Friday, June 4, 2010

Praktek Lapang Mata kuliah Metodologi Ilmu Pemerintahan Di Kabupaten Maros Kecamatan Bontoa

Thursday, June 3, 2010

PSIKOLOGI SOSIAL (Motivasi)

BAB I
PENDAHULUAN


Pada umumnya para ahli teori perilaku beropini bahwa dalam setiap perilakunya, manusia mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Tujuan tersebut diawali oleh adanya minat dan keinginan individu terhadap hal tersebut. Minat dan keinginan tersebut menjadi motivasi yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan untuk mencapai tujuannya. Motivasi erat sekali hubungannya dengan keinginan dan ambisi, bila salah satunya tidak ada, motivasi pun tidak akan timbul. Namun, seringkali terdapat keinginan dan ambisi besar, tapi kurang mempunyai inisiatif dan kemauan untuk mengambil langkah untuk mencapainya. Ini menunjukkan minat, kenginan, dan ambisi bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan kapasitas motivasi yang dimiliki seseorang.
Manusia memiliki kapasitas energi atau kemampuan yang terbatas dalam dirinya. Energi tersebut sering disebut Energi Potensial, yakni energi yang sudah dimiliki dan terasah oleh kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh individu sepanjang hidupnya. Dari kapasitas energi potensial tersebut, tidak semuanya dapat diperlihatkan atau digunakan secara langsung oleh manusia sebagai Energi kinetiknya, sebab sebagian dari energi tersebut berada di alam bawah sadarnya. Energi tersebut dapat dikerahkan secara maksimal melalui stimulus atau rangsangan yang abnormal kepada manusia tersebut. Contohnya, ketika mendapat ancaman, misal terjadi kebakaran atau bom, maka seseorang dengan cidera di kaki yang sebelumnya berjalan tertatih-tatih akan dapat berlari.






BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Motivasi

Kata motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Dengan kata lain, motif merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah- laku, dan di dalam perbuatanya itu mempunyai tujuan tertentu.

Untuk lebih memperjelas pembahasan tentang motivasi, berikut pengertian motivasi menurut beberapa para ahli manajemen sumber daya manusia, diantaranya yaitu:
• Wexley & Yukl adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif.
• Mitchell motivasi mewakili proses- proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela yang diarahkan ke tujuan tertentu.
• Gray lebih suka menyebut pengertian motivasi sebagai sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan- kegiatan tertentu.
• Morgan mengemukakan bahwa motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus merupakan aspek- aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah: keadaan yang mendorong tingkah laku, tingkah laku yang di dorong oleh keadaan tersebut, dan tujuan dari pada tingkah laku tersebut.
• McDonald memilih pengertian motivasi sebagai perubahan tenaga di dalam diri seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi- reaksi mencapai tujuan. Motivasi merupakan masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota organisasi berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini berbeda karena setiap anggota suatu organisasi adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula.
• Chung dan Megginson yang dikutip oleh Faustino Cardoso Gomes, menerangkan bahwa pengertian motivasi adalah tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang yang mengejar suatu tujuan dan berkaitan dengan kepuasan kerja dan perfoman pekerjaan.
• T. Hani Handoko mengemukakan bahwa motivasi adalah keadaan pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan tertentu guna mencapai tujuan.
• A. Anwar Prabu Mangkunegara, memberikan pengertian motivasi dengan kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara prilaku yang berubungan dengan lingkungan kerja.
• H. Hadari Nawawi mendefinisikan motivasi sebagai suatu keadaan yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan yang berlangsung secara sadar.
• Henry Simamora, pengertian motivasi menurutnya adalah Sebuah fungsi dari pengharapan individu bahwa upaya tertentu akan menghasilkan tingkat kinerja yang pada gilirannya akan membuahkan imbalan atau hasil yang dikehendaki.
• Soemanto secara umum mendefinisikan motivasi sebagai suatu perubahan tenaga yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi- reaksi pencapaian tujuan. Karena kelakuan manusia itu selalu bertujuan, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan tenaga yang memberi kekuatan bagi tingkahlaku mencapai tujuan,telah terjadi di dalam diri seseorang.

Dari defenisi motivasi diatas maka dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu keadaan atau kondisi yang mendorong, merangsang atau menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu atau kegiatan yang dilakukannya sehingga ia dapat mencapai tujuannya.



B. TEORI MOTIVASI

Dalam menjelaskan bagaimana motivasi bekerja ditemukan kesulitan, oleh karena pendekatan yang dilakukan untuk mengkaji motivasi itu sendiri didasarkan pada penjabaran teori-teori motivasi, diantaranya:

• Teori Insentif
Teori ini mengemukakan bahwa seseorang akan bergerak atau mengambil tindakan karena ada insentif yang akan dia dapatkan. Insentif atau reward (imbalan) tersebut dianggap setara bahkan lebih besar manfaatnya dibandingkan perbuatan yang dilakukannya oleh karenanya ini menjadi sebuah motivasi yang besar.
• Dorongan Bilogis
Saat ada sebuah pemicu atau rangsangan, tubuh kita akan bereaksi. Sebagai contoh, saat kita sedang haus, kita akan lebih haus lagi saat melihat segelas sirup dingin. Perut kita akan menjadi lapar saat mencium bau masakan. Bisa dikatakan ini adalah dorongan fitrah atau bawaan kita sejak lahir untuk mempertahankan hidup dan keberlangsungan hidup. Dorongan biologis meliputi nafsu manusia.
• Teori Hirarki Kebutuhan
Teori ini dikenalkan oleh Maslow Teori Hierarki Kebutuhan. Teori ini menyajikan alasan lebih lengkap dan bertingkat. Mulai dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan kemanan, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, hingga kebutuhan akan aktualisasi diri.
• Takut Kehilangan vs Kepuasan
Teori ini mengemukakan bahwa pada dasarnya ada dua faktor yang memotivasi manusia, yaitu takut kehilangan dan demi kempuasan (terpenuhinya kebutuhan). Takut kehilangan adalah adanya kekhawatiran akan kehilangan yang hal-hal sudah dimiliki. Misalnya seseorang yang termotivasi berangkat kerja karena takut kehilangan gaji. Ada juga orang yang giat bekerja demi menjawab sebuah tantangan, dan ini termasuk faktor kepuasan. Konon, faktor takut kehilangan lebih kuat dibanding meraih kepuasan, meskipun pada sebagian orang terjadi sebaliknya.
• Kejelasan Tujuan
Teori ini mengatakan bahwa kita akan bergerak jika kita memiliki tujuan yang jelas dan pasti. Dari teori ini muncul bahwa seseorang akan memiliki motivasi yang tinggi jika dia memiliki tujuan yang jelas. Sehingga muncullah apa yang disebut dengan Goal Setting (penetapan tujuan)
• Teori Harapan
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.


C. JENIS – JENIS MOTIVASI
Terdapat dua jenis Motivasi, yakni:

1. Motivasi Intristik
Motivasi yang berasal dari dalam diri manusia. Motif-motif tersebut menjadi aktif atau berfungsi tanpa perlu rangsangan dari luar/lingkungan. Umumnya, motivasi intrinsik tersebut merupakan bagian dari sifat individu, misalnya bakat atau minat terhadap sesuatu. Seseorang yang belum makan seharian akan merasa sangat lapar dan memiliki keinginan yang sangat besar untuk makan, walaupun tanpa adanya bau makanan tercium olehnya.
Motivasi Intrinsik dibangun oleh karakter atau sifat dasar yang dimiliki oleh individu. Hal inilah yang menyebabkan bangunan motivasi yang dimiliki setiap orang berbeda-beda.

2. Motivasi Ekstrinsik
Dorongan yang ada pada diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan yang bersal dari luar individu yang bersangkutan. Rangsangan tersebut berasal dari lingkungannya. Dengan kata lain motivasi ektrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Misalnya seorang pebisnis yang termotivasi untuk bekerja lebih giat dan meningkatkan usahanya sebab memiliki banyak saingan.
Pada dasarnya semua motivasi itu datang dari dalam diri manusia. Faktor luar (lingkungan) hanyalah pemicu munculnya motivasi tersebut, namun baik motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrisik sama berfungsi sebagai pendorong, penggerak, dan penyeleksi perbuatan. Ketiganya menyatu dalam sikap yang terimplikasi dalam perbuatan. Dorongan adalah fenomena psikologis dari dalam diri individu yang melahirkan hasrat untuk bergerak dimana setelahnya akan terdapat evaluasi terhadap perbuatan yang telah dilakukan. Kekurangan atau ketiadaan motivasi baik yang intrinsik maupun ektrinsik akan menyebabkan seseorang kurang bersemangat untuk melakukan kegiatan.







BAB III
PENUTUP


Motivasi adalah dorongan yang berasl dari dalam diri seseorang untuk bertindak. Dorongan itu bisa datang dari luar maupun dari dalam diri. Meski pada dasarnya semua motivasi itu datang dari dalam diri manusia dan faktor luar (lingkungan) hanyalah pemicu munculnya motivasi tersebut, terdapat dikotomi Motivasi, yakni Motivasi Intrinsik dan Motivasi Ekstrinsik. Motivasi Intrinsik merupakan dorongan yang secara murni berasal dari dalam diri individu tanpa adanya pemicu atau stimulus dari lingkungan. Sedangkan Motivasi Eksterinsik merupakan motivasi yang sebagian besar dipengaruhi uleh rangsangan dari luar diri individu, yakni lingkungan.
Fokus motivasi adalah pada dasarnya adalah pencapaian tujuan. Motivasi membuat keadaan dalam diri individu muncul, terarah, dan mempertahankan perilaku untuk mendapatkan keinginannya.
Motivasi yang ada pada setiap orang tidaklah sama, sebab lahirnya motivasi sangat dipengaruhi oleh sifat dasar individu (motivasi intrinsik), kenyataan yang diperoleh (motivasi ektrinsik), perbuatan yang pernah dilakukan, minat, bakat, angan-angan dan cita-citanya.










DAFTAR PUSTAKA


http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/10/tujuan-dan-manfaat-motivasi.html

http://www.anneahira.com/motivasi/pengertian-motivasi.htm

http://www.squidoo.com/definisi-motivasi

http://id.shvoong.com/business-management/management/1658520-tujuh-teori-motivasi/

http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/10/jenis-jenis-motivasi.html

Perbandingan Antara Sistem Kepemimpinan Pemerintahan Antara Indonesia Dengan Prancis


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
 Dalam penyelenggaraan pemerintahan sebuah negara di manapun di dunia, memerlukan adanya unsur pemimpin disamping unsur lain seperti wilayah dan rakyat yang dipimpin. Sejarah kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 lalu, telah melalui perjuangan panjang bangsa yang telah mengorbankan jiwa dan raga yang besar untuk itu, karena selama 3,5 abad lebih bangsa penjajah selalu ingin kembali menjajah negara kita yang kaya raya dan indah. Wilayah yang dihuni oleh lebih  ratusan  suku bangsa atau etnis yang tersebar diantara Sabang dan Merauke. Sedangkan dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari hari memiliki berbagai; agama dan adat istiadat atau budaya, bahasa daerah yang sangat beragam dan berbeda satu sama lain. Penduduk dengan masyarakatnya yang sangat heterogen yang mendiami sekita 6000 buah pulau. Di lain pihak penduduk yang begitu besar dan majemuk tersebut memerlukan pemimpin yang kuat dan tangguh serta berada ditengah tengah keberagaman diantara berbagai suku, ras, agama, adat istiadat dan kebiasaan sehari hari. Dipihak lain dalam tujuan negara untuk mensejahteraan masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia saat ini masih dalam perjalanan cukup panjang. Masalahnya memerlukan semangat dan keinginan seluruh rakyat atas kepemimpinan yang baik di dalam keberagaman budaya tersebut. Pada makalah ini pun akan dibahas mengenai prancis yang mermiliki berbagai kesamaan dengan indonesia.
Keberadaan Perancis dilatarbelakangi dari berbagai peristiwa revolusi dimana prancis merupakan sebuah negara yang teritori metropolitannya terletak di Eropa Barat dan juga memiliki berbagai pulau dan teritori seberang laut yang terletak di benua lain. Perancis Metropolitan memanjang dari Laut Mediterania hingga Selat Inggris dan Laut Utara, dan dari Rhine ke Samudera Atlantik. Orang Perancis sering menyebut Perancis Metropolitan sebagai  Heksagon karena bentuk geometris teritorinya. Perancis adalah sebuah republik kesatuan semi-presidensial. Ideologi utamanya tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Perancis telah menjadi salah satu kekuatan terbesar dunia sejak pertengahan abad ke-17. Di abad ke-18 dan 19, Perancis membuat salah satu imperium kolonial terbesar saat itu, membentang sepanjang Afrika Barat dan Asia Tenggara, mempengaruhi budaya dan politik daerah. Perancis adalah negara maju, dengan ekonomi terbesar keenam  terbesar di dunia dan terluas di Eropa 
B.          Rumusan Masalah
Ø      Bagaimana sistem kepemimpinan pemerintahan indonesia?
Ø      Bagaimana sistem kepemimpinan pemerintahan negara prancis?
Ø      Bagaimana perbandingan antara sistem kepemimpinan pemerintahan antara indonesia dengan prancis?



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Sistem Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia
Indonesia merupakan Negara kesatuan yang terdiri atas Sejak reformasi bergulir, sistem kepemimpinan di Indonesia tidak lagi sentralistik, tetapi sudah desentralistik, kenyataannya dalam Pilkada provinsi dan kabupaten/kota maupun pilpres punya janji-janji masing-masing, yang notabene pemimpin daerah dan pemimpin nasional tidak satu suara, sehingga banyak menimbulkan ketimpangan-ketimpangan kepemimpinan, Bupati seakan sudah berdiri sendiri dan tidak tergantung lagi dari Gubernur dan instruksinya, demikian juga Gubernur tidak lagi ketergantungan komando presiden hal ini bisa dilihat pada struktur Departemen-departemen seperti pertanian, pendidikan dan lain-lain yang sudah tidak satu mata rantai lagi karena di daerah sudah dikendalikan oleh Gubernur maupu bupati/Walikota melalui dinas-dinasnya.
Secara formal dalam konstitusi maupan dalam prakteknya indonesia merupakan:
1.      Bentuk negara kesatuan indonesia adalah republik,dengan demikian kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR yang keanggotaannya terdiri dari DPR yang mempunyai peranan legislatif dan dipilih secara berkala 5 tahun sekali melalui pemilu dan DPD yang merupakan utusan daerah yang peranannya ditentukan oleh undang-undang.
2.      Sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem presidensil. Dimana sebagai kepala negara presiden juga sebagai kepala pemerintahan dan bertanggung jawab langsung ke rakyat melalui MPR dan dibantu oleh menteri dalam menjalankan tugasnya. Untuk kelancaran tugasnya presiden sebagai kepala eksekutif  juga dilengkapi dengan sejumlah kekuasaan legislatif dan yudikatif.
Menilik mengenai sistem pemerintahan indonesia dimana presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan menjalankan kekuasaannya berdasarkan dengan konsep kepemimpinan nasional yang bersifat universal dengan kepemimpinan indonesia, yaitu menggunakan  “Rasionalitas” dan “semangat kekeluargaan”. Yang dapat dilihat pada tindakan dari berbagai proses kepemimpinan pemerintahan yang dijalankan oleh para pengambil keputusan yang tercermin pada:
 sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila
 mampu menanggapi kemajuan IPTEK dan kemajuan zaman
 timbulnya kepatuhan yang dipimpinnya, bukan karena katakutan, tetapi karena kesadaran dan kerelaan
 bertanggung jawab atas segala tindakan dan perbuatan yang dipimpinnya
Pada dasarnya kepemimpinan pemerintahan di Indonesia dipengaruhi oleh ragam budaya yang dimiliki oleh daerah-daerah yang menjadi bagian dalam menjalankan pemerintahan yang berdasarkan atas konsep budaya yang mereka miliki seperti di beberapa daerah yang masih menggunaka system kerajaan dalam menjalankan pemerintahannya.
B.       Sistem Kepemimpinan Pemerintahan Negara Prancis
Awal revolusi dapat dikategorikan dalam beberapa tahap yaitu masa dewan konstitusional,masa dewan legislative,masa konvensi nasional, dan masa direktorat. Tetapi keadaan yang beranjak pada jalur demokrasi ini ditandai dengan perebutan antar kelompok. Model Sistem Pemerintahan Republik Perancis Secara ringkas ciri-ciri pemerintahan Perancis sekarang ini adalah sebagai berikut.
           1.  Perancis adalah negara kesatuan
 2.  Konstitusinya adalah tertulis, tetapi konstitusi Perancis lebih kaku
3. Pemisahan kekuasaan nampak agak jelas, legislatif di tangan Parlemen, eksekutif di tangan Presiden dan yudicial di tangan badan kehakiman.
4. Parlemen adalah bicameral, terdiri dari Sidang Nasional (National Assembly) dan Senat tidak terdapat Parliament Sovereignity, Presiden kepala eksekutif tidak dipilih oleh Parlemen, tetapi oleh “electoral College” yang terdiri dari wakil municipal (daerah-daerah/kota-kota).
5.  Kabinet, terdiri dari Dewan Menteri-Menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri.
6.  Dewan Konstitusi, yaitu suatu dewan yang beranggotakan 9 orang yang diangkat secara sama oleh Presiden,
7.  Ketua Assemblee dan Ketua Senat.
     Tugas utamanya ialah:
a.mengawasi ketertiban dalam proses pemilihan Presiden dan Parlemen;
b.mengawasi pelaksanaan referendum.
Berbicara mengenai kepemimpinan pemerintahan di prancis masing-maing wilayah mengurus rrumah tangga mereka sendiri dengan menjamin terselenggaranya kesejahteraan rakyat, ketertiban dan kepentingan lainnya. Dengan dengan memegang mandat rakyat dari badan pemilih presiden harus bias menjauhkan diri dari pertentangan pengikut partai. Pemilihan presiden oleh rakyat juga memungkinkan membesarnya pengaruh pada fraksi-fraksi di parlemen yang menentang kesinambungan kebijaksanaan umum yang dikeluarkan oleh presiden dan presiden adalah satu-satunya yang mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan kepentingan dari seberang garis-garis perpecahan dalam masyarakat. Jadi, jika presiden di prancis tidak efektif maka seluruh system akan mandek dan terbengkalai.
Di prancis sendiri terdapat 2 golongan yakni golongan sosialis dan komunis dimana kekuatan pemilih mereka jika mengalami penurunan maka akan terjadi kerjasama sebagai mitra muda pemerintah yang berusaha memperluas nasionalisasi sector ekonomi prancis dan mengintroduksi rencana yang lebih mengandung prinsip persamaan hak atau menjdi golongan yang makin terisolir dan lemah yang bertindak sendirian.
C.            Perbandingan Antara Sistem Kepemimpinan Pemerintahan Antara Indonesia Dengan Prancis
            Antara Indonesia dengan Prancis dalam pelaksanaan pemerintahannya walaupun memiliki perbedaan tetapi dalam pelaksanaanya memiliki banyak kesamaan diantaranya mulai dari bentuk Negara kesatuan,system perintahan masing-masing menggunakan system presidensil walaupun pada prancis masih menggunakan sistem pemerintahan semi presidensil. Juga kedua Negara ini menggunakan konsep trias politika yakni memisahkan antara kewenangan eksekutif, legislative dan yudikatif  Selain itu Indonesia dan Perancis sama-sama memiliki DPD, namun kewenangannya berbeda. Antara Indonesia dan prancis dalam praktek kepemimpinan mengandalkan amunisi dalam menggerakkan roda perekonomian dan hal ini bukan merupakan suatu rahasia umum lagi dari kedua Negara ini hal ini biasanya kita jumpai pada saat pemilihan umum dimana para calon pemimpin memberikan janji-janji politiknya bahkan para wakil rakyat pun tidak ketinggalan dalam menberikan janji-janji manis kepada para calon pemilih demi untuk mendapatkan kekuasaan di legislative maupun di lembaga eksekutif Dimana pada kedua Negara yang masing-masing menjunjung tinggi akan keberadaan demokrasi.
Dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah, dilaksanakan dengan sistem dekonsentrasi bersamaan dengan desentralisasi, jika di Indonesia dikenal dengan provinsi dan kabupaten/kota sementara di prancis memiliki daerah-daerah yaitu departemen dan commune. Pada dasarnya system kepemimpinan antara Indonesia dan prancis memiliki banyak kesamaan sebagai contoh bahwa dalam memperoleh suatu kedudukan dalam kepemimpinan pemerintahan tidak lepas dari berbagai tindakan-tindakan politik.




BAB III
PENUTUP
A.               KESIMPULAN
ü      Sistem kepemimpinan di Indonesia tidak lagi sentralistik, tetapi sudah desentralistik
ü      kepemimpinan pemerintahan di prancis masing-maing wilayah mengurus rrumah tangga mereka sendiri dengan menjamin terselenggaranya kesejahteraan rakyat, ketertiban dan kepentingan lainnya
ü      Indonesia dengan Prancis dalam pelaksanaan pemerintahannya walaupun memiliki perbedaan tetapi dalam pelaksanaanya memiliki banyak kesamaan
B.               REKOMENDASI
Setelah penulisan makalah ini telah diselesaikan masih ada hal yang masih perlu untuk dikaji lebih mendalam mengenai perbandingan kepemimpinan pemerintahan antara Indonesia dan prancis.








DAFTAR PUSTAKA
Syafiie,Inu Kencana.2008.Perbandingan Pemerintahan.Penerbit:PT Refika Aditama

Ndraha,taliziduhu.1983.Metodologi Pemerintahan Indonesia.Penerbit:bina aksara Jakarta

Pamudji,s.1985.Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia.penerbit:Bina Aksara Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Perancis

Wednesday, April 14, 2010

Fenomena Seputar Pendaftaran Tanah dan Relevansinya dalam Perwujudan Tertib Administrasi Pertanahan
Hukum dikatakan berfungsi sebagai sarana perubahan sosial bilamana hukum itu digunakan secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum atau keadaan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan.
(Munir, 1998:4).
Pernyataan di atas adalah sepenggal pernyataan yang menjelaskan bahwa suatu peraturan (dalam hal ini UU) sangat dibutuhkan untuk menciptakan suatu keteraturan dalam masyarakat, demikian pula halnya dengan UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam sejarah pertanahan di Indonesia, sampai saat ini masih banyak hal yang diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), belum dapat dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebagai peraturan dasar, UUPA hanya mengatur asas-asas atau masalah-masalah pokok dalam garis besarnya berupa hukum pertanahan atau agraria. Untuk itu diperlukan pengaturan yang lebih rinci dalam berbagai bentuk peraturan organik baik berupa undang-undang maupun peraturan yang lebih rendah. Dari sekian banyak hal yang belum dijabarkan, salah satunya mengenai pendaftaran tanah.
Dalam pasal 19:1 UUPA No.5/1960 mengenai pendaftaran tanah disebutkan bahwa,” Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan - ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”, yang hal ini kemudian diatur dalam PP No. 24/1997. Tentunya hal ini akan menjadi syarat kepastian hukum demi melindungi hak-hak masyarakat akan fungsi sosial tanah demi terciptanya tertib administrasi pertanahan, sehingga hal-hal seperti pungutan liar dan rumitnya prosedur administrasi pertanahan dapat diminimalisir. Salah satu program yang dinilai banyak kalangan dapat mewujudkan hal ini adalah kebijakan mengenai pembebasan biaya pembelian blangko PPAT yang diusung oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dengan demikian kepengurusan tanah akan semakin murah karena masyarakat tidak perlu lagi membayar untuk mendapatkan blanko akta PPAT. Penyediaan dan pengelolaan blanko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) akan diperlakukan sama dengan blanko sertifikat tanah yang disediakan oleh negara sehingga menjadi gratis (Kompas, 2009). Menurut hemat saya, kebijakan ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari aturan UUPA No.5/1960 Pasal 19:4 yang menegaskan bahwa,” Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut”.
Begitu gencarnya visi tertib administrasi pertanahan ini didengung-dengungkan oleh Badan Pertanahan Nasional, namun kembali terjadi lagi banyak fenomena menarik berupa pungutan liar dalam pendaftaran tanah hingga pembuatan sertifikat di berbagai daerah, sehingga pantas dipertanyakan eksistensi dan esensi dari visi perwujudan tertib pertanahan itu sendiri. Misalnya kasus yang terjadi pada tahun 2008 dan baru terungkap pada 14 Februari 2009 tepatnya di Desa Tanah Merah, Kupang yang menimpa beberapa warga masyarakat. Sejumlah tokoh masyarakat Tanah Merah kemudian mengecam hal tersebut, pasalnya ada pungutan uang untuk membuat sertifikat secara program nasional (prona) yang dilakukan aparat setempat sejumlah seratus ribu rupiah namun hingga kini sertifikat tersebut tak kunjung selesai (sudah setahun kepengurusan dan tidak ada info untuk itu). Bahkan ketika beberapa warga menanyakan hal tersebut di kantor desa, maka yang didapat hanyalah jawaban yang menegaskan bahwa nama yang bersangkutan tidak termuat dalam daftar prona. Bahkan lebih jauh fenomena menarik terjadi di Palu, Sulawesi Tengah di mana Kepala BPN Palu telah ditahan terkait kasus pungli yang lagi-lagi dari prona.
Selain itu juga, maraknya peredaran blangko ilegal yang terjadi disejumlah daerah dan banyaknya akta peralihan yang dibuat oleh notaris yang bukan PPAT membuat masyarakat semakin resah akan adanya jaminan hak atas tanah. Keseluruhan hal ini menurut saya disebabkan karena kurangnya pembinaan/ pengawasan terhadap aparat pertanahan yang diperparah dengan kurangnya kesadaran masyarakat lewat minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh BPN sehinnga terjadilah pungutan liar, peredaran balngko palsu, kesalahan baik oleh PPAT maupun BPN dalam pembuatan sertifikat seperti yang terjadi di Solo tahun 2008 dll.
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa kebijakan BPN dalam menggratiskan blanko akta PPAT dan pemberian identitas khusus (id) kepada PPAT dan PPAT untuk mencegah praktik percaloan merupakan kebijakan yang efektif namun terlambat. Hal ini dikarenakan sejak tahun 1960 UUPA diberlakukan yang dibarengi dengan PP No. 24/1997 yang dihiasi dengan sejumlah kasus yang berkaitan dengan hal itu, namun baru di awal 2009 kebijakan ini lahir. Tampaknya pemerintah dalam hal ini BPN kurang tegas dalam mengurusi problematika yang berkaitan tanah. Namun tiada kata terlambat dalam setiap usaha dan oleh karena itu melalui kebijakan ini diharapkan pemerintah melalui komitmennya untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan sebagai salah satu program catur tertib pertanahan lebih mengoptimalkan kinerjanya. Selain itu juga, orientasi pembinaaan/ pengawasan aparat pertanahan yang diimbangi dengan sosialisasi peningkatan kesadaran masyarakat dan aparat mengenai pertanahan harus lebih digalakkan demi terwujudnya tertib administrasi pertanahan.




DAFTAR RUJUKAN
Buku
Kalo, Syarifudin, Kapita Selekta Hukum Tanah, Medan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004.
Parlindungan, A.P., Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, Bandung, Alumni, 1978.
Website
http://www.koranindonesia.com/2008/06/25/diduga-korupsi-kepala-bpn-palu-ditahan.htm, Download 9 Maret 2009, Search engine google.com
http://www.landpolicy.or.id/news/1/tahun/2008/bulan/03/tanggal/20/id/95.htm Download 9 Maret 2009, Search engine google.com
http://www.dpr.go.id/buletinparlementaria/berita_isi.php?id=83&ed=11.htm Download 9 Maret 2009, Search engine google.com
http://kapanlagi.com/h/0000175053_print.html Download 9 Maret 2009, Search engine google.com
http://www.antara.co.id/print/?i=1208514552
http://www.kompas.com/news/mengurus.sertifikat.tanah.semakin.murah.htm

Peraturan dan Undang-undang
Republik Indonesia, Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Dinamika Politik Lokal Dalam Penyelenggaraan OTODA

BAB I
PENDAHULUAN
Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat kecil (Bell, 1988:2).
Ungkapan ini mengisyaratkan, bahwa peran negara nasional sebagai pengatur dan penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat tergantung dengan mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik pada tingkat internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95). Konsekuensi logis dari hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan kepada unit-unit sub nasional dan lokal.
Hal ini pula yang kemudian menjiwai semangat Indonesia dalam merubah tatanan pemerintahan melalui suatu mekanisme yang mempermudah pengelolaan negara. Berdasarkan hal itu, melalui Reformasi dengan salah satu agendanya yaitu restrukturisasi birokrasi, maka diterapkanlah suatu sistem yang memfokuskan pengelolaan potensi lokal yang turut serta mendukung pengembangan potensi nasional. Sistem ini kemudian kita kenal dengan desentralisasi, yang mekanisme pelaksanaannya ditetapkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Jo 32 Tahun 2004.
Desentralisasi dengan Otonomi Daerah sebagai konsekuensi logisnya, tentunya berorientasi pada pengembangan potensi lokal dalam menjalankan pemerintahan daerah yang turut menunjang pemerintahan nasional. Potensi lokal yang dimaksudkan di sini tidak hanya terbatas pada sumber daya alam dan finansial, tetapi juga sumber daya manusia, dalam hal ini elit-elit politik lokal. Pengembangan potensi yang di maksud dalam pembahasan saat ini merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh berbagai daerah yang menyelenggarakan otonomi. Oleh karena itu, sudah seyogyanya apabila terjadi kompetesi antar daerah dalam mengembangkan potensinya sekaligus merangsang daerah-daerah kecil/ terpencil mengembangkan potensi lokalnya guna memperjuangkan tercapainya pemekaran wilayah. Memang otonomi daerah dan pemekaran wilayah adalah dua hal yang berbeda, namun terdapat hubungan saling pengaruh di antara keduanya. Otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah secara administratif dan politik, akan merangsang masing-masing daerah kecil/terpencil berusaha sekeras mungkin agar dapat dimekarkan. Hal ini disebabkan karena dengan pemekaran suatu daerah menjadi daerah otonom, maka hal ini mempermudah akses dana untuk pembangunan di daerah itu, mempermudah pengembangan karir elit politik lokal dll.
Suatu kondisi yang berlainan dengan penerapan otonomi daerah apabila dikaitkan dengan dinamika politik lokal yang kurang berkembang, dimana kurangnya kesiapan pemerintah dan masyarakat, kurangnya potensi yang bisa dikembangkan baik kualitas dan kuantitas SDM maupun SDA, tentunya akan menjadi hambatan dalam pelaksanaan otonomi daerah secara menyeluruh. Hal inilah yang menurut hemat penulis sebagai hambatan yang patut dianalisis lebih jauh guna menghasilkan sebuah solusi pemecahannya. Berangkat dari hal di atas, maka penulis berupaya menganalisis secara mendalam tentang penerapan otonomi daerah yang dikaitkan dengan dinamika politik lokal dengan mengangkatnya ke dalam sebuah makalah dengan judul,”Dinamika Politik Lokal: Tantangan dan Hambatan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah”.





BAB II
PEMBAHASAN
Heinelt dan Wollmann (1991) mendefinisikan politik lokal sebagai suatu sense dalam pembagunan dan penghargaan secara sosial yang berupa keputusan-kepurusan dalam sistem interaksi berdasarkan fisik dan ruang sosial. Sementara Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah).
Berbicara tentang politik lokal akan terkait dengan kekuasaan yang digunakan untuk memimpin suatu masyarakat tertentu. Di mana kekuasaan itu tidak hanya didasarkan pada kemampuan tetapi juga oleh faktor lain yang memiliki kaitan dengan keberadaan masyarakat atau daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu ada dua faktor yang mempengaruhi kehidupan politik lokal masyarakat Indonesia, pertama munculnya agenda pemekaran wilayah atas dasar asumsi-asumsi etnisitas yang lebih spesifik, sebagai salah satu indikasi penguatan identitas terhadap wacana demokrasi lokal. Masyarakat Indonesia yang kaya akan identitas kelompok etnis, membutuhkan pemahaman yang serius dalam membangun kerangka interaksi politik yang toleran, yang dalam potensinya bisa memperkuat pluralisme (Abdilah, 2002) Sementara Giddens (2000) menjelaskan bahwa heterogenitas itu sendiri bukan merupakan suatu halangan. Ia merupakan bagian terpenting yang tak dapat dipisahkan dari makna “bangsa kosmopolitan” yang sesungguhnya.
Kedua, Kehadiran masyarakat dalam wilayah publik yang terbuka merupakan bagian dari perluasan arena gerakan rakyat dengan cara ikut berpartisipasi di dalam pembentukan kebijakan daerah sebagai upaya penguatan basis lokal. Penguatan basis lokal tersebut diharapkan bisa mengubah taraf kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat. Oleh sebab itu, bagaimana menggunakan pintu pemberian otonomi daerah ini menjadi titik masuk bagi demokratisasi dan partisipasi rakyat. Sementara pertumbuhan otoritas pemerintah pusat yang disejajarkan dengan pemerintah lokal untuk melakukan stabilitas ekonomi dan politik serta meningkatkan partisipasi dalam program pembangunan (Mac Andrew, 1986). Hal senada juga dinyatakan oleh Morfit, (1995) bahwa usaha yang dilakukan pemerintah pusat dalam menangani masalah yang ada di daerah adalah memperkuat posisi pemerintah daerah, ini semua terkait dengan desentralisasi yang dilakukan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran pemerintah di aras lokal/ daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerah.
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa dinamika politik lokal sangat ditentukan oleh tingakt keluasan otonomi yang diberikan kepada suatu daerah. Dalam artian semakin luas otonomi suatu daerah, maka politik lokal di daerah tersebut akan semakin berkembang. Realisasi hal ini dapat kita lihat pada tingginya tingkat permintaan daerah yang ingin dimekarkan, dikarenakan aras perpolitikan yang kian berkembang. Contoh kongkritnya dapat kita lihat dari pemekaran daerah Gorontalo menjadi Provinsi. Sewaktu masih bergabung dengan Sulawesi Utara, maka Pemerintah Gorontalo seakan-akan tidak punya taji dalam pemerintahan daerah, apalagi di kancah nasional. Namun ketika dimekarkan sebagai sebuah provinsi, maka Gorontalo dapat berbicara bukan saja di tingkat nasional bahkan di taraf internasional. Hal ini dikarenakan dengan otonomi daerah yang diberikan, maka Gorontalo dapat dengan mudah mengembangkan potensi lokal yang dimilikinya yang didukung oleh kebijakan yang dirumuskan di tingkat lokal. Tentunya hal ini tidak terlepas dari peranan masyarakat yang turut serta ambil bagian sejak perumusan hingga pelaksanaan kebijakan di daerah.
Contoh lain dapat kita lihat dalam pilkada langsung yang juga merupakan suatu kemutlakan dalam otonomi daerah. Melalui pilkada yang diadakan di berbagai daerah, dapat kita lihat antusias yang besar dari berbagai daerah dalam pelaksanaannya. Begitu banyak potensi elit lokal yang mulai berkembang, bukan saja melalui proses karir melalui partai politik tetapi juga melalui jalur independen. Hal ini tentunya merupakan suatu kemajuan besar dalam sejarah perpolitikan daerah di mana begitu ketatnya persaingan untuk menjadi pemimpin daerah, hingga setiap orang berusaha dengan sebaik mungkin menambah kapasitas dan kapabilitasnya untuk menarik simpati masyarakat. Selain itu juga suatu keuntungan besar juga diraih masyarakat dalam hal kebebasan untuk memilih wakil-wakilnya sesuai nurani. Hal inilah tentunya menyebabkan bertaburnya elit-elit lokal di daerah (caleg) yang mencoba menarik simpati masyarakat dengan janji-janji yang menggiurkan rakyat. Selain itu juga, peranan politik lokal demikan terasa ketika ada partai-partai lokal yang kemudian ikut serta dalam pemilu yang nantinya akan diadakan pada april 2009. Hal ini kemudian memunculkan statement bahwa setiap politik lokal adalah politik nasional.
Merujuk pada pelaksanaan sebelumnya, maka setiap persoalan yang ada di tingkal lokal diselesaikan oleh pemerintah pusat. Namun, setelah otonomi daerah digalakkan, maka persoalan-persolaan yang terjadi pada tataran lokal harus diselesaikan dengan kearifan lokal yang ada. Hal itu sejalan dengan pandangan kaum lokalis yang dimotori Jones dan Stewart. Keduanya beranggapan, hanya orang lokal yang dapat memahami kondisi dan nilai-nilai lokal, karena itu merekalah yang lebih berkompeten untuk membuat kebijakan publik dan keputusan politik lainnya. Mereka juga sangat anti-sentralisasi, sehingga menghendaki pengurangan, bahkan bila perlu penghapusan, peran pemerintah pusat.
Ketika terjadi konflik antara masyarakat dan aparatur politik/negara, solusi yang paling efektif adalah memanfaatkan secara optimal pendekatan etika dan budaya politik setempat, bukan justru jalur hukum modern yang belum mengakar dalam memori kolektif masyarakat daerah. Setiap kelompok masyarakat atau daerah niscaya mempunyai mekanisme resolusi konflik yang khas karena tidak ada kelompok masyarakat atau daerah yang tidak menghendaki perdamaian. Dalam konteks ini, budaya politik daerah mesti dikembangkan dalam rangka pemberdayaan politik dan demokrasi di tingkat daerah, dan tidak sekadar media yang efektif bagi resolusi konflik. Harapan kedepan adalah demokrasi lokal secara bertahap dan pelan-pelan harus mendorong tumbuhnya pemerintahan lokal yang semakin terbuka. Fenomena pergeseran dari pemerintahan birokratis (bureaucratic government) ke pemerintahan partai (party government) merupakan sebuah contoh hadirnya pemerintahan yang semakin terbuka.
Lebih jauh konteks dinamika perpolitikan lokal dalam pelaksanaan otonomi daerah ini juga memiliki tujuan jangka panjang dalam hal ini berorientasi pada paradigma penyelenggaraan pemerintah daerah, good governance. Dalam hal ini, maka orientasi pemerintahan berada pada rakyat, di mana pemerintah daerah dituntut peranannya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal. Tentunya hal ini yang menjadi tujuan utama pelaksanaan otonomi daerah, di mana fokus utamanya terletak pada apa yang dibutuhkan rakyat dan society empowerment (pemberdayaan masyarakat) bukan sekedar formalitas (ceremonial) belaka.
Berbagai hal di atas menjadi tantangan besar yang harus dijawab dengan bukti nyata, sehingga memacu setiap daerah untuk mengembangkan potensinya agar tidak tersingkirkan dalam persaingan. Namun, tentu saja banyak daerah yang tidak siap dengan kondisi ini. Tapi sebagian kepala daerah yang punya visi daerah yang jelas tidak mau terpuruk dalam kondisi ini. Menemukan format baru pemerintahan yang diawali dengan merubah paradigma sistem manajemen yang lebih baik seperti prinsip efisiensi dan ekonomis, merampingkan struktur pemerintahan, wirausaha birokrasi, kompetensi para birokrat dan melibatkan pihak swasta dalam memajukan daerah dan masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkanlah suatu inovasi yang besar dalam menjalankan pemerintahan.
Selain itu juga, pelaksanaan otonomi daerah tidak selamanya membawa hasil positif dalam pemerintahan dan kemajuan dinamika politik lokal yang dapat disebabkan oleh kurangnya potensi lokal (SDM dan SDA dan kalaupun ada kurang dikembangkan) dan ketidaksiapan masyarakat dan pemerintah, pola rekruitment yang tidak jelas dll. Bahkan hasil penelitian di beberapa daerah mengarahkan kepada kesimpulan gagalnya otonomi daerah yang dicerminkan dari ketiadaan political equality, local responsiveness dan local accountability (Yappika, 2006; lihat juga untuk konsep ini Smith, 1985:24). Hal ini akan dijelaskan lebih jauh sebagai berikut.
 Masalah Kurangnya potensi lokal serta kurangnya kesiapan pemerintah dan masyarakat. Banyaknya urusan yang telah diserahkan kepada kabupaten/kota ternyata tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM Aparatur yang tersedia. Terbatasnya kualifikasi dan jumlah SDM aparatur ini merupakan masalah utama yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Di beberapa daerah bahkan pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang, karena keterbatasan SDM yang memenuhi persyaratan. Mekanisme Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan) seringkali terbentur pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di samping juga politik afiliasi dan politik akomodasi. Keterbatasan SDM aparatur ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran. Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul menyusul bahkan seringkali tumpang tindih, sehingga menyulitkan respon kemampuan SDM aparatur. Selain itu juga, peranan SDA perlu diperhitungkan, dikarenakan SDA yang memadai turut mendukung perkembangan suatu daerah dalam hal penyediaan dana yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) yang didapatkan melalui pengelolaan SDA tersebut. Oleh karena itu, daerah yang kurang SDA-nya tidak sepatutnya untuk dimekarkan dan diterapkan otonomi daerah. Selain itu juga, fungsi pemerintah untuk mengelolanya tidak berjalan dengan baik, misalnya Gubernur sebagai wakil pusat kurang menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga SDM aparatur tidak dapat didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di provinsinya. Terkait dengan ktidaksiapan masyarakat dalam berdemokrasi, hal ini juga akan menghambat perkembangan dinamika politik lokal yang juga akan sangat berpengaruh dalam pemerintahan.
 Pola rekuitment yang tidak jelas. Pengisian formasi jabatan baik untuk jabatan politik maupun untuk jabatan karir di Instansi daerah sering diwarnai dengan menguatnya isu putra daerah lebih banyak ditentukan oleh akomodasi kepentingan-kepentingan tertentu, seperti afilisasi seseorang dengan bupati/walikota. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah menyatakan otonomi daerah sering menimbulkan berbagai gejolak biasanya terkait dengan proses pemilihan kepala daerah dan pertanggung jawaban kepala daerah (Republika, 10 Januari 2001). Selain itu, partai juga harus melakukan rekrutmen dengan baik. Selama ini perannya lebih terlihat sebagai calo bagi individu yang ingin berlaga di Pilkada. Kadang momen Pilkada benar-benar dijadikan meraup keutungan besar bagi partai-partai politik, dan bahkan ada yang memasang bandrol dengan harga mahal bagi seseorang yang ingin maju menjadi kepala daerah. Oleh karena itu, mulai saat ini rekrutmen politik harus dilakukan dengan benar. Partai politik jangan lagi mengusung pihak yang bayar, tetapi harus mencari calon pemimpin daerah yang sebenarnya. Penilaian harus didasarkan pada kredibilitas, kemampuan memimpin, dan nilai diri di mata masyarakat. Proses seleksinya dapat dilakukan dengan konvensi. Jadikan politik lokal diera otonomi ini jauh lebih baik dan fair (Musfi Yendra 2009). Untuk pengisian formasi jabatan karir pemda hendaknya mengedepankan profesionalisme sehingga tidak terjebak pada fanatisme sempit berupa kesukuan, sebab bila hal ini yang ditonjolkan oleh pemda maka selain merugikan pemda sendiri, juga akan mengusik rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang telah sejak lama dibangun dan diperjuangkan bahkan jauh sebelum kemerdekaan RI. Berkaitan dengan rekruitment, profesionalisme akan dapat memberikan kinerja yang unggul karena pendekatan yang bersifat primordial adalah masa lalu yang harus segera ditinggalkan. Pembinaan pegawai di pemerintah daerah harus sudah menerapkan merit system agar kinerja pemda dapat menjadi clean government di tingkat local sebagai sumbangan untuk menciptakan clean government secara Nasional. (Soenarto 2001). Strategi pengisian formasi jabatan yang paling valid, adil dan layak di daerah adalah dengan mengadakan Fit and Proper Test secara obyektif kepada setiap calon, tanpa melihat dari mana suku dan daerahnya yang penting masih warga negara Indonesia. Hal ini akan mampu menekan isi kesukuan yang sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan di era globalisasi karena keaslian dan kesukuan tidak akan menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas (the righ man in the rigt place).
Selain kedua hal di atas, ada juga kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan otonomi secara menyeluruh. Menurut M. Alfan Alfian M (2007), pasca Orde Baru, kondisi dan dinamika politik lokal tampak lebih sering menggejolak. Ini bisa dijelaskan, setidaknya lewat tiga hal. Pertama, konflik politik lokal berpeluang lebar muncul sebagai konflik terbuka, dan tak bisa ditutup-tutupi lagi, misalnya oleh kekuatan politik tingkat pusat. Pada zaman Orde Baru, jangankan konflik politik, konflik sosial pun "tidak sampai ke permukaan". Itu disebabkan kuatnya "negara" dalam mengontrol segala hal (tetek bengek) urusan politik dari tingkat lokal hingga nasional, dengan pola kebijakan yang amat sentralistik.
Kedua, bisa dijelaskan dengan teori "desentralisasi korupsi". Meminjam sinyalemen Ketua Indonesian Corruption Watch (ICW) Teten Masduki, pasca-Orde Baru, tak hanya struktur kebijakan sentralistik yang berubah, seiring otonomi daerah (desentralisasi), tetapi juga pola korupsinya. Bila dulu korupsi terpusat, itu bisa dipilah ke lingkup "istana" (Cendana), kini polanya menyebar dan merata dari tingkat pusat dan daerah. Setidaknya lebih ekspresif. Ketiga, akibat ledakan politik yang belum bisa lepas sepenuhnya dari fenomena euforia. Hakikat berpolitik pun rata-rata belum bisa dipahami secara benar. Menjadi politisi masih dianggap sama dengan profesi lain. Mochamad Basuki, misalnya, bahkan terang-terangan mengatakan, kalau mau kaya jadilah politisi. Tentu saja ungkapan ini agak aneh, mengingat profesi politisi, berbeda dibanding pengusaha.
Faktor pemahaman yang salah terhadap otonomi daerah juga sering mengancam integrasi bangsa Indonesia, dengan banyaknya muncul gerakan-gerakan separatisme di beberapa daerah. Ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu baik dari dalam Indonesia sendiri maupun dari pihak asing terhadap daerah otonom untuk merongrong kesatuan negara Republik Indonesia. Wacana melepaskan diri dari negara Indonesia, walaupun ini cepat diatasi oleh pemerintah pusat. Konflik horizontal belakangan juga sering muncul dengan memanfaatkan kepolosan hati rakyat oleh elit politik lokal, terutama dalam menyikapi kekalahan bagi calon kepala daerah yang tidak terpilih. Sehingga Pilkada dibanyak daerah selalu menyisakan konflik yang berdampak buruk terhadap ekonomi, sosial dan politik bagi masyarakat lokal daerah tersebut. Fenomena kerusuhan di berbagai daerah yang ditimbulkan oleh sengketa pilkada juga merupakan warning bagi partai politik untuk melakukan introspeksi diri. Partai politik harus menjalankan undang-undang, melaksanakan pendidikan politik rakyat pada tingkat lokal, dan menjamin iklim politik yang kondusif.
Untuk mengatasi hambatan-hambatan di atas, maka dituntut adanya sikap dewasa dan rasional serta sanggup untuk menerima adanya perbedaan pendapat termasuk kekalahan dari calon atau partai yang didukungnya. Sepanjang proses pemilihan Kepala Daerah telah dilakukan secara demokratis dengan mengikuti aturan main yang telah ditetapkan maka semua pihak harus siap menerima apapun hasilnya. Dalam demokrasi ada idiom yang menyatakan bahwa tidak mungkin suatu pilihan memuaskan semua orang. Sepanjang pemilihan itu telah memuaskan dan diterima oleh sebagian besar masyarakat maka hasilnya harus diterima dan disahkan sebagai keputusan yang legal. Teror, ancam-mengancam secara fisik dan psikis merupakan manifestasi dari sikap yang belum dewasa dalam berdemokrasi, sehingga hal ini harus dihindarkan dalam praktek-praktek politik di era reformasi saat ini. Selain itu juga, menurut Ibnu Purna untuk dapat mengeliminir terjadinya ego daerahisme pelaksanaan otonomi daerah harus dilandasi dengan semangat plurarisme dengan cara mempelajari kembali sejarah pergerakan Nasional dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia (Republika, 22 November 2000). Oleh karena itu, demi kemajuan dinamika politik lokal dan kesuksesan penerapan otonomi daerah maka dibutuhkan kesungguhan semua pihak yang terlibat guna memaksimalkan segi positifnya dan meminimalisir segi negatifnya.















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari rangkaian pembahasan di atas mengenai dinamika politik lokal dalam penyelenggaraan otonomi daerah, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Perkembangan dinamika politik lokal sangat sangat ditentukan oleh peranan masyarakat dan pemerintah dalam mengembangkan potensi lokal guna mencapai tujuan negara.
2. Penerapan otonomi daerah dalam pemerintahan dapat membawa hasil positif dan negatif dalam perkembangan dinamika politik lokal.
B. Saran
Berbagai tantangan dan hambatan yang turut mewarnai perkembangan dinamika politik lokal dalam penyelenggaraan otonomi daerah tentunya perlu mendapat perhatian yang khusus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut.
1. Hendaknya pemerintah memaksimalkan potensi daerah masing-masing guna eksis dalam persaingan di tingkat nasional.
2. Perlu penanaman budaya politik dalam dinamika politik lokal, untuk meminimalisir sisi negatif dari penerapan otonomi daerah.


Daftar Rujukan
Abdilah S., Ubed, 2002. Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang: Indonesiatera.
Fukuyama, Francis. 2004. State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century. London.
Gidden, Anthony, 2000. Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka.
Heinelt, Hubert and Wollmann, 2003. Local Politics Research In Germany: Developmentsand Characteristics In Comparative Perspective. London: Sage Publications.
Hoessein, Bhenyamin. 1995. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari Efisiensi ke Demokrasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia. Depok.
------------------------------. 2001. “Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan sebagai Tanggap terhadap Aspirasi Kemajemukan Masyarakat dan Tantangan Globalisasi”. Usahawan 04/April, Jakarta.
http://www.koranpolitik.com/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=7&Itemid=19, Download 25 Februari 2008, Search google.com
John, Steward & Gerry Stoker, 1989. The Future of Local Government, London: Macmillan.
Kaho, Joseph R. 2001. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Morfit, M., Strengthening the Capacities of Local Government : Policies and Constraints, in Mac Andrew (ed) 1986. Central Government and Development in Indonesia, Singapore: Oxford University Press.
Muluk, M.R. Khairul. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan Daerah dengan Pendekatan Berpikir Sistem (Studi Administrasi Publik di Kota Malang). FISIP UI. Jakarta.
Rohdewohld, Rainer. 2003. “Decentralization and The Indonesian Bureaucracy: Major Changes, Minor Impact?”, di dalam Aspinal, Edward dan Fealy, Greg. Local Power and Politics in Indonesia: Decentralization and Democratization. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore..
Smith, Brian C.. 1985. Decentralization. The Teritorial Dimension of the State. London.
Yappika. 2006. “Studi Pelaksanaan Desentralisasi yang Membukan Ruang Partisipasi Politik Rakyat, Efektivitas Tata Pemerintahan, dan Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat”, hasil penelitian tidak dipublikasikan. Jakarta.
Tugas dan Fungsi Kelembagaan Daerah
dari Perspektif Penerapan Otonomi Daerah
Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan masayarakat awam. Semua pihak berbicara dan memberikan komentar tentang “otonomi daerah” menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing. Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap otonomi daerah sangat disebabkan perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang digunakan.
Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. UU 22/1999 dianut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Hingga UU 32/2004 yang direvisi dengan PP 38/2007 dan UU 12/2008 tentang penyelenggaraan desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada pemerintah daerah.

Otonomi Daerah Saat Ini
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah. sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semkain baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar ke-wenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah (PAD), sumber daya manusia yang dimiliki daerah, serta kemampuan daerah untuk mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonom. Terpusatnya SDM berkualitas di kota-kota besar dapat didistribusikan ke daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, karena kegiatan pembangunan akan bergeser dari pusat ke daerah. Menguatnya isu Putra Daerahisme dalam pengisian jabatan akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah, disamping itu juga akan merusak rasa persatuan dan kesatuan yang telah kita bangun bersama sejak jauh hari sebelum Indonesia merdeka.
Untuk mengatasi hal isu-isu yang dapat menghambat pelaksanaan otonomi daerah sehubungan dengan pengisian jabatan dalam kelembagaan pemerintahan daerah, maka diperjelaslah aturan yang mengatur hal tersebut, yaitu dalam pasal 129 UU No.32/2004, di mana dalam pelaksanaannya menggunakan prinsip integrated sistem (terpusat). Hal ini dimaksudkan agar kelembaan pemerintahan daerah menjadi terstruktur dan dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara terkoordinasi. Oleh karena itu, pejabat yang menjalankan fungsi dekonsentrasi ditentukan oleh pemerintah pusat sedangkan di tingkat kelembagaan daerah di tentukan sepenuhnya oleh pejabat yang berwenang untuk hal itu (pejabat yang mendapat legitimasi rakyat/ mendapat mandate dari pejabat tertinggi dalam bidangnya. Tidak kalah pentingnya, setiap pejabat yang menduduki jabatannya harus memahami dengan baik tugas dan fungsinya agar dalam menjalankan peerintahan senantiasa sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.



Deskripsi Tugas Pokok dan Fungsi Kelembagaan Pemerintah Daerah
 Kepala Daerah
Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur menjalankan fungsi desentralisasi dan tugas pembantuan. Dengan demikian, secara umum Gubernur melaksanakan tugas pembantuan selaku wakil pemerintah pusat di daerah bertanggungjawab atas pembinaan, pengawasan, supervise, dan memfasilitasi keuangan di daerah. Selain itu juga, fungsi desentralisasi dilimpahkan kepada pemerintah Kabupaten/ Kota untuk melaksanakan otonomi daerah secara utuh, guna memberikan pelayanan berdasarkan standarisasi minimal kepada masyarakat. Secara rinci tugas pokok dan fungsi kepala daerah akan dideskripsikan sebagai berikut.
Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Daerah :
1. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
2. mengajukan rancangan Perda;
3. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
4. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
5. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
6. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan;
7. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 Wakil Kepala Daerah
1. membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
2. membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
3. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
4. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;
5. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. daerah;
6. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan
7. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.

 Sekertariat Daerah
Secara Umum Sekertariat Daerah mempunyai tugas pokok, yakni membantu Bupati dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tatalaksana serta memberikan pelayanan administratif kepada seluruh Perangkat Daerah.

Fungsi Pokok Sekretariat Daerah :
1. Pengkoordinasian perumusan kebijakan Pemerintah Daerah;
2. Penyelenggaraan administrasi pemerintahan;
3. Pengelolaan sumberdaya aparatur, keuangan, prasarana dan sarana Pemerintah Daerah;
4. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai tugas dan fungsinya.

 Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Dinas)
Pembentukan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Dinas), tidak terlepas pula dari implementasi UU No.32 2004 yang direvisi dengan PP No. 38 Tahun 2007 Hingga UU No. 12 Tahun 2008, di mana salah satu syarat utama terbentuknya suatu dinas di daerah adalah terdapatnya potensi/ sumberdaya yang nantinya akan dikelola oleh dinas terkait. Misalnya di suatu daerah apabila tidak terdapat potensi kehutanan, maka daerah tersebut tidak dapat membentuk dinas kehutanan di daerah tersebut. Oleh karena itu, pembentukan Satuan Kerja Pemerintah Daerah berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Dinas Daerah
Dinas daerah adalah unsur pelaksana pemerintah kabupaten dipimpin oleh seorang kepala dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati.
a. Dinas daerah mempunyai tugas : melaksanakan kewenangan otonomi daerah kabupaten dalam rangka pelaksanaan tugas desentralisasi
b. Dinas daerah mempunyai fungsi :
-Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya
-Pemberian perijinan dan pelaksanaan pelayanan umum
-Pembinaan terhadap unit pelaksana teknis dinas dan cabang dinas dalam lingkup tugasnya.
c. Pada dinas kabupaten dibentuk cabang dinas dan unit pelaksana teknis dinas, berfungsi melaksanakan sebagian tugas dinas yang mempunyai wilayah kerja di kecamatan
d. Cabang dinas dan unit pelaksana teknis dinas dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada kepala dinas dan secara operasional dikoordinasikan oleh camat

Berikut adalah contoh-contoh Dinas yang ada di Daerah beserta tugas dan fungsinya masing-masing :
a. Dinas Pariwisata
Tugas Pokok :Dinas Pariwisata mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang kepariwisataan.
Fungsi Dinas Pariwisata:
1. Pelaksanaan perumusan kebijakan teknis di bidang kepariwisataan;
2. Pemberian perijinan dan pelaksanaan pelayanan umum di bidang kepariwisataan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Pelaksanaan pembinaan umum di bidang kepariwisataan serta pengembangan sumber daya manusia berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Bupati sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Dinas Pariwisata;
5. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya.
b. Dinas Perikanan dan Kelautan
Tugas Dinas Perikanan dan Kelautan : Menyelenggarakan sebagaian Kewenangan Pemerintah Propinsi dan Tugas Dekonsentrasi dibidang perikanan dan kelautan.
Fungsi Dinas Perikanan dan Kelautan:
• Menyiapkan bahan perumusan perencanaan/program dan kebijaksanaan teknis dibidang perikanan dan kelautan.
• Menyelenggarakan pembinaan perencanaan, prasarana, pengembangan pesisir dan pulau-pulau kecil, produksi dan teknologi, usaha tani dan pengolahan hasil, pengawasan dan perlindungan.
c. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Tugas Pokok Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi:
Melaksanakan kewenangan daerah dibidang Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Fungsi Pokok Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi :
1. Pelaksanaan perumusan kebijakan teknis dibidang tenaga kerja dan transmigrasi;
2. Pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum dibidang Nakertrans;
3. Pelaksanaan tugas lain dibidang Nakertrans sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh Bupati;
4. Penyelenggaraan Nakertrans dengan pendekatan paradigma baru.

d. Dinas Pendidikan
Tugas Pokok Dinas Pendidikan:
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai tugas menyelenggarakan sebagian urusan Rumah Tangga Daerah dibidang pendidikan dan tugas pembantu yang diberikan oleh Pemerintah dibidang Pendidikan.
Fungsi Pokok Dinas Pendidikan:
1. Pelaksanaan perumusan kebijakan teknis dibidang Pendidikan.
2. Pemberian perijinan dan pelaksanaan.
3. Pembinaan terhadap UPTD Dinas dan Cabang Dinas Pendidikan.
4. Pengelolaan urasan ketatausahaan Dinas Pendidikan.
5. Pelaksanaan tugas lain dibidang Pendidikan sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh Bupati.

e. Dinas Perhubungan
Tugas Pokok Dinas Perhubungan : Melaksanakan kewenangan desentralisasi di bidang perhubungan.
Fungsi Pokok Dinas perhubungan :
a. perumusan kebijakan teknis di bidang perhubungan
b. pelaksanaan pembinaan teknis di bidang perhubungan
c. pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum di bidang perhubungan
d. pembinaan terhadap Unit Pelaksana Teknis Dinas Pehubungan
e. pelaksanaan urusan ketatausahaan Dinas Perhubungan

f. Dinas Pendapatan Daerah
Tugas Pokok Dinas Pendapatan Daerah :
Menyelenggarakan pemungutan pendapatan daerah dan mengadakan koordinasi dengan instansi lain dalam perencanaan, pelaksanaan, serta pengendalian pemungutan pendapatan daerah.
Fungsi Dinas Pendapatan Daerah :
1. Perumusan kebijakan teknis di bidang pendapatan daerah.
2. Penyusunan rencana dan program kegiatan di bidang pendapatan daerah.
3. Penelitian, pengkajian, evaluasi, penggalian dan pengembangan pendapatan daerah.
4.Pembinaan pelaksanaan kebijakan pelayanan di bidang pemungutan pendapatan daerah.
5. Penyelenggaraan pelayanan dan pemungutan pendapatan daerah.
6. Pengkoordinasiaan pelaksanaan pemungutan dana perimbangan.
7. Pemberian izin tertentu di bidang pendapatan daerah.
8. Evaluasi, pemantauan dan pengendalian pungutan pendapatan daerah.
9. Pengelolaan dukungan teknis dan administrasi.
10. Pembinaan teknis pelaksanaan kegiatan suku dinas dan unit pelayanan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor.

 Lembaga Teknis Daerah
Pembentukan Lembaga Teknis Daerah tidak jauh bedanya dengan pembentukan Dinas-dinas di suatu daerah, dengan kata lain tetap disesuaikan dengan keperluan daerah tersebut. Lembaga Teknis Daerah ini berbentuk badan atau kantor yang masing-masing memiliki kebijakan yang mengaturnya. Secara umum Lembaga Teknis Daerah yang ada antara lain :

1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) adalah unsur pelaksana tugas tertentu Pemerintah Daerah di bidang perencanaan pembangunan Daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah.
BAPPEDA mempunyai tugas membantu Bupati/ Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah dibidang perencanaan pembangunan.
Untuk menyelenggarakan tugasnya, BAPPEDA mempunyai fungsi :
a. perumusan kebijakan teknis dibidang perencanaan pembangunan;
b. koordinasi perencanaan diantara dinas-dinas dan satuan lain dalam lingkungan Pemerintah Daerah;
c. penyelenggaraan penelitian untuk kepentingan perencanaan pembangunan di daerah;
d. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan di daerah;
e. pelaksanaan ketatausahaan;
f. pengumpulan dan pengelolaan data ;
g. penyusunan statistik daerah ;
h. pelayanan umum di bidangnya;
i. penyelenggaraan kegiatan administrasi BAPPEDA ;
j. pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Bupati/ Walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.

2. Badan Pengawasan Daerah
Badan Pengawasan Daerah merupakan unsur pelaksana tugas tertentu Pemerintah Daerah dibidang pengawasan daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/ Walikota melalui Sekretaris Daerah .
Badan Pengawasan Daerah mempunyai tugas pokok membantu Bupati/ Walikota dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dibidang pengawasan internal daerah .
Untuk menyelenggarakan tugas di atas, Badan Pengawasan Daerah mempunyai fungsi :
a. perumusan kebijakan teknis dibidang pengawasan ;
b. penyelenggaraan pengawasan Pemerintah Daerah ;
c. pelaksanaan pemeriksaan terhadap tugas Pemerintah Daerah ;
d. pengujian dan penilaian atas kebenaran laporan berkala dan atau insidentil dari setiap tugas perangkat daerah ;
e. pengusutan mengenai kebenaran laporan atau pengaduan terhadap penyimpangan atau penyalahgunaan dibidang pemerintahan, perekonomian, kesejahteraan sosial, aparatur pendapatan dan kekayaan ;
f. pembinaan tenaga fungsional pengawasan dilingkungan Badan Pengawasan Daerah ;
g. pengelolaan urusan ketatausahaan ;
h. pelaporan dan evaluasi pelaksanaan tugas ;
i. pelaksanaan tugas - tugas lain yang diberikan oleh Bupati/ Walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya .

3. Badan Kepegawaian Daerah
Badan Kepegawaian Daerah merupakan unsur pelaksana tugas tertentu Pemerintah Daerah di bidang kepegawaian yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/ Walikota melalui Sekretaris Daerah .
Badan Kepegawaian Daerah mempunyai tugas membantu Bupati/ Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah di bidang formasi, pengadaan, mutasi, pengembangan karier, pemberhentian, pendidikan dan latihan, pensiun dan pembinaan kepegawaian .
Untuk menyelenggarakan tugasnya, Badan Kepegawaian Daerah mempunyai fungsi :
a. pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian ;
b. perumusan kebijakan, pedoman dan petunjuk teknis dibidang kepegawaian ;
c. perumusan dan pelaksanaan pengelolaan kepegawaian ;
d. pelayanan administrasi dibidang kepegawaian ;
e. pelaksanaan pembinaan jasmani dan rohani ;
f. peningkatan kesejahteraan pegawai ;
g. pemberian sanksi / penghargaan kepada pegawai ;
h. pelaksanaan dan penyusunan kebijaksanaan pedoman dan petunjuk teknis pendidikan dan latihan pegawai ;
i. pengelolaan sistem informasi kepegawaian daerah ;
j. perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan dibidang kepegawaian ;
k. pengelolaan urusan ketatausahaan Badan Kepegawaian Daerah ;
l. pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Bupati/ Walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya ;

4. Badan Perpustakaan, Arsip Daerah dan Data Elektronik
Badan Perpustakaan, Arsip dan Data Elektronik merupakan unsur pelaksana tugas tertentu Pemerintah Daerah dibidang perpustakaan, arsip dan data elektronik yang dipimpin oleh seorang Kepala yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/ Walikota melalui Sekretaris Daerah.
Badan Perpustakaan, Arsip dan Data Elektronik mempunyai tugas membantu Bupati/ Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah dibidang perpustakaan, arsip dan data elektronik.
Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Badan Perpustakaan, Arsip dan Data Elektronik mempunyai fungsi :
a. perumusan kebijakan teknis dibidang perpustakaan, arsip dan data eletronik ;
b. pengelolaan dan pengendalian data elektronik, arsip dan perpustakaan daerah ;
c. pembinaan bimbingan dibidang kearsipan, perpustakaan, sistem informasi manajemen dan telematika;
d. penyajian data elektronik, arsip dan bahan pustaka karya cetak dan karya rekam daerah ;
e. penyelenggaraan kerjasama pengelolaan perpustakaan, arsip dan pengelolaan data elektronik dan pemeliharaan;
f. pengendalian, pengoperasian dan pemeliharaan komputer, perencanaan dan pengadaan perangkat keras / lunak komputer ;
g. penyusunan dan analisa data serta penyiapan dan pengembangan berbagai sistem aplikasi ;
h. distribusi data dan informasi melalui jaringan intranet dan internet ;
i. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga ;
j. pelayanan umum dibidangnya ;
k. pengadaan, perawatan dan penyajian bahan-bahan pustaka ;
l. penataan dan pencatatan bahan pustaka dan referensi ;
m. pengaturan manajemen perpustakaan, arsip dan data elektronik ;
n. pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Bupati/ Walikota sesuai tugas dan fungsinya.

5. Badan Pengelola Keuangan Daerah
Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) merupakan unsur pelaksana tugas tertentu Pemerintah Daerah dibidang Pengelolaan Keuangan Daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/ Walikota melalui Sekretaris Daerah.
BPKD mempunyai tugas membantu Bupati/ Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah dibidang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksudkan di atas, BPKD mempunyai fungsi :
a. penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan Keuangan Daerah ;
b. penyusunan rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD ;
c. pelaksanaan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
d. pelaksanaan fungsi Bendahara Umum Daerah ;
e. penyusunan Laporan Keuangan Daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD ;
f. penyelenggaraan administrasi pemerintahan di bidangnya ;
g. pelaksanaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan ;
h. pelaksanaan tugas-tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh Bupati/ Walikota.

6. Badan Satuan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat ;
Badan Satuan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat merupakan unsur pelaksana tugas tertentu Pemerintah Daerah dibidang Pemeliharaan dan Penyelenggaraan Ketenteraman dan ketertiban Umum serta perlindungan masyarakat dipimpin oleh seorang Kepala yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/ Walikota melalui Sekretaris Daerah .
Badan Satuan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat mempunyai tugas membantu Bupati/ Walikota dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dibidang Pemeliharaan dan Penyelenggaraan Ketenteraman dan ketertiban Umum serta perlindungan masyarakat.
Untuk menyelenggarakan tugasnya, Badan Satuan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat mempunyai fungsi :

a. Penyusunan pedoman dan petunjuk teknis dibidang ketenteraman dan ketertiban serta perlindungan masyarakat ;
b. perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum ;
c. perumusan dan pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat ;
d. pelaksanaan penegakan peraturan daerah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungan pemerintah daerah ;
e. pembinaan polisi pamong praja di lingkungan Pemerintah Daerah ;
f. pembinaan Satuan perlindungan masyarakat di daerah ;
g. penanggulangan bencana alam dan rehabilitasinya;
h. penyelenggaraan tata usaha dan urusan kerumahtanggaan ;
i. penyajian bahan kebijakan pimpinan;
j. koordinasi pelaksanaan tugas;
k. pelaksaan tugas-tugas lain yang di berikan oleh Bupati/ Walikota sesuai tugas dan fungsinya .


7. Badan Kesatuan bangsa dan Kesejahteraan Sosial ;
Badan Kesatuan Bangsa dan Kesejahteraan Sosial merupakan unsur pelaksana tugas tertentu Pemerintah Daerah dibidang Kesatuan Bangsa dan Kesejahteraan Sosial dipimpin oleh seorang Kepala yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/ Walikota melalui Sekretaris Daerah .
Badan Kesatuan Bangsa dan Kesejahteraan Sosial mempunyai tugas membantu Bupati/ Walikota dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dibidang Kesatuan Bangsa dan Kesejahteraan Sosial.
Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksudkan di atas, Badan Kesatuan Bangsa dan Kesejahteraan Sosial mempunyai fungsi :

a. Penyusunan pedoman dan petunjuk teknis dibidang Kesatuan Bangsa dan Kesejahteraan Sosial;
b. perumusan dan pelaksanaan kebijakan fasilitasi hubungan antar lembaga ;
c. perumusan dan pelaksanaan kebijakan fasilitasipemantapan kesatuan bangsa ;
d. perumusan dan pelaksanaan kebijakan fasilitasipenanganan masalah aktual;
e. pembinaan tata upacara tingkat Kabupaten ;
f. penyusunan program, pengawasan dan evaluasi dibidang kesatuan bangsa dan koordinasi pelaksanaan tugas ;
g. pembinaan dan pengembangan kesejahteraan sosial ;
h. penyelenggaraan pelayanan dan rehabilitasi serta bantuan sosial, penyandang masalah sosial ;
i. perizinan dibidang pengumpulan uang/barang/sumbangan lainnya ;
j. memelihara taman makam pahlawan di daerah ;
k. koordinasi peringatan hari-hari besar nasional ;
l. pembinaan nilai kepahlawanan, kejuangan dan persatuan bangsa ;
m. pemberdayaan organisasi sosial dan kemasyarakatan ;
n. penyelenggaraan tata usaha dan urusan kerumahtanggaan ;
o. penyajian bahan kebijakan pimpinan;
p. koordinasi pelaksanaan tugas;
q. pelaksaan tugas-tugas lain yang di berikan oleh Bupati/ Walikota sesuai tugas dan fungsinya .

8. Kantor Keluarga Berencana Daerah ;
Kantor Keluarga Berencana Daerah adalah unsur pelaksana tugas tertentu Pemerintah Daerah di bidang pemberdayaan program keluarga berencana dan pembangunan keluarga sejahtera, dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/ Walikota melalui Sekretaris Daerah.
Kantor Keluarga Berencana Daerah mempunyai tugas membantu Bupati/ Walikota dalam memberikan pelayanan, melaksanakan pengendalian, pengelolaan program dan pemberdayaan keluarga berencana serta pembangunan keluarga sejahtera di Daerah.
Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksudkan di atas, Kantor Keluarga Berencana Daerah mempunyai fungsi :
a. penyusunan kebijakan operasional di bidangnya;
b. koordinasi kegiatan fungsIonal pemberdayaan keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
c. pelayanan program keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
d. penyusunan program, evaluasi dan laporan;
e. pelaksanaan urusan ketatausahaan dan kerumahtanggaan ;
f. pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Bupati/ Walikota sesuai tugas dan fungsinya.