Tuesday, November 3, 2009

Keuntungan Dan Kerugian Pertimbangan Suara Terbanyak Dan Dibandingkan Dengan Berdasarkan Nomor Urut Penetapan Anggota Legislatif Ditinjau Dari Aspek Demokrasi

Di penghujung tahun 2008, konstalasi politik nasional dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 214 UU No. 10/2008 tentang Pemilu yang memuat standar ganda dalam penetapan caleg. MK menyatakan bahwa Pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 itu bertentangan dengan makna substantif prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 d ayat 1 UUD 1945. MK akhirnya menetapkan suara terbanyak sebagai mekanisme tunggal dalam penentuan caleg terpilih.
Itu artinya, penetapan calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2009 tidak lagi memakai sistem nomor urut dan telah digantikan dengan sistem suara terbanyak. Hal itu berlaku bagi semua partai politik. Pertanyaannya, sejauhmana sistem suara terbanyak akan berdampak positif bagi demokrasi Indonesia, terutama dalam memutuskan rantai oligarki pimpinan partai di satu sisi, dan meningkatkan kualitas hubungan wakil rakyat dan pemilih yang diwakilinya di sisi lain? Kita lihat saja nanti.
Penerapan sistem proporsional terbuka terbatas yang sebelumnya masih menggunakan nomor urut, wakil rakyat lebih ditentukan partai daripada oleh rakyat. Ketika itu, caleg yang memperoleh suara terbanyak tetapi tidak dapat memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) akan tergusur oleh caleg yang berada di nomor urut atas. Pada kondisi itu, hegemoni politik akan menampakkan wujud aslinya, dimana politik oligarki tumbuh subur dan elite parpol kerap menjalankan politik ala rente dengan menjajakan setiap jumlah suara yang diraih demi keuntungan kelompok oligarkis masing-masing.
Sistem proporsional terbuka terbatas dengan sistem nomor urut ini merupakan upaya elite parpol untuk mempertahankan kultur yang sudah hidup selama ini, yaitu menjadikan elite oligarkis pimpinan parpol sebagai faktor yang paling dominan atas terpilih atau tidaknya seorang caleg. Sistem seperti ini tentu akan menyuburkan praktik oligarki di tubuh parpol. Karena keputusan penentapan caleg akan dihegemoni oleh segelintir elite saja.
Karena itu, putusan MK tentang mekanisme suara terbanyak setidaknya dapat memutus mata rantai oligarki pimpinan parpol dalam penentuan caleg. Meskipun tidak serta merta memberantas semuanya. Namun, kewenangan partai politik yang semula cukup besar dalam penentuan caleg terpilih, otomatis akan berkurang sebagai dampak dari putusan MK ini. Selain itu, putusan MK juga akan memotong satu mata rantai praktik jual beli nomor urut yang diduga kuat masih menjadi tradisi parpol di Indonesia. Untuk konteks jangka panjang, keputusan ini akan mendorong pergeseran kekuasaan penentuan caleg dari oligarki pimpinan parpol ke kedaulatan suara rakyat (pemilih).
Penerapan sistem nomor urut sebelumnya menyebakan terjadinya split loyalty, dimana caleg akan lebih loyal kepada elite atau pimpinan parpol ketimbang pemilih yang diwakilinya. Konsekuensi dari kondisi itu, maka bagi yang berkeinginan menjadi anggota legislatif berpotensi akan lebih mengabdi kepada para petinggi partai daripada kepentingan rakyat. Kesetiaan seorang wakil rakyat dinilai bukan kepada rakyat atau pemilih, tetapi kepada figur pimpinan parpol.
Karena itu, sistem pemilu dengan berdasarkan nomor urut hanya mementingkan kepentingan caleg yang memiliki kedekatan dengan pimpinan partai. Kondisi seperti ini menjadikan para wakil rakyat tercerabut dari basis pemilih (rakyat) dan hanya menjadi wakil partai, bukan wakil rakyat. Hubungan wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya dalam situasi seperti itu dalam istilah Gilbert Abcarian (1967) merupakan tipe partisan, yaitu seorang wakil rakyat bertindak hanya berdasarkan keinginan partainya. Setelah terpilih dalam pemilu, maka lepaslah hubungannya dengan para pemilih. Kualitas keterwakilan seperti ini tentunya sangat rendah.
Selain tipe partisan, tiga tipe lainnya menurut Gilbert Abcarian adalah trustee, delegate, dan politico. Seorang wakil rakyat digolongkan dalam tipe trustee bila wakil rakyat tersebut bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya. Kebalikannya adalah tipe delegate, yakni wakil rakyat yang lebih mengutamakan kepentingan konstituennya. Ia bertindak sebagai utusan dari yang diwakilinya. Sedangkan tipe politico menggabungkan semua tipe sebelumnya ditambah keterikatan pada hati nuraninya. Wakil rakyat yang masuk dalam tipe ini akan selalu bertindak atas dasar pertimbangan pemilih (constituency), partai asalnya (party) dan juga hati nuraninya (conscience).

Karena itu, putusan MK tentang mekanisme suara terbanyak dalam penentuan caleg juga akan mendorong terjadinya pergeseran pola hubungan anggota legislatif dengan pemilih, dari tipe partisan ke tipe politico atau delegate, yaitu adanya keterikatan wakil rakyat dengan pemilihnya. Karena itu sistem suara terbanyak akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas keterwakilan anggota parlemen.
Untuk konteks jangka panjang, sistem suara terbanyak akan mendekatkan pemilih dengan wakil-wakilnya di parlemen. Penggunaan sistem suara terbanyak juga akan mendorong anggota legislatif terpilih untuk tetap terus bersinergi dengan kepentingan konstituen di dapil yang diwakilinya. Jika tidak pandai memelihara dukungan publik, memungkinkan muncul "pemakzulan" dari publik atau setidaknya tidak dipilih lagi di pemilu berikutnya. Hal ini juga akan mendorong para anggota legislatif untuk lebih aspiratif terhadap kepentingan konstituen yang diwakilinya. Seandainya anggota legislatif lebih memilih kebijakan yang tidak populis di mata publik, maka akan menuai risiko. Kondisi ini akan membuka ruang partisipasi konstituen dalam proses pengambilan keputusan di parlemen.
Terlepas dari itu semua, putusan MK ini patut diapresiasi sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap kedaulatan rakyat. Putusan tersebut sekaligus menjadi momentum untuk memutus mata rantai oligarki pimpinan partai dalam penetapan caleg dan momentum untuk meningkatkan kualitas hubungan wakil rakyat dan pemilih yang diwakilinya.
Dalam perdebatan seputar metode penempatan calon anggota legislatif terpilih pada setiap partai politik, sudah muncul dua arus besar.
Pertama, berdasarkan "metode campuran", yakni tetap menggunakan nomor urut. Namun, jika ada yang mendapat angka 25 persen dari bilangan pembagi pemilih, sang calon anggota legislatif (caleg) akan langsung duduk di parlemen. Kedua, berdasarkan metode suara terbanyak, tanpa nomor urut.
Agar kita lebih bisa mangamati sistem suara terbanyak Ada beberapa keuntungan dan kerugian yang ditimbulkan dari sistem suara terbanyak dalam penetapan calon anggota legislatif dari tingkat pusat dan daerah.

Keuntungan-Keuntungan Sistem Suara Terbanyak, antara lain sbb.:
a. Dengan metode suara terbanyak, tiap suara mempunyai makna. Pemilih akan kembali mendapatkan mandatnya, tanpa harus mengurangi peran partai politik dalam melakukan kontrol dan kandidasi. Daulat partai akan bersinergi dengan daulat rakyat.
b. Suara terbanyak juga menempatkan anggota legislatif terpilih untuk terus berjibaku dengan kepentingan konstituen yang diwakili di daerah pemilihannya. Jika mereka lalai memelihara dukungan publik, bisa saja muncul mosi tidak percaya dari publik atau mereka disingkirkan dalam pemilu berikut. Nyaris hilangnya isu-isu publik dalam perdebatan di parlemen lokal dan nasional selama ini berakar dari metode pemilihan berdasarkan nomor urut dan hak recall yang menciutkan nyali legislator mana pun. Figur pimpinan partai politik lebih ditakuti ketimbang suara rakyat atau arus bawah. Politik yang berlangsung secara elitis dengan isu-isu nasional, tanpa uraian kemanfaatan bagi masyarakat, adalah implikasi pemakaian metode perhitungan berdasarkan nomor urut. Kesetiaan dinilai bukan kepada rakyat atau khalayak, tetapi kepada figur pimpinan partai politik.
c. Suara terbanyak meneguhkan kedaulatan di tangan rakyat. Suara terbanyak yang berasal dari rakyat merupakan esensi dalam sistem demokrasi. Dengan sistem ini, rakyat akan merasa aspirasinya terwakili dan kedaulatannya tersalurkan. Siapa pun calon yang memperoleh suara terbanyak adalah calon yang benar-benar pilhan rakyat sekaligus calon paling populis di tengah-tengah masyarakatnya. Sehingga kedaulatan di tangan rakyat (bukan di tangan elite partai) dan dijalankan menurut UU, menjadi kenyataan.
d. Keuntungan bagi parpol dalam peningkatan perolehan suara. Dengan ditiadakannya sistem nomor urut menjadi suara terbanyak, dipastikan semua calon di nomor urut berapa pun mendapat peluang yang sama untuk menjadi wakil rakyat. Pengaruhnya, semua calon dari setiap parpol peserta pemilu pada suatu daerah pemilihan akan bekerja keras untuk memperoleh dukungan suara sebanyak-banyaknya. Maka, kesan nomor urut bawah sebagai nomor pelengkap dan tidak harus bekerja keras karena yang jadi pasti nomor urut atas akan hilang. Pesimisme akan menjadi optimisme setiap calon. Optimisme calon akan berbuah kerja keras pada setiap calon yang pada akhirnya akan menjadi keuntungan parpol
e. Mengurangi konflik internal partai. Penghapusan nomor urut menjadi tamparan bagi elite partai yang telah menempati nomor urut atas karena kekuasaannya. Setidaknya, kenyamanan dan optimisme yang begitu besar elite partai untuk menjadi wakil rakyat terganggu. Karena penentuan nomor urut sebagai calon pada awalnya adalah standar bisa tidaknya duduk sebagai wakil rakyat. Nomor urut bagus (di atas) akan menjadi peluang terbesarnya untuk menjadi wakil rakyat. Sehingga, perebutan nomor urut menjadi suasana yang panas di suatu parpol, khususnya di partai-partai yang memiliki anggota legislatif besar di Pemilu 2004 yang berujung pada konflik.
f. Daerah berkesempatan diwakili calon yang berasal dari daerahnya. Selama ini, banyak anggota DPR yang tidak dikenal masyarakat di daerah pemilihannya. Masalahnya adalah calon tersebut berasal dari elite di partai yang tinggal di Jakarta atau bahkan "kenalan" elite partai yang pada pemilu sebelumnya menempati nomor urut jadi. Sehingga selama lima tahun berjalan pemerintahan rakyat memiliki kesulitan menyalurkan aspirasinya. Lebih celakanya lagi, anggota DPR dari pemilihan daerah tersebut tidak memiliki kesadaran tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Pada akhirnya menjadi anggota DPR adalah keuntungan pribadi dan mungkin partainya
g. Lebih demokratis, dipilihnya sistem suara terbanyak oleh beberapa parpol patut diberikan apresiasi karena telah menghembuskan angin segar bagi demokrasi kita. Selama ini sistem nomor urut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan karena terpilihnya caleg berdasarkan nomor urut dan bukan berdasarkan suara yang diperolehnya. Dalam kata lain seorang caleg ditetapkan menjadi anggota legislatif adalah berasal dari kedekatannya dengan partai ketimbang kedekatan dengan masyarakat/ konstituennya. Hal ini biasanya akan menimbulkan split loyalty didalam internal partai dimana kader partai yang duduk di legislatif cenderung sangat loyal kepada pengurus parpol ketimbang pemilih yang menjadi konstituennya demi untuk mendapatkan nomor urut yang kecil dalam pemilu legislatif berikutnya
h. Dengan sistem suara terbanyak, maka peluang korupsi di tubuh partai akan bisa dihilangkan. Sebab tidak ada lagi pengaruh nomor urut. Selama ini, nomor urut selalu dijadikan ajang untuk memeras para calon legislatif. Bahkan, nomor urut akan disesuaikan dengan kemampuan caleg untuk memberikan sejumlah dana. Nomor urut paling tinggi tentunya akan memberikan kontribusi paling besar kepada partai yang mengusungnya.
i. Dengan sistem suara terbanyak, maka mau tidak mau para caleg akan termotivasi dan berusaha untuk mengambil simpati rakyat serta berusaha untuk mendekati rakyat. Para wakil rakyat akan benar-benar merakyat karena mereka sudah mulai sadar bahwa sebenarnya tanpa rakyat mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa dan tidak akan memperoleh apa-apa.

Kerugian-Kerugian Sistem Suara Terbanyak, antara lain sbb.:
a. Dampak dari sistem ini kemungkinan besar akan dialami oleh caleg dari parpol baru yang belum mempunyai massa pendukung dan kurang melakukan sosialisasi sehingga namanya belum dikenal secara luas oleh masyarakat pemilih di Indonesia, terutama oleh masyarakat di daerah. Karena meskipun jumlah suara yang diraih partainya mencapai 30% dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) pada daerah pilihannya, namun apabila secara nasional jumlah suara yang diraih partainya tidak mencapai parliamentary threshold (PT) yaitu 2,5% dari jumlah suara pemilih yang sah, maka pencapaian perolehan suarannya tersebut akan sia-sia belaka karena dia tidak akan dapat mewakili parpolnya duduk sebagai anggota legislatif di kursi DPR di Senayan.
b. Sebetulnya kerugian tidak hanya dialami oleh caleg yang gagal menjadi anggota DPR tapi juga pada para pemilih yang memberikan suaranya kepada mereka dan hal ini mungkin saja akan meningkatkan jumlah Golput, karena pemilih yang sebelumnya telah menetapkan nama seorang caleg untuk dipilih namun karena menganggap bahwa jumlah suara yang akan diraih parpol dimana caleg tersebut berada tidak akan mencapai PT, lalu memutuskan untuk tidak memilih.
c. Dengan sistem suara terbanyak ini, persaingan di dalam tubuh partai akan lebih tinggi dibandingkan dengan partai di luar. Kalau seperti ini, parpol menjadi tidak berfungsi secara politik.
d. tidak ada jaminan dari caleg nomor urut kecil yang bersedia mengundurkan diri untuk digantikan oleh caleg yang mendapatkan suara terbanyak. Meskipun mekanisme internal partai sudah melakukan proses hukum melalui perjanjian tertulis dan dinotariskan, namun tetap akan terjadi ketidakpastian hukum. Pasalnya, peraturan internal partai bukan produk hukum yang memiliki kekuatan hukum. Sementara, produk hukum yang lebih tinggi, yakni UU Pemilu tidak mengatur suara terbanyak. Bila terjadi konflik hukum, tentu saja KPU akan berpegang kepada UU Pemilu untuk menetapkan dan melantik anggota legislatif yang terpilih berdasarkan nomor urut atau berdasarkan pemenuhan kuota 30 persen.
e. Penerapan sistem ini melanggar Undang-Undang Pemilu sehingga menimbulkan beberapa masalah baru antara lain: Pertama Caleg nomor urut kecil dengan suara minim bisa saja menolak mengundurkan diri untuk digantikan oleh caleg yang mendapatkan suara terbanyak (namun tidak memenuhi 30 % BPP) dengan nomor urut dibawahnya. Meskipun mekanisme internal partai sudah melakukan proses hukum melalui perjanjian tertulis dan di notariskan, namun tetap akan terjadi ketidakpastian hukum ( legal uncertainty ). Bila itu terjadi, maka kekuatan hukum Undang-Undang lebih tinggi dari kesepakatan internal partai sehingga KPU bisa menganulir kesepakatan internal partai dengan sistem suara terbanyak itu. KPU tetap akan berpegang kepada UU Pemilu untuk menetapkan dan melantik anggota legislatif yang terpilih berdasarkan pemenuhan kuota 30 % atau kembali ke nomor urut









DAFTAR PUSTAKA

http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=645&id=27&tab=2 (October 15, 2007), Suara terbanyak, suara khalayak
http://finance.groups.yahoo.com/group/fspmi/message/3437 (Tentang Sistem Suara Terbanyak)
http://public.kompasiana.com/2009/02/14/raih-suara-terbanyak-belum-tentu-ke-senayan/
http://penghunilangit.blogspot.com/2009/01/menggusur-demokrasi-uang.html. (Wednesday, January 07, 2009)
Ikrar Nusa Bhakti.(2008),Implikasi Pasca Putusan MK, Inilah.com
www.pikiran-rakyat.com (Peningkatan Kualitas Pemilu 2009)
www.sinarharapan.co.id (Putusan MK, Siapa Untung dan Siapa Buntung?)
http://indrapiliang.com/2007/10/22/suara-terbanyak-suara-khalayak/.
http://theindonesianinstitute.com/index.php/20090212295/Suara-Terbanyak-dan-Kualitas- Keterwakilan.html.
friederichbatari.blogspot.com, (Mencegah Konflik Hukum Suara Terbanyak)
www.motahu.com , ( 24 Desember 2008), MENGGUSUR DEMOKRASI UANG
mediaindonesia.com, ( 23 Desember 2008), MK Tetapkan Caleg Terpilih Berdasarkan Suara Terbanyak
www.mahkamahkonstitusi.go.id (16 September 2008 ), UJI UU PEMILU NOMOR URUT LAWAN SUARA TERBANYAK .
www.sinarharapan.co.id (Sistem Pemilu Berubah Sangat Cepat )
M.J Latuconsina ( Dosen Fisip Unpatti ) , (Thursday, 18 September 2008) Suara Terbanyak , burukab.go.id
autos.okezone.com, (Sistem Suara Terbanyak Lebih Adil)

No comments:

Post a Comment

Simpan komentar anda di sini?