Hubungan pusat-daerah merupakan wujud aktualisasi komitmen bersama seluruh elemen bangsa ketika negara Republik Indonesia didirikan, yaitu suatu bangsa yang melekat dan menyatu dalam tanah tumpah darah, yakni Indonesia. Oleh karena itu hubungan pusat daerah harus tidak disederhanakan secara mekanistis hanya sebagai sistem manajerial atau sebagai interaksi antarstrata pemerintahan saja. Ciri hubungan pusat daerah terefleksi dalam pasang surut kebijakan desentralisasi dan menorehkan kekecewaan daerah kepada pusat. Reformasi 1998 merupakan koreksi atas semua itu dengan lahirnya otonomi daerah yang mengedepankan peran serta daerah dalam sistem kekuasaan dan penyelenggaraan negara. Untuk saat ini, yang menjadi persoalan serius ialah sistem penganggaran atau dana transfer daerah. Dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan dana bagi hasil (DBH) yang secara keseluruhan disebut dana perimbangan (DP) merupakan wujud konkret dalam hubungan pusat daerah terkait sistem penganggaran. Pengaturannya berdasarkan UU No 25 Tahun 1999 yang diperbaiki dengan UU No 33 Tahun 2004 dan telah diterapkan sejak implementasi otonomi daerah tanggal 1 Januari 2001.
Dalam kaitan dengan DAU, cukup banyak masalah dijumpai. Pertama, DAU belum berfungsi penuh sebagai block grant belanja publik pemda menurut kewenangan karena sekitar 80% DAU dipakai untuk belanja pengawai saja. Kedua, formulasi DAU belum secara komprehensif menggambarkan seluruh fungsi daerah dalam menunjang keutuhan nasional; masih ada daerah-daerah dengan beban nasional, misalnya sebagai pusat prasarana vital dan strategis, pusat investasi, kawasan hutan lindung dan wilayah perbatasan yang belum diakomodasi dalam aspek legal. Sementara itu, dalam hal DAK juga dideteksi ada beberapa masalah penting. Pertama,perencanaan DAK masih bersifat top-down dan daerah kurang dilibatkan oleh departemen teknis.Tercatat temuan BPK pada 2006 dan 2007 sebesar Rp2,48 triliun DAK diterima oleh daerah yang tidak berhak menurut ketentuan, sementara yang layak tak menerima. Kedua, DAK tidak diketahui dan tidak dapat direkam oleh gubernur sehingga tidak masuk dalam APBD, juga adanya kesulitan dalam pelaporan serta sasaran fungsional program tidak efektif. Ketiga, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang dikeluarkan pusat tidak sesuai kebutuhan daerah, di antaranya menimbulkan masalah hukum. Adapun dalam hal DBH, yaitu dana untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemda (ketimpangan vertikal), dijumpai beberapa masalah. Pertama, kurangnya keterbukaan informasi dan data dari pusat kepada daerah. Kedua, keterlambatan penyaluran DBH sumber daya alam sampai delapan bulan lamanya.
Di luar DAU, DAK dan DBH, sangat akrab terdengar tentang dana dekonsentrasi yang diatur dalam PP No 7 Tahun 2008. Dana dekonsentrasi adalah dana yang dialokasikan untuk mendukung agenda-agenda memperkuat pemda, meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintahan dan masyarakat, serta untuk mempertahankan integrasi nasional.
Perkembangan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam APBN dari tahun ke tahun relatif stabil, yaitu Rp38,45 triliun pada 2003 dan sebesar Rp36 triliun pada 2008 dengan tren pertumbuhan yang menunjukkan belum berlangsungnya pengalihan urusan secara nyata dari pusat kepada daerah kecuali dari tahun 2004 ke tahun 2005. Ini berarti bahwa sesungguhnya sudah jelas political willdi awal pemerintahan Presiden SBY 2004–2009, tetapi dalam pelaksanaan kembali terjadi pergeseran pada 2007. Masalah dana dekonsentrasi cukup serius dengan implikasi yang cukup luas, terutama dalam hal organisasi dan personil, juga dalam hal nilai-nilai otonomi daerah.Perencanaan program dekonsentrasi dilakukan oleh departemen teknis secara top-down dan kurang diketahui oleh kepala daerah. Akibatnya, sasaran fungsional program tidak efektif dan otonomi daerah juga menjadi tidak efisien. Magnitudo lain refleksi hubungan pusat daerah ialah terkait penataan kewilayahan yang menyangkut unit manajemen pemerintahan daerah atau konkretnya adalah masalah-masalah pemekaran daerah otonom baru dan permasalahan tata ruang wilayah. Diidentifikasi ada beberapa masalah pemekaran wilayah. Pertama, pemerintah belum memiliki grand design yang mengatur arah kebijakan dan strategi pemekaran daerah serta proyeksi mengenai jumlah daerah otonom ideal di wilayah NKRI.
Berarti ada masalah dalam pengembangan kebijakan operasional yang seharusnya bisa dilakukan oleh departemen. Masalah kedua menurut catatan BPK, usulan daerah otonom baru belum didukung oleh tenaga ahli yang berkompeten dan independen. Berarti ada masalah dalam metodologi yang sesung-guhnya dapat dikembangkan atau eksplorasi metode perencanaan untuk unit manajemen pemda secara obyektif dengan pendekatan daya dukung lahan (carrying capacity), penilaian dan prakiraan gross margin wilayah dan distribusi pendapatan (income distribution). Ketiga, gagasan pemekaran daerah lebih didominasi oleh justifikasi politik. Indikasinya adalah kelemahan dalam pengujian persyaratan teknis oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) sebagai lembaga politik eksekutif yang merupakan gawang penilaian kelayakan pemekaran daerah. Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan data setidaknya ada 97 unit daerah pemekaran baru yang lemah dalam hal justifikasi politik eksekutif. Masih dalam relevansi sistem penataan kewilayahan, masalah yang cukup serius juga adalah tata ruang wilayah sebagaimana diungkapkan para pengamat ekonomi dan terutama oleh dunia usaha.Pertama, masalah tumpang tindih kebijakan dalam penggunaan lahan dan tata ruang.Kedua, kelemahan dalam struktur ruang serta pemanfaatan dan pengendalian ruang yang mengakibatkan bencana alam serius. Ketiga, lemahnya perhatian pemda pada tata ruang.
Tercatat pada 2008,baru sebanyak 138 wilayah kabupaten/ kota dan 18 provinsi yang telah menetapkan perda tentang tata ruang.Keempat, ego kedaerahan seperti prasarana dan sarana dibangun tanpa perhitungan harmonisasi wilayah pelayanan bersama-sama dengan kabupaten/ kota tetangga. Kelima, alih fungsi lahan yang sangat dinamis seperti tahun 2007 terjadi perubahan kawasan hutan menjadi perkebunan seluas 4.741.194 hektare, terutama di Riau, Kalimantan Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, dan Papua. Persoalan tersebut tidak terlepas dari dimensi kepemimpinan dan koherensi politik pembangunan sebagai pijakan berbagai strata pemerintahan. Presiden RI dalam Sidang Paripurna Khusus DPD RI 19 Agustus meminta perhatian seluruh kepala daerah dengan penekanan pada dimensi kepemimpinan untuk “pembangunan bagi semua”. Jawaban strategis untuk itu ialah sinergi yang harus terjadi antara elemen pusat dan daerah karena sudah ada kebijakan, landasan hukum maupun instrumeninstrumen hubungan pusat daerah. Yang diperlukan ialah sinergi aplikasinya. Pertama, sinergi hubungan pusat daerah melalui aktualisasi sistem penganggaran daerah (dana transfer daerah dan APBD) demi tercapainya harmonisasi kepentingan nasional dan kebutuhan daerah. Langkah cepat untuk ini ialah efektivitas dan produktivitas dalam penerapan judicial review RAPBD oleh pusat/ departemen sesuai UU No 32 Tahun 2004. Kedua,sinergi dalam aktualisasi tata kewenangan antarstrata pemerintahan sebagai pijakan dasar penetapan kinerja dan alokasi anggaran dengan penerapan prinsip money follows function untuk kinerja pelayanan masyarakat secara bertanggung jawab. Ketiga, sinergi dalam memantapkan unit manajemen daerah otonom atau pemekaran daerah melalui pengendalian pemekaran daerah berdasarkan prinsip harmonisasi kepentingan nasional dan kebutuhan daerah dengan konfigurasi unit-unit manajemen pemerintahan daerah dalam format rentang kendali yang ideal secara fisik, ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Langkah cepat untuk ini ialah efektivitas dan efisiensi serta produktivitas kerja DPOD. Keempat,sinergi dalam pemantapan struktur ruang, pemanfaatan dan pengendalian ruang dengan prinsip harmonisasi kepentingan nasional dan kebutuhan daerah serta keserasian antardaerah. Langkah cepat untuk ini ialah padu serasi dan penyelesaian segera advis kehutanan serta penuntasan rencana tata ruang nasional yang mencakup sistem land usai dan sistem transportasi. Sinergi dalam peningkatan kapasitas aparatur yang mampu menjembatani kepentingan nasional dan daerah serta antardaerah. Langkah cepat reformasi birokrasi telah diisyaratkan oleh Presiden RI dan harus rampung tahun 2011.
No comments:
Post a Comment
Simpan komentar anda di sini?