Sejak awal kemerdekaan Indonesia TNI/militer merasa punya andil yang sangat besarterhadap kemerdekaan Indonesia. Jasa yang besar yang diberikan itu sehingga TNI merasa berhak untuk ikut terlibat dalam memperoleh kue politik. Meskipun TNI merasa punya andil besar namun pada mulanmya timbul pertentangan antara para pendiri RI dengan TNI. Karena para pendiri republic Indonesia merasa kurang yakin bahwa kemerdekaan ini diperoleh dengan mengandalkan tentara. Karena itu pada awal kemerdekaan, militer jalan sendiri dan pemerintah jalan sendiri.
Namun pada saat revolusi fisik terjadi di era 1945-1949 peran TNI(setelah disahkan oleh pemerintah dengan Jenderal Soedirman)sangatlah besar dengan memukul mundur Belanda yang ingin menginjakkan kakinya kembali di Indonesia.
Di era gerakan reformasi sebagai proses menata kembali kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang mengacu kepada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi telah menghadapkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada berbagai tantangan. Tantangan terberat, antara lain, adalah penataan kembali peran TNI dalam konteks hubungan sipil-militer yang demokratis. Terkait dengan persoalan ini, masalah redefinisi peran dan keterlibatan TNI dalam konteks transisi demokrasi menjadi isu besar, yang dapat mempengaruhi berhasil atau gagalnya proses demokratisasi itu sendiri.
Pengalaman beberapa negara di Amerika Latin dan Eropa Selatan menunjukkan bahwa proses transisi demokrasi tidak selamanya bermuara pada terciptanya konsolidasi demokrasi. Transisi demokrasi, tanpa pengelolaan secara rasional, sistematik, dan terencana, memungkinkan kembalinya intervensi militer dalam sistem politik.
Intervensi militer dalam sistem politik inilah yang merupakan tema sentral buku Arif Yulianto. Dalam buku tersebut, Yulianto memodifikasi teori Alfred Stepan dan menawarkan tipologi baru bagi hibridisasi dari dimensi-dimensi kontestansi, hak istimewa, dan hubungan sipil-militer yang demokratis. Bagi Yulianto, ada lima tipe hubungan sipil-militer, yaitu: (1) posisi bagi pemimpin militer yang tidak dapat dipertahankan lagi; (2) posisi bagi para pemimpin sipil demokratis yang hampir tidak dapat dipertahankan lagi; (3) akomodasi sipil yang tidak seimbang; (4) kontrol sipil; dan (5) akomodasi sipil-militer.
Untuk menentukan tipologi hubungan sipil-militer di Indonesia, Yulianto menggunakan tiga indikator bagi dimensi kontestansi militer (hlm 463-508), yaitu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan tindak kekerasan militer, kebijakan pemerintah sipil dalam menata struktur, peran dan kontrol atas militer, serta anggaran belanja militer. Tiga indikator ini dilengkapi dengan 11 indikator dari dimensi hak-hak istimewa militer. Kesebelas indikator tersebut adalah: (1) peranan independen militer dalam sistem politik; (2) hubungan militer dengan kepala eksekutif; (3) koordinasi sektor pertahanan; (4) partisipasi militer dinas aktif dalam kabinet; (5) peranan badan pembuat undang-undang dalam bidang pertahanan; (6) peranan pegawai negeri sipil dan pejabat politik senior dalam perumusan kebijakan bidang pertahanan; (7) peran militer dalam intelijen negara; (8) tugas bantuan militer dalam dinas kepolisian; (9) peran militer dalam promosi; (10) keterlibatan militer dalam perusahaan negara/swasta (bisnis militer); dan (11) peran militer dalam sistem hukum.
Hasil kajian Yulianto, yang sangat terbuka untuk diperdebatkan, menunjukkan bahwa dari 11 indikator dimensi hak-hak istimewa sipil, Indonesia telah berada di tipe ideal untuk empat indikator, yaitu: hubungan militer dengan kepala eksekutif, partisipasi militer dinas aktif dalam kabinet, peranan badan undang-undang dalam bidang pertahanan, peranan pegawai negeri sipil dan pejabat politik senior dalam perumusan kebijakan pertahanan, serta peran militer dalam promosi. Untuk empat indikator ini, otoritas sipil telah dapat menempatkan TNI dalam tataran kewenangan yang tepat.
Yulianto juga menunjukkan bahwa moderasi hubungan sipil-militer terjadi untuk enam indikator lainnya, kecuali indikator peran militer dalam sistem hukum. Namun, jika lima tipologi Yulianto dielaborasi lebih dalam akan tampak bahwa militer di Indonesia masih cenderung melakukan penentangan terhadap kebijakan pemerintah sipil yang berkenaan dengan sistem politik nasional serta tugas bantuan militer dalam dinas kepolisian. Penentangan ini diuraikan terjadi karena belum adanya independensi partai-partai politik dalam kegiatan politik nasional; dan belum jelasnya tataran kewenangan antara TNI dan Polri.
Hasil kajian Yulianto secara jitu menunjukkan bahwa pekerjaan rumah terberat bagi reformasi militer di Indonesia adalah penanganan pelanggaran HAM dan tindak kekerasan militer. Di indikator ini, hubungan sipil-militer berada di kotak merah yang menunjukkan militer masih otonom dan independen dari pengawasan dan kendali otoritas politik sipil.
Jika kajian Yulianto ini dijadikan landasan bagi transformasi militer Indonesia, setidaknya ada lima masalah reformasi sektor keamanan yang harus ditemukan solusinya, yaitu: (1) posisi militer dalam sistem dan kegiatan politik nasional; (2) koordinasi dan kerja sama lintas institusi di sektor pertahanan-keamanan; (3) peran militer dalam intelijen negara; (4) keterlibatan militer dalam bisnis; serta (5) pelanggaran HAM dan tindak kekerasan militer. Penyelesaian lima masalah ini menjadi kunci bagi terciptanya TNI yang profesional dalam suatu sistem politik yang demokratis.
Namun, dalam jangka pendek, Indonesia cenderung tidak akan mengalami transformasi militer yang drastis. Ada tiga faktor yang ingin disorot di tulisan ini, yaitu: karakter politik TNI, regulasi-regulasi politik yang mengatur TNI, dan kapasitas ekonomi Indonesia.
Reformasi internal TNI yang digulirkan sejak tahun 1998 belum sepenuhnya melepaskan TNI dari karakter tentara politik. Tentara politik ini merupakan antitesa dari konsep Huntington tentang non-political professional military. Sebagai tentara politik, TNI memiliki karakter inti yang dipopulerkan oleh Finer dan Janowitz, yaitu: militer secara sistematis mengembangkan keterkaitan yang erat dengan sejarah perkembangan bangsa serta arah evolusi negara. Hal ini dilakukan dengan mengombinasikan prinsip hak sejarah (birthright principle) dan prinsip kompetensi (competence principle). Prinsip hak sejarah didasarkan pada suatu interpretasi sejarah bahwa militer berperan besar dalam sejarah pembentukan bangsa dan telah melakukan pengorbanan tidak terhingga untuk membentuk dan mempertahankan negara. Sedangkan prinsip kompetensi didasarkan pada ide bahwa militer merupakan institusi terbaik yang dimiliki negara untuk mempertahankan dan mencapai kepentingan nasional bangsa. Faktor utama yang mendasari penilaian ini adalah wacana tentang ketidakmampuan institusi sipil untuk mengelola negara, ditandai dengan merebaknya berbagai krisis nasional.
Untuk Indonesia, tampaknya TNI menjelma menjadi tentara politik dengan mengombinasikan hak sejarah dan kompetensi. Perpaduan dua prinsip tersebut dilakukan sepanjang sejarah perkembangan militer Indonesia, mulai dari masa perjuangan kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru. Perkembangan kronologis tentang persoalan ini dijelaskan secara rinci oleh Yulianto di bab 4 dan bab 5. Di dua bab tersebut Yulianto melakukan suatu kajian kepustakaan tanpa berupaya untuk melakukan interpretasi ulang sejarah yang diperlukan untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi wacana evolusi militer di Indonesia. Di tulisan ini, perkembangan sejarah militer Indonesia yang berkaitan dengan perpaduan prinsip hak sejarah dan prinsip kompetensi disajikan dalam tiga tahap.
Di tahap pertama, militer Indonesia berkonsentrasi untuk mengedepankan prinsip hak sejarah, terutama dengan mengidentifikasi diri sebagai aktor yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan dan mendukung penuh kebijakan nasionalistik pemerintah untuk meredam gerakan-gerakan separatis serta upaya untuk mewujudkan kedaulatan teritorial Indonesia. Di tahap pertama ini perjuangan merebut kemerdekaan serta integrasi nasional merupakan dua konstruksi wacana yang dipergunakan untuk memperkuat prinsip hak sejarah. Wacana ini digulirkan untuk membentuk pemahaman bahwa ABRI merupakan suatu entitas yang lahir dengan sendirinya (self-creating entity) dan memiliki kemanunggalan dengan rakyat.
Di tahap kedua, militer Indonesia menjelma menjadi penjaga, sekaligus penyelamat bangsa (the guardian and the savior of the nation). Hal ini dilakukan dengan menempatkan militer Indonesia sebagai pelindung Pancasila. Penempatan ini mulai dirintis oleh Nasution melalui perumusan doktrin dwifungsi di tahun 1950-an dan mendapat kulminasinya dalam penumpasan pemberontakan PKI 1965.
Di tahap ketiga, prinsip hak sejarah dipadukan dengan prinsip kompetensi dengan menempatkan militer Indonesia sebagai satu-satunya aktor yang mampu menegakkan integritas bangsa sekaligus menjadi motor pembangunan nasional. Perpaduan ini dilakukan dengan memperkenalkan strategi pembangunan politik-ekonomi yang menggabungkan tahapan pertumbuhan lima tahunan yang diperkenalkan oleh Rostow dengan strategi stabilisasi politik-keamanan yang diungkapkan oleh Huntington. Kombinasi model Rostow-Huntington ini menghasilkan strategi pembangunan terencana jangka panjang yang menempatkan stabilitas politik keamanan sebagai prasyarat utama pembangunan ekonomi. Strategi ini menempatkan militer di titik sentral pembangunan nasional.
Proses reformasi internal TNI yang telah dilakukan sejak tahun 1998 telah berhasil melaksanakan beberapa agenda penting, antara lain: pemisahan Polri dari TNI; validasi organisasi TNI; serta likuidasi Kepala Staf Teritorial TNI, Kepala Staf Sosial Politik ABRI, dan Badan Pembinaan Kekaryaan (Babinkar) ABRI. Di tahun 2003-2004, TNI tetap menunjukkan komitmen untuk melanjutkan reformasi internal TNI antara lain dengan menegaskan netralitas TNI dalam proses pemilu legislatif. Reformasi internal TNI yang cenderung condong ke pergeseran peran sosial-politik TNI diharapkan dapat segera diselesaikan sehingga TNI tidak lagi memiliki karakter tentara politik dan proses reformasi TNI bisa dilanjutkan dengan melakukan transformasi dan modernisasi pertahanan Indonesia.
Untuk merombak total karakter TNI sebagai tentara politik, otoritas-otoritas politik sipil dihadapkan pada hambatan kedua dari transformasi militer di Indonesia, yaitu belum lengkapnya regulasi politik yang mengatur posisi TNI dalam sistem politik Indonesia. Keberadaan regulasi-regulasi politik ini diharapkan dapat memperkuat upaya untuk menularkan prinsip-prinsip good governance ke sektor pertahanan. Implementasi prinsip-prinsip good-governance ini dapat dijadikan titik awal untuk menciptakan tentara profesional dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Berkaitan dengan regulasi politik di bidang pertahanan negara, Yulianto memberikan suatu interpretasi unik tentang UUD 1945. Saat Yulianto membandingkan pola hubungan sipil-militer masa sistem parlementer (1954-1959) dengan sistem presidensiil pasca-Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Yulianto (hlm 7) menyatakan bahwa: "Berlakunya kembali UUD 1945 ini membawa keuntungan sendiri bagi militer Indonesia, karena selama berlangsungnya demokrasi parlementer, keikutsertaan militer dalam penyelenggaraan negara hanya sebatas pada alat negara yang mengurusi bidang pertahanan-keamanan saja. Oleh karena itu berlakunya UUD 1945 membawa peluang militer untuk ikut serta dalam penyelenggaraan negara tidak hanya sebatas bidang pertahanan keamanan, namun juga dalam bidang-bidang lainnya. Militer mulai mendapatkan kesempatan untuk ikut serta dalam percaturan politik."
Interpretasi ini tentunya perlu dikaji ulang. Jika interpretasi Yulianto diterima, maka selama Indonesia tetap berlandaskan pada sistem presidensiil, sistem politik Indonesia akan terus-menerus mendapat intervensi dari TNI. Namun, telaah sederhana terhadap negara-negara demokrasi Barat yang menerapkan sistem presidensiil segera menunjukkan bahwa interpretasi Yulianto sulit diterima. Telaah-telaah teoretik cenderung tidak meletakkan sistem parlementer atau presidensiil sebagai variabel penjelas hubungan sipil-militer.
Namun, ide besar Yulianto tetap dapat diterima dan menuntut elaborasi lebih dalam. Ide tersebut adalah pola hubungan sipil-militer di Indonesia akan sangat tergantung dari kualitas regulasi-regulasi politik tentang institusi militer yang dirumuskan oleh otoritas politik sipil.
Saat ini, proses perumusan regulasi-regulasi politik tentang pertahanan nasional tampaknya seperti jalan di tempat lantaran adanya ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan regulasi-regulasi politik yang ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Jika diinventarisasi regulasi-regulasi politik tersebut adalah UUD 1945 (Pembukaan UUD 1945 dan Bab Pertahanan Keamanan Negara), Tap MPR No VI dan VII (2002), UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Sebenarnya, sinkronisasi regulasi politik bisa dilakukan dengan merumuskan suatu cetak biru regulasi-regulasi politik di bidang pertahanan. Cetak biru ini harus memuat seluruh regulasi yang relevan dan diajukan ke DPR secara bersamaan. Jika dikaji, minimal ada empat kelompok regulasi politik yang perlu dibuat, yaitu: regulasi tentang kebijakan pertahanan nasional, regulasi tentang institusi dan prajurit TNI, regulasi tentang sumber daya pertahanan, dan regulasi tentang prosedur pengerahan TNI.
Faktor terakhir yang menghambat transformasi militer di Indonesia adalah tidak adanya kapasitas ekonomi yang memadai untuk meluncurkan program modernisasi pertahanan. Yulianto (hlm 500-507) menjabarkan berbagai indikator ekonomi untuk menunjukkan kapasitas ekonomi tersebut. Indikator-indikator tersebut, antara lain, fluktuasi anggaran belanja militer Indonesia di APBN, proporsi anggaran pertahanan Indonesia ke produk domestik bruto (PDB), hingga perencanaan pengadaan alat utama sistem pertahanan Indonesia yang tertuang di Rencana Strategis Pertahanan Negara 1999-2004. Indikator-indikator tersebut mendukung pendapat konservatif yang menyatakan bahwa untuk 10-15 tahun ke depan, anggaran pertahanan Indonesia akan tetap kecil, baik dari sisi proporsi ke PDB maupun ke APBN.
Selanjutnya kita menilik peranan militer di era Presiden Gusdur. Peristiwa pengepungan Istana Negara pada 17 Oktober 1952 oleh TNI AD seolah segar kembali dlam ingatan. Gusdur berulang-ulang mengulas peristiwa ini di berbagai kesempatan. Alasannya cukup jelas, sebagai peringatan kepada militer bahwa ia tidak takut sejarah akan berulang. Dalam hal ini Gusdur tidak ingin mundur dari jabatannya sebelum 2004, apapun resikonya.
Hal yang melatarbelakangi pengungkapan sejarah perlawanan tentara kepada pemerintah adalah agenda pelaksanaan SI-MPR yang segera dilaksanakan. Dalam situasi kritis dan kemelut politik yang sedang berlansung, presiden Gusdur tidak berhasil mendapatkan simpati kekuatan-kekuatan politik besar yang ada. Banyak pihak yang menyayangkan sikap Gusdur yang keras kepala. Seandainya saja ia segera berkompromi setelah keluarnya memorandum pertama, mungkin tidak sepanik saat ini. Perilaku politik Presiden Wahid sangat arogan, sehingga para elite politik yang berseberangan dengannya berketatapan hati untuk menghentikan kekuasaannya. Hal inilah yang membuat Gusdur sangat gusar. Terlebih lagi, tentara sebagai senjata pamungkas pelanggeng kekuasaan kini tidak dapat diandalkan. Cara-cara politik kekerasan tidak dapat dilakukan tanpa dukungan tentara. Tentara adalah harapannya yang terakhir bila semua jalan kompromi telah buntu. Namun, tentara telah mengecewakannya, setidaknya hingga hari ini. Hal ini diakibatkan karena sejak reformasi 1998, tentara telah berbenah diri secara interen diikuti dengan Polri. Peran tentara mulai kembali pada jati dirinya sebagai militer yang professional. Karena itu ditatalah hubungan sipil-militer yang seharusnya melalui reformasi internal TNI dan Paradigma barunya.
Jadi kesimpulan saya mengenai peranan militer dalam system politik di Indonesia adalah peranan militer dalam politik di Indonesia sebelum reformasi sangatlah bertolak belakang dengan peranan militer setelah masa reformasi. Dimana sebelum reformasi, militer berperan sebagai alat politik. Hal ini sejalan di masa orde baru, presiden soeharo kala itu menggunakan militer sebagai alat politik. Misalnya saja, terjadi kekerasan politik oleh militer terhadap mahasiswa di tahun 1998 sebagai akibat dari ketidakinginan Soeharto melepaskan tahta kekuasaannya. Sedangkan dimasa reformasi peranan militer telah menjadi mitra sipil dalam membangun demokrasi dan tidak lagi sebagai alat politik yang bernuansa pelanggeng kekuasaan.
No comments:
Post a Comment
Simpan komentar anda di sini?