjaga Malam (Nachtwächtersstaat) yang hanya di benarkan campur tangan dalam kehidupan rakyatnya dalam batasan-batasan yang sangat sempit.

Sejarah Perkembangan Demokrasi
Pada mulanya perkembangan demokrasi telah mencangkup beberapa azas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebidayaan Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang agama yang menyusulnya.
System demokrasi yang terdapat dalam Negara-kota (city-state) Yunani Kuno (abad ke-16 sampai abad ke-3 s.M.) merupakan system demokrasi langsung (direct democracy) yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas (Negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit (300.000 penduduk dalam satu Negara-kota). Lagi pula ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga Negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri dari budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak berlaku. Dalam Negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, akan tetapi bersifat demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy).
Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia barat waktu bangsa Romawi yang sedikit banyak masih kenal dengan kebudayaan Yunani, dikalahkan oleh suku-bangsa Eropa barat dan benua Eropa yang memasuki abad pertengahan (600-1400). Masyarakat abad pertengahan dicirakan oleh sturuktur social yang feodal (hubungan antara vassal dan lord); yang kehidupan social serta spritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya; yang kehidupan politiknya ditandai dengan perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Dilihat dari sudut perkembangan demokrasi abad pertengahan mengahsilkan suatu dokumen yang amat penting, yaitu Magna Charta (piagam besar) (1215). Magna charta merupakan semacam kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja John dari Inggris dimana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan privileges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku unuk rakyat jelata, namun dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi.
Sebelum abad pertengahan berakhir dan di Eropa Barat pada permualaan abad ke-16 muncul Negara-negara nasional dalam bentuk yang modern, maka Eropa Brat mengalami beberapa perubahan social dan kulturil yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di mana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya. Dua kejadian ini ialah Renaissance (1350-1600) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan seperti Italia, dan Reformasi (1500-1650) yang mendapat banyak pengikutnya di Eropa Utara, seperti jerman, Swiss dan sebagainya.
Pada hakeketnya teori-teori kontrak sosial merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan memetapkan hak-hak politik rakyat. Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan ini antara lain John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755). Menurut John Locke hak-hak politk mencangkup hak atas hidup, atas kebebasan dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty, and property). Montesquieu mencoba menyusun suatu system yang dapat menjamin hak-hak politik itu, yang kemudian yang dikenal dengan istilah trias politica. Ide-ide bahwa manusia mempunyai hak-hak politik menimbulkan revolusi prancis pada akhir abad ke-18, serta Revolusi Amerika melawan Inggris.
Sebagai akibat dari pergolakan yang tersebut di atas tadi, maka pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang kongkrit sebagai program dan system politik. Demokrasi padsa tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas azas-azas kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal rights) serta hak pilih untuk semua warga Negara (universal suffrage).

Sejarah Perkembangan Demokrasi Di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang –surutnya. Selama 25 tahun berdirinya Republik Indonesia ternyata bahwa masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana, dalam masyarakat yang beraneka-ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di samping membina suatu kehidupan social dan politik yang demokratis. Pada pokoknya masalah ini berkisar antara menyususun suatu system politik dimana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nasional building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktatur, apakah diktatur ini bersifat perorangan atau partai atau militer.
Dipandang dari sudut perkembangannya demokrasi sejarah Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa yaitu :
a. Masa Republik Indonesia I, yaitu masa demokrasi (konstitusionil) yang menonjolkan peranan parlement serta partai-partai dan yang karena itu dinamakan demokrasi parlementer.
b. Masa Republik Indonesia II, yaitu masa demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah mentimpang dari demokrasi konstitusionil yang secara formil merupakan landasannya, dan menunjukkan lbeberapa aspek demokrasi rakyat.
c. Masa Republik Indonesia III, yaitu masa demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusionil yang menonjolkan demokrasi presidensil.

• Masa 1945-1959
System parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia, meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa Negara Asia lain. Persatuan dapat digalang selama mengahadapi musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai, karenah lemahnya benih-benih demokrasi system parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewab Perwakilan rakyat.
• Masa 1959-1965
Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari presiden, terbatsnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Dekrit presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir.Sukarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (undang-undang memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar itu sendiri.
• Masa 1965-
Landasan formildari keputusan ini ialah Pancasila, Udang-Undang Dasar 1945 serta ketetapan-ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar yang telah terjadi dalam masa Demokrasi Terpimpin, kita telah mengadakan tindakan kolektif. Ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir. Soekarno telah dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi jabatan elektif selama lima tahun. Ketetapan MPRS No. XIX/1996 telah ditinjau kembali produk-produk legislative dari masa demokrasi Terpimpin dan atas dasar itu Undang-Undang No. 19/1964 telah diganti dengan suatu Undang-Undang baru (No. 14/1970) yang menetapkan kembali azas “kebebasan badan-badan peradilan”.

Demokrasi Pancasila Di Indonesia
Berikut ini ada beberapa perumusan mengenai demokrasi Pancasila yang diusahakan dalam beberapa seminar :
a. Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966
Bidang politik dan konstitusionil :
- Demokrasi Pancasila seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti menegakkan kembali azas-azas Negara hokum dimana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga Negara, dimana hak-hak azasi manusia baik dalam aspek kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dimana penyalahgunaan kekuasaan,dapat dihindari secara institusionil.
- Sosialisme Indonesia yang berarti masyarakat yang adil dan makmur.
- Elan Revolusioner untuk menyelesaikan revolusi, yang cukup kuat untuk mendorong Indonesia kearah kemujuan social dan ekonomi sesuai dengan tuntutan-tuntutan abad ke-20.
Bidang Ekonomi :
- Demokrasi ekonomi sesuai dengan azas-azas yang menjiwai ketentuan-ketentuan mengenai ekonomi dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang pada hakekatnya, berarti kehidupan yang layak bagi semua warga Negara, yang antara lain mencangkup :
 Pengawasan oleh rakyat terhadap penggunaan kekyaan dan keuangan Negara dan
 Koperasi
 Pengakuan atas hak milik perorangan dan kepastian hukum dalam penggunaannya.
 Peranan pemerintah yang bersifat Pembina, penunjuk jalan serta pelindung.11
b. Musyawarah Nasional III Persahi : The Rule of Law, December 1966
Azas Negara hukum Pancasilan mengandung prinsip :
a. pengakuan dan perlindungan hak azasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, social, ekonomi, kulturil dan pendidikan.
b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak terpengaruh oleh suatu kekuasaan/kekuatan lain apapun itu.
c. Jaminan kepastian hukum dalam semua persoalan.
c. Symposium Hak-hak Azasi Manusia, Juni 1967
Demokrasi Pancasila, dalam arti demokrasi yang bentuk-bentuk penerapannya sesuai dengan kenyataan-kenyataan dan cita-cita yang terdapat dalam masyarakat kita, setelah sebagai akibat dari regim Nasakom sangat menderita dan menjadi kabur, lebih memerlukan pembinaan daripada pembatasan sehinggga menjadi suatu “political culture” yang penuh vitalitas. Persoalan hak-hak azasi manusia dalam kehidupan kepartaian unutk tahun-tahun yang aka dating harus di tinjau dalam rangka keharusan kita untuk mencapai keseimbangan yang wajar di antara tiga hal :
1) Adanya pemerintah yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan
2) Adanya kebebasan yang sebesar-besarnya
3) Perlunya untuk membina suatu “rapidly axpanding economy”13,
Demokrasi Pancasila adalah sesuai dengan watak asli bangsa Indonesia. Berdasarkan kepada sila keempat pancasila, bersumber pada kepribadian dan nilai-nilai bangsa Indonesia sendiri. Pancasila merupakan kebulatan atau kesatuan yang bulat utuh menyeluruh dan sistematis dari kelima silanya, tidak dapat dipisah-pisahkan antara satu sila dengan sila yang lain, tidak dapat diperas menjadi Trisila dan Ekasila namun tetap Eka Pancasila.
Pedoman demokrasi Pancasila pada pasal 1 UUD 1945, yang rumusannya : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, adil dan beradap dan persatuan Indonesia serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ciri-ciri Demokrasi Pancasila :
a. Berazaskan kekeluargaan
b. Kebebasan individu tidak bersifat mutlak atau diselaraskan dangan tanggung jawab sosial
c. Perbedaan pendapat dihargai dan dijunjung tinggi
d. Tidak mengenal oposisi
e. Segala sesuatu diputuskan berdasrkan musyawarah untuk mufakat, bila tidak mungkin, baru dilakukan voting atau suara terbanyak.
Sejarah Lahirnya Demokrasi Terpimpin Di Indonesia
Pemberontakan yang gagal di Sumatra, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak tahun 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru yang kemudian melemahkan sistem parlement Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika presiden Soekarno secara universal membangkitkan kembali konstitusi 1945yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidentil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam resim yang otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin”. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju Non-Blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting Negara-negara bekas jajahan yang menolak aliran resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dalam awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada Negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia luar Uni Soviet dan China, dukunan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di Negara-negara lainnya.
Sejarah Lahirnya Demokrasi Parlementer Di Indonesia
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi Undang-Undang baru yang terdiri dari sistem parelemen diman dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintahan yang stabil susah dicapai.
Peran islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih Negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan Negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat islam kepada hukum islam.






Perkembangan Demokrasi Indonesia Sejak 27 Juli 1996
Genap sebelas tahun dalam ingatan kita akan lembar hitam Demokrasi di negeri ini. Tepatnya tanggal 27 juli 1996, sejarah mencatat tentang suatu negeri yang pemerintahannya tidak memberi ruang bagi berkembangnya demokrasi dan akal sehat. Bagi sebahagian besar rakyat Indonesia, peristiwa 27 juli 1996 merupakan sebuah pukulan mundur terhadap demokrasi, akan tetapi sekaligus pula menjadi tonggak pembuktian : bahwa rakyat tanpa memandang golongan, status social atau latar belakang mampu merubah apabila mereka inginkan.
Kenapa demikian ? Siapapun tidak biasa memungkiri bahwa di tahun-tahun itu demokrasi sedang mengalami pasang naik. Ketrlibatan ribuan orang dalam sebuah panggung kevil di Jalan Diponegoro Jakarta setidaknya dapat menjadi sebuah indikator. Dengan sukarela rakyat berduyun-duyun berdatanga seluruh pelosok daerah. Tanpa peduli, bersuara di waktu itu seperti halnya mempertaruhkan hidup. Satu hal yang menggerakkan suara-suara terpendam ini, yakni : Demokrasi !
Demikian pentingkah Demokrasi bagi rakyat sebuah negeri, hingga mereka rela mempertaruhkan segalanya ? bagaimana sesungguhnya, Demokrasi yang menjadi harapan dan spirit yang mampu menggerakkan segala lapisan rakyat kala itu ?
Bung Karno sebagai salah seorang pendiri republic, dalam amanatnya pada tanggal 17 Agustus 1960, berujar tentang harus diakhirinya exploitation de I’homme par I’homme atau penghisapan atas manusia oleh manusia. Baik antar bangsa kita sendiri atau bangsa lainnya. Dimana tujuan lahirnya adalah : Rakyat Merdeka-Penuh, penderitaan rakyat. Jika kita cermati lebih lanjut, disanalah makna Demokrasi kita dapatkan. Demokrasi yang beralas pada kebutuhan dan harapan rakyat negeri ini.
Demokrasi yang sesuai dengan Negara-negara kita, bukanlah seperti demikrasi yang kita praktekkan hari ini, yakni Demokrasi liberal. Demokrasi Indonesia sejak semula mengandung makna Gotomg-royong dan solidaritas, yang berada pada kutub berbeda dengan tradisi demokrasi liberal yang bersandar pada individualisme. Kitapun juga tida bisa serta mengadopsi mentah-mentah demokrasi Barat, mengingat
Pengertian Dan Sejarah Perkembangan Demokrasi
Demokrasi adalah sebuah kata yang berasal dari dua kata yaitu, Demos yang berarti rakyat, dan Kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat. Konsep Demokrasi menjadi sebuah kat kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu Negara. Atau dengan kata lain dapat diartikan sebagai Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga Negara) atas Negara untuk dijalankan oleh pemerintahan Negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politika yang membagi kekuasaan politik Negara (eksekutif, legislatife, dan yudikatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga Negara yang saling lepas (independent) dan berada dalam peringkat sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga Negara ini diperlukan agar ketiga jenis lembaga ini saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga Negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga peradilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan yudikatif dan lembaga-lembaga peradilan rakyat (DPR untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislative. Dibawah sistem ini keputusan legislative dibuat dibuat oleh masyarak `vn at atau wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislative, selain sesuai hukum dan peraturan. Kedaulatan rakyat yang dimaksud disini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secar langsung tidak menjamin Negara tersebut sebagai Negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden secara langsung hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walaupun perananya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini akibat dari cara berfikir lama daru sebahagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apapun seorang pemimpin Negara, masa hidupnya akan ajuh lebih pendek dari pada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun Negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu Negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan Negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahtraan dan kemakmuran rakyat.











Kesimpulan
Secara umum Demokrasi merupakan suatu istilah yang berasal dari Bahasa Yunani “demos” yang artinya rakyat sedangkan “kratein” berarti pemerintahan, maka arti dari Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dipegang oleh rakyat, atau rakyat diikiut sertakan dalam sistem pemerintahan Negara, sehingga sistem pemerintahan tersebut dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Maka dari pada itu pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini sudah melenceng dari apa yang ditetapkan pendiri bangsa. Pengambilan keputusan dengan suara terbanyak (voting) sekarang dianggap demokrasi terbaik di Indonesia. Padahal, demokrasi semacam itu sudah menyimpang jauh dari prinsip musyawarah mufakat.
Kita sudah salah tafsir tentang demiokrasi saat ini, pendiri bangsa ini sudah benar bahwa demokrasi Indonesia adalah musyawarah mufakat. Banyak penilaian masyarakat saat ini sudah terpengaruh oleh paradigma demokrasi barat. Padahal demokrasi ala barat tidak cocok untuk Indonesia, karena Indonesia terdiri dari keragaman suku bengsa, agama, dan sebagainya, contohnya saja warga Papua yang meminta suaka politik ke Australia. Mereka menilai pelaksanaan Ham di Indonesia sangat buruk. Padahal di Australia suku aborigin yang menjadi penduduk asli Australia, justru terpinggirkan dan tidak mendapat perlidunganh Ham yang layak. Faktanya tidak ada orang Aborigin yang memiliki jabatan di Australia. Di kemiliteran paling tinggi kopral. Sedangkan di Negara kita orang papua ada yang menjadi bupati, gubernur. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Ham di Indonesia jauh lebih baik dari pada di Australia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di Negara lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga ligislatif yang menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggota tanpa memperdulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga bukan saja harus akuntabel, tetapi juga harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabelitas dari setiap lembaga Negara dan mekanisme ini mampu secara oprasional (bukan hanya teori).
Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam (1992), Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia, Jakarta
Philipus, dan Aini, Nurul (2004), Sosiologi Dan Politik. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Team Dosen Pancasila Universitas Hasanuddin (2003), Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi. Tim Dosen Pancasila Universitas Hasanuddin, Makassar
Duverger, Maurice (1985), Sosiologi Politik. Rajawali, Jakarta
www.sistempemerintahanIndonesia.com
www.sejarahdemokrasiindonesia.com
www.politikindonesia.com
www.asalmulademokrasiindonesia.com
www.tribuntimur.com















Ringkasan Materi
Sejarah kenegaraan kita yang menggunakan konstitusi UUD 1945sebagai landasan structural telah mengahsilkan berbagai sistem pemerintahan yang berbeda-beda, bahkan pernah bertolak belakang secara konseptual. Pada tahun 1949 bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945 dengan konstitusi RIS dan tahun 1950 lagi-lagi digantikan dengan UUD sementara 1950, tetapi tetap menganut sistem demokrasi konstitusionil meski dengan system yang berlainan. Baru tahun 1955 pertama kali diselenggarakan pemilu dan dibentuk Majelis Konstituante untuk membuat UUD baru yang definitife.
Setelah itu diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dekrit presiden 5 juli 1959, timbul kembali pemerintahan otoriter di bawah panji Demokrasi terpimpin Soekarno dilanjutkan rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi Pancasila.
Dalam pemerintahan masa transisi baik zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawat sebelum pemilu 004, kita menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945 mengatur penyelenggaraan kekuasaan Negara karena sifatnya yang multi-interpretasi. Pemegang kekuasaan Negara bisa melakukan berbagai distorsidan devisiasi nilai-nilai demokrasi dan sistem pemerintahan.
Lain halnya dengan demokrasi konstitusionil, seperti yang diinstruksikan oleh Hatta dan Yamin yang pada waktu itu meletakkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, menegakkan supremasi hukum, pembagian kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legislative,dan yudikatif (trias politica), pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat dan dihormatinya hak azasi manusia. Konsep ini menujuk pad ciri-ciri yang bis ditetapkan secar eksplisit atau bisa dianggap bagian inti (inheren) dari konstitusional sebagai cita-cita yang selalu merupakan variable achievement. Dimana demokratisasi di Indonesia harus berlangsung pada dua dataran sekaligus yaitu dataran konseptual dan dataran praktis agar tidak tambal sulam.

Perkembangan Demokrasi Indonesia

(Pendahuluan)
 Konsep-Konsep Mengenai Demokrasi
Kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi, ada yang dinamakan demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi Terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya, dimana semua konsep ini memakai memakai istilah demokrasi, yang menurut asal katanya berarti “kekuasaan rakyat” atau “government or rule by the people” atau dalam bahasa Yunani kata demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa.
Sesudah perang dunia II kita banyak melihat gejala bahwa secara formil demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negar di dunia. Menurut suatu penelitian yang dilaksanakan oleh UNESCO dalam tahun 1949 maka “mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh”.
Akan tetapi UNESCO juga menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi dianggap ambiguous atau mempinyai arti-dua, yang sekurang-kurangnya ada ambiguity atau ketentuan “mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kulturil serta histories yang mempengaruhi istilah, ide dan praktek demokrasi” (ethier in the institusions or devices employed to effect the idea or in the cultural or historical circumstances by which word, ide and practice are conditioned)1.
Tetapi diantara sekian banyak aliran fikiran yang dinamakan demokrasi ada dua kelompok aliran yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusionil dan satu kelompok lainnya yang menamakan dirinya “demokrasi”, tetapi yang pada hakekatnya mendasarkan dirinya atas komunisme. Kedua kelompok aliran demokrasi mula-mula berasal dari Eropa, tetapi sesuadh perang dunia ke II nampak jyga didukung oleh beberapa Negara-negara baru di Asia, seperti India, Pakistan, Filipina,
dan Indonesia yang sangat mencita-citakan demokrasi konstitusionil, sekalupun terdapat bermacam-macam bentuk pemerintahan maupu gaya hidup dalam Negara-negara tersebut. Dilain fihak ada Negara-negara baru di Asia yag mendasarkan diri atas azas-azas komunisme, yaitu R.R.C., Korea Utara, dan sebagainya.
Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, yang masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan cirri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidak dapat di sangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945. selain dari pada itu Undang-Undang Dasar nagara kita menyebut secara eksplisit dua prinsip yang menjiwai naskah itu, dan yang tercantum dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara yaitu :
I. Indonesia dalah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat). Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
II. Sistem Konstitusionil.
Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Berdasarakan dua istilah “(Rechtsstaat)”, dan “sistem konstitusi”, maka jelas bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945, ialah demokrasi konstitusionil. Di samping itu corak khas demokrasi Indonesia yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Kalau sesudah tertumpasnya G. 30 S/PKI dalam tahun 1965 sudang terang bahwa yang kita cita-citakan yaitu adalah demokrasi konstitusionil, tetapiu tidak dapat disangkal bahwa dalam masa demokrasi demokrasi Terpimpin kita sedikit banyak terpengaruh oleh beberapa konsep komunitas berkat kelihaian PKI untuk menyusupkan konsep-konsep dari alam pikiran komunisme ke dalam kehidupan politik kita pada masa pra-G. 30 S/PKI. Maka dari itu perlu kiranya kita menjernihkan fikiran kita sendiri dan meneropong dua aliran fikiran utama yang sangat berbeda, malahan sering bertentangan serta berkonfrontasi satu sama lain, yaitu demokrasi konstitusionil dan “demokrasi” yang berdasarkan Markxisme-leninisme. Dimana perbedaan fundamintilnya ialah bahwa demokrasi konstitusionil mencita-citakan pemerintah yang terbatas pada kekuasaannya suatu Negara Hukum yang tunduk kepada Rule Of Law. Sebalinya “Demokrasi” yang mendasarkan dirinya atas komunisme yang mencita-citakan pemerintah yang tidak boleh dibatasi kekuasaanya, dan yang bersifat totaliter.
Seperti dijelaskan di atas, maka demokrasi di dukung oleh sebagaian besar Negara di dunia. Akan tetapi perlu disadari juga bahwa di samping demokrasi konstitusionil beserta bermacam-macam variasinya, telah timbul pada abad ke-19 suatu ideologi yang juga mengembangkan suatu konsep demokrasi yang dalam banyak hal linea recta bertentangan dangan azas-azas pokok dari demokrasi konstitusionil. Demokrasi dalam arti ini dipakai misalnya dalam istilah-istilah demokrasi prolentar dan demokrasi soviet (seperti yang dipakai di Uni Soviet), atau dalam istilah demokrasi rakyat (yang antara lain dipakai di Negara-negara Eropa Timur sesudah berakhirnya Perang Dunia II). Dan akhir-akhir ini, dalam dekade lima puluhan telah timbul istilah demokrasi nasional yang khusus dipakai dalam hubungan Negara-negara baru di Asia dan afrika.
Semua istilah demokrasi ini berlandaskan aliran fikiran komunisme. Oleh golongan-golongan yang mendukung demokrasi konstitusionil, antara lain Internasional Commision Of Jurists, suatu badan internasional, dimana badan inin dianggap tidak demokratis.1 Bagi kita, yang dalam masa demokrasi terpimpin hamper terjebak oleh slogan-slogan yang dicetuskan oleh PKI, ada baiknya kalau kita meneropong dengan agak mendalam berbagai istilah demokrasi yang dipakai dalam dunia komunis, mengingat ketetapan MPRS No. XXV/1996 bahwa mempelajari faham Komunisme dalam rangka mengamankan Pancasila dan secara ilmiah, seperti pada universitas-universitas dapat dilakukan secara terpimpin.

Demokrasi Konstitusionil
Ciri khas demokrasi konstitusionil ialah gagasan bahwa pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut “pemerintahan berdasarkan konstitusi” (contitusional government).
Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi pernah dirumuskan oleh ahli sejarah Inggris, Lord Acton, dengan mengingat bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada manusia itu tanpa kecuali melekatbanyak kelemahan. Dalilnya yang kemudian menjadi termasyur, yang bunyinya sebagai berikut : “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya).
Pada waktu demokrasi konstitusionil muncul sebagai suatu program dan sistem politik yang kongkrit, pada akhir abad ke 19, dianggap bahwa pembatasan kekuasaan Negara sebaik-baiknya diselenggarakan dengan konstitusi tertulis, yang dengan tegas menjamin hak-hak azasi dari warga Negara. Disamping itu kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan penyalahgunaannya deperkecil, yaitu dengan cara menyerahkan kepada beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan kekuasaan pemerinrahan dalam tangan satu orang saja stsu satu badan. Perumusan yuridis dari prinsip-prinsip ini terkenal dengan istilah Rechsstaat (Negara Hukum) dan Rule of Law.
Biarpun demokrasi baru pada akhir abad ke-19 mencapai wujud yang kongkrit, tetapi dia sebenatnya sudah mulai berkembang di Eropa Barat dalam abad ke-15 dn ke-16. maka dari itu wajah dari demokrasi abad ke-19 menonjolkan beberapa azas yang dengan susah payah telah dimenangkannya, seperti misalnya kebebasan manusia terhadap segala bentuk kekangan dan kekuasaan dan kekuasaan yang sewenang-wenang baik di bidang agama, maupun dibidang pemikiran serta di bidang pilitik. Jaminan terhadap hak-hak azasi manusia dianggap paling penting. Dalam rangka ini negar hanya dapat dilihat manfaatnya sebagai Penjaga Malam (Nachtwächtersstaat) yang hanya di benarkan campur tangan dalam kehidupan rakyatnya dalam batasan-batasan yang sangat sempit.

Sejarah Perkembangan Demokrasi
Pada mulanya perkembangan demokrasi telah mencangkup beberapa azas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebidayaan Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang agama yang menyusulnya.
System demokrasi yang terdapat dalam Negara-kota (city-state) Yunani Kuno (abad ke-16 sampai abad ke-3 s.M.) merupakan system demokrasi langsung (direct democracy) yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas (Negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit (300.000 penduduk dalam satu Negara-kota). Lagi pula ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga Negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri dari budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak berlaku. Dalam Negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, akan tetapi bersifat demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy).
Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia barat waktu bangsa Romawi yang sedikit banyak masih kenal dengan kebudayaan Yunani, dikalahkan oleh suku-bangsa Eropa barat dan benua Eropa yang memasuki abad pertengahan (600-1400). Masyarakat abad pertengahan dicirakan oleh sturuktur social yang feodal (hubungan antara vassal dan lord); yang kehidupan social serta spritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya; yang kehidupan politiknya ditandai dengan perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Dilihat dari sudut perkembangan demokrasi abad pertengahan mengahsilkan suatu dokumen yang amat penting, yaitu Magna Charta (piagam besar) (1215). Magna charta merupakan semacam kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja John dari Inggris dimana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan privileges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku unuk rakyat jelata, namun dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi.
Sebelum abad pertengahan berakhir dan di Eropa Barat pada permualaan abad ke-16 muncul Negara-negara nasional dalam bentuk yang modern, maka Eropa Brat mengalami beberapa perubahan social dan kulturil yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di mana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya. Dua kejadian ini ialah Renaissance (1350-1600) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan seperti Italia, dan Reformasi (1500-1650) yang mendapat banyak pengikutnya di Eropa Utara, seperti jerman, Swiss dan sebagainya.
Pada hakeketnya teori-teori kontrak sosial merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan memetapkan hak-hak politik rakyat. Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan ini antara lain John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755). Menurut John Locke hak-hak politk mencangkup hak atas hidup, atas kebebasan dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty, and property). Montesquieu mencoba menyusun suatu system yang dapat menjamin hak-hak politik itu, yang kemudian yang dikenal dengan istilah trias politica. Ide-ide bahwa manusia mempunyai hak-hak politik menimbulkan revolusi prancis pada akhir abad ke-18, serta Revolusi Amerika melawan Inggris.
Sebagai akibat dari pergolakan yang tersebut di atas tadi, maka pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang kongkrit sebagai program dan system politik. Demokrasi padsa tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas azas-azas kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal rights) serta hak pilih untuk semua warga Negara (universal suffrage).

Sejarah Perkembangan Demokrasi Di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang –surutnya. Selama 25 tahun berdirinya Republik Indonesia ternyata bahwa masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana, dalam masyarakat yang beraneka-ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di samping membina suatu kehidupan social dan politik yang demokratis. Pada pokoknya masalah ini berkisar antara menyususun suatu system politik dimana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nasional building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktatur, apakah diktatur ini bersifat perorangan atau partai atau militer.
Dipandang dari sudut perkembangannya demokrasi sejarah Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa yaitu :
a. Masa Republik Indonesia I, yaitu masa demokrasi (konstitusionil) yang menonjolkan peranan parlement serta partai-partai dan yang karena itu dinamakan demokrasi parlementer.
b. Masa Republik Indonesia II, yaitu masa demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah mentimpang dari demokrasi konstitusionil yang secara formil merupakan landasannya, dan menunjukkan lbeberapa aspek demokrasi rakyat.
c. Masa Republik Indonesia III, yaitu masa demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusionil yang menonjolkan demokrasi presidensil.

• Masa 1945-1959
System parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia, meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa Negara Asia lain. Persatuan dapat digalang selama mengahadapi musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai, karenah lemahnya benih-benih demokrasi system parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewab Perwakilan rakyat.
• Masa 1959-1965
Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari presiden, terbatsnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Dekrit presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir.Sukarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (undang-undang memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar itu sendiri.
• Masa 1965-
Landasan formildari keputusan ini ialah Pancasila, Udang-Undang Dasar 1945 serta ketetapan-ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar yang telah terjadi dalam masa Demokrasi Terpimpin, kita telah mengadakan tindakan kolektif. Ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir. Soekarno telah dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi jabatan elektif selama lima tahun. Ketetapan MPRS No. XIX/1996 telah ditinjau kembali produk-produk legislative dari masa demokrasi Terpimpin dan atas dasar itu Undang-Undang No. 19/1964 telah diganti dengan suatu Undang-Undang baru (No. 14/1970) yang menetapkan kembali azas “kebebasan badan-badan peradilan”.

Demokrasi Pancasila Di Indonesia
Berikut ini ada beberapa perumusan mengenai demokrasi Pancasila yang diusahakan dalam beberapa seminar :
a. Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966
Bidang politik dan konstitusionil :
- Demokrasi Pancasila seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti menegakkan kembali azas-azas Negara hokum dimana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga Negara, dimana hak-hak azasi manusia baik dalam aspek kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dimana penyalahgunaan kekuasaan,dapat dihindari secara institusionil.
- Sosialisme Indonesia yang berarti masyarakat yang adil dan makmur.
- Elan Revolusioner untuk menyelesaikan revolusi, yang cukup kuat untuk mendorong Indonesia kearah kemujuan social dan ekonomi sesuai dengan tuntutan-tuntutan abad ke-20.
Bidang Ekonomi :
- Demokrasi ekonomi sesuai dengan azas-azas yang menjiwai ketentuan-ketentuan mengenai ekonomi dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang pada hakekatnya, berarti kehidupan yang layak bagi semua warga Negara, yang antara lain mencangkup :
 Pengawasan oleh rakyat terhadap penggunaan kekyaan dan keuangan Negara dan
 Koperasi
 Pengakuan atas hak milik perorangan dan kepastian hukum dalam penggunaannya.
 Peranan pemerintah yang bersifat Pembina, penunjuk jalan serta pelindung.11
b. Musyawarah Nasional III Persahi : The Rule of Law, December 1966
Azas Negara hukum Pancasilan mengandung prinsip :
a. pengakuan dan perlindungan hak azasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, social, ekonomi, kulturil dan pendidikan.
b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak terpengaruh oleh suatu kekuasaan/kekuatan lain apapun itu.
c. Jaminan kepastian hukum dalam semua persoalan.
c. Symposium Hak-hak Azasi Manusia, Juni 1967
Demokrasi Pancasila, dalam arti demokrasi yang bentuk-bentuk penerapannya sesuai dengan kenyataan-kenyataan dan cita-cita yang terdapat dalam masyarakat kita, setelah sebagai akibat dari regim Nasakom sangat menderita dan menjadi kabur, lebih memerlukan pembinaan daripada pembatasan sehinggga menjadi suatu “political culture” yang penuh vitalitas. Persoalan hak-hak azasi manusia dalam kehidupan kepartaian unutk tahun-tahun yang aka dating harus di tinjau dalam rangka keharusan kita untuk mencapai keseimbangan yang wajar di antara tiga hal :
1) Adanya pemerintah yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan
2) Adanya kebebasan yang sebesar-besarnya
3) Perlunya untuk membina suatu “rapidly axpanding economy”13,
Demokrasi Pancasila adalah sesuai dengan watak asli bangsa Indonesia. Berdasarkan kepada sila keempat pancasila, bersumber pada kepribadian dan nilai-nilai bangsa Indonesia sendiri. Pancasila merupakan kebulatan atau kesatuan yang bulat utuh menyeluruh dan sistematis dari kelima silanya, tidak dapat dipisah-pisahkan antara satu sila dengan sila yang lain, tidak dapat diperas menjadi Trisila dan Ekasila namun tetap Eka Pancasila.
Pedoman demokrasi Pancasila pada pasal 1 UUD 1945, yang rumusannya : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, adil dan beradap dan persatuan Indonesia serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ciri-ciri Demokrasi Pancasila :
a. Berazaskan kekeluargaan
b. Kebebasan individu tidak bersifat mutlak atau diselaraskan dangan tanggung jawab sosial
c. Perbedaan pendapat dihargai dan dijunjung tinggi
d. Tidak mengenal oposisi
e. Segala sesuatu diputuskan berdasrkan musyawarah untuk mufakat, bila tidak mungkin, baru dilakukan voting atau suara terbanyak.
Sejarah Lahirnya Demokrasi Terpimpin Di Indonesia
Pemberontakan yang gagal di Sumatra, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak tahun 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru yang kemudian melemahkan sistem parlement Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika presiden Soekarno secara universal membangkitkan kembali konstitusi 1945yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidentil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam resim yang otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin”. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju Non-Blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting Negara-negara bekas jajahan yang menolak aliran resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dalam awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada Negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia luar Uni Soviet dan China, dukunan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di Negara-negara lainnya.
Sejarah Lahirnya Demokrasi Parlementer Di Indonesia
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi Undang-Undang baru yang terdiri dari sistem parelemen diman dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintahan yang stabil susah dicapai.
Peran islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih Negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan Negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat islam kepada hukum islam.

Perkembangan Demokrasi Indonesia Sejak 27 Juli 1996
Genap sebelas tahun dalam ingatan kita akan lembar hitam Demokrasi di negeri ini. Tepatnya tanggal 27 juli 1996, sejarah mencatat tentang suatu negeri yang pemerintahannya tidak memberi ruang bagi berkembangnya demokrasi dan akal sehat. Bagi sebahagian besar rakyat Indonesia, peristiwa 27 juli 1996 merupakan sebuah pukulan mundur terhadap demokrasi, akan tetapi sekaligus pula menjadi tonggak pembuktian : bahwa rakyat tanpa memandang golongan, status social atau latar belakang mampu merubah apabila mereka inginkan.
Kenapa demikian ? Siapapun tidak biasa memungkiri bahwa di tahun-tahun itu demokrasi sedang mengalami pasang naik. Ketrlibatan ribuan orang dalam sebuah panggung kevil di Jalan Diponegoro Jakarta setidaknya dapat menjadi sebuah indikator. Dengan sukarela rakyat berduyun-duyun berdatanga seluruh pelosok daerah. Tanpa peduli, bersuara di waktu itu seperti halnya mempertaruhkan hidup. Satu hal yang menggerakkan suara-suara terpendam ini, yakni : Demokrasi !
Demikian pentingkah Demokrasi bagi rakyat sebuah negeri, hingga mereka rela mempertaruhkan segalanya ? bagaimana sesungguhnya, Demokrasi yang menjadi harapan dan spirit yang mampu menggerakkan segala lapisan rakyat kala itu ?
Bung Karno sebagai salah seorang pendiri republic, dalam amanatnya pada tanggal 17 Agustus 1960, berujar tentang harus diakhirinya exploitation de I’homme par I’homme atau penghisapan atas manusia oleh manusia. Baik antar bangsa kita sendiri atau bangsa lainnya. Dimana tujuan lahirnya adalah : Rakyat Merdeka-Penuh, penderitaan rakyat. Jika kita cermati lebih lanjut, disanalah makna Demokrasi kita dapatkan. Demokrasi yang beralas pada kebutuhan dan harapan rakyat negeri ini.
Demokrasi yang sesuai dengan Negara-negara kita, bukanlah seperti demikrasi yang kita praktekkan hari ini, yakni Demokrasi liberal. Demokrasi Indonesia sejak semula mengandung makna Gotomg-royong dan solidaritas, yang berada pada kutub berbeda dengan tradisi demokrasi liberal yang bersandar pada individualisme. Kitapun juga tida bisa serta mengadopsi mentah-mentah demokrasi Barat, mengingat
Pengertian Dan Sejarah Perkembangan Demokrasi
Demokrasi adalah sebuah kata yang berasal dari dua kata yaitu, Demos yang berarti rakyat, dan Kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat. Konsep Demokrasi menjadi sebuah kat kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu Negara. Atau dengan kata lain dapat diartikan sebagai Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga Negara) atas Negara untuk dijalankan oleh pemerintahan Negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politika yang membagi kekuasaan politik Negara (eksekutif, legislatife, dan yudikatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga Negara yang saling lepas (independent) dan berada dalam peringkat sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga Negara ini diperlukan agar ketiga jenis lembaga ini saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga Negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga peradilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan yudikatif dan lembaga-lembaga peradilan rakyat (DPR untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislative. Dibawah sistem ini keputusan legislative dibuat dibuat oleh masyarak `vn at atau wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislative, selain sesuai hukum dan peraturan. Kedaulatan rakyat yang dimaksud disini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secar langsung tidak menjamin Negara tersebut sebagai Negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden secara langsung hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walaupun perananya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini akibat dari cara berfikir lama daru sebahagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apapun seorang pemimpin Negara, masa hidupnya akan ajuh lebih pendek dari pada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun Negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu Negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan Negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahtraan dan kemakmuran rakyat.

Kesimpulan
Secara umum Demokrasi merupakan suatu istilah yang berasal dari Bahasa Yunani “demos” yang artinya rakyat sedangkan “kratein” berarti pemerintahan, maka arti dari Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dipegang oleh rakyat, atau rakyat diikiut sertakan dalam sistem pemerintahan Negara, sehingga sistem pemerintahan tersebut dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Maka dari pada itu pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini sudah melenceng dari apa yang ditetapkan pendiri bangsa. Pengambilan keputusan dengan suara terbanyak (voting) sekarang dianggap demokrasi terbaik di Indonesia. Padahal, demokrasi semacam itu sudah menyimpang jauh dari prinsip musyawarah mufakat.
Kita sudah salah tafsir tentang demiokrasi saat ini, pendiri bangsa ini sudah benar bahwa demokrasi Indonesia adalah musyawarah mufakat. Banyak penilaian masyarakat saat ini sudah terpengaruh oleh paradigma demokrasi barat. Padahal demokrasi ala barat tidak cocok untuk Indonesia, karena Indonesia terdiri dari keragaman suku bengsa, agama, dan sebagainya, contohnya saja warga Papua yang meminta suaka politik ke Australia. Mereka menilai pelaksanaan Ham di Indonesia sangat buruk. Padahal di Australia suku aborigin yang menjadi penduduk asli Australia, justru terpinggirkan dan tidak mendapat perlidunganh Ham yang layak. Faktanya tidak ada orang Aborigin yang memiliki jabatan di Australia. Di kemiliteran paling tinggi kopral. Sedangkan di Negara kita orang papua ada yang menjadi bupati, gubernur. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Ham di Indonesia jauh lebih baik dari pada di Australia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di Negara lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga ligislatif yang menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggota tanpa memperdulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga bukan saja harus akuntabel, tetapi juga harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabelitas dari setiap lembaga Negara dan mekanisme ini mampu secara oprasional (bukan hanya teori).
Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam (1992), Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia, Jakarta
Philipus, dan Aini, Nurul (2004), Sosiologi Dan Politik. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Team Dosen Pancasila Universitas Hasanuddin (2003), Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi. Tim Dosen Pancasila Universitas Hasanuddin, Makassar
Duverger, Maurice (1985), Sosiologi Politik. Rajawali, Jakarta
www.sistempemerintahanIndonesia.com
www.sejarahdemokrasiindonesia.com
www.politikindonesia.com
www.asalmulademokrasiindonesia.com
www.tribuntimur.com

Ringkasan Materi
Sejarah kenegaraan kita yang menggunakan konstitusi UUD 1945sebagai landasan structural telah mengahsilkan berbagai sistem pemerintahan yang berbeda-beda, bahkan pernah bertolak belakang secara konseptual. Pada tahun 1949 bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945 dengan konstitusi RIS dan tahun 1950 lagi-lagi digantikan dengan UUD sementara 1950, tetapi tetap menganut sistem demokrasi konstitusionil meski dengan system yang berlainan. Baru tahun 1955 pertama kali diselenggarakan pemilu dan dibentuk Majelis Konstituante untuk membuat UUD baru yang definitife.
Setelah itu diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dekrit presiden 5 juli 1959, timbul kembali pemerintahan otoriter di bawah panji Demokrasi terpimpin Soekarno dilanjutkan rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi Pancasila.
Dalam pemerintahan masa transisi baik zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawat sebelum pemilu 004, kita menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945 mengatur penyelenggaraan kekuasaan Negara karena sifatnya yang multi-interpretasi. Pemegang kekuasaan Negara bisa melakukan berbagai distorsidan devisiasi nilai-nilai demokrasi dan sistem pemerintahan.
Lain halnya dengan demokrasi konstitusionil, seperti yang diinstruksikan oleh Hatta dan Yamin yang pada waktu itu meletakkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, menegakkan supremasi hukum, pembagian kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legislative,dan yudikatif (trias politica), pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat dan dihormatinya hak azasi manusia. Konsep ini menujuk pad ciri-ciri yang bis ditetapkan secar eksplisit atau bisa dianggap bagian inti (inheren) dari konstitusional sebagai cita-cita yang selalu merupakan variable achievement. Dimana demokratisasi di Indonesia harus berlangsung pada dua dataran sekaligus yaitu dataran konseptual dan dataran praktis agar tidak tambal sulam.