Demi pelaksanaan demokrasi, sudah saatnya digunakan sistem otonomi yang seluas-luasnya dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Dalam hal ini ada beberapa macam kekuasaan yang strategis yang tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Menurut teori residu hanya ada lima kekuasaan yang sebaiknya diurus oleh pemerintah pusat, yakni (1) bidang pertahanan dan keamanan, (2) bidang moneter, (3) bidang luar negeri, (4) bidang agama, (5) bidang peradilan. Kekuasaan lainnya (sisanya) merupakan kekuasaan yang diurus oleh Pemerintah Daerah.
Khusus di Indonesia, pada saat ini terjadi kemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah, termasuk kepada lembaga peradilan. Di lain pihak, banyak hakim yang tidak menghayati hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat di mana Hakim tersebut bertugas, sehingga putusan-putusannya tidak mencerminkan rasa keadilan serta kesadaran hukum (legal awareness) yang hidup dalam masyarakat. Sehubung dengan ini, sudh saatnya dalam pengelolaan peradilan di Indonesia menggunakan sistem yuri (juri sistem). Dengan sistem yuri ini, Hakim tidak hanya berfungsi sebagai corong undang-undang, melainkan corong para yuri, yang nota bene para tokoh masyarakat yang mengetahui dan menghayati hukum yang berlaku dan hidup dalam kehidupan masyarakat.
Aspek Politik
Dari sudut politik, desentralisasi ini dimaksudkan untuk mendemokrasikan Pemerintah Daerah. Masyarakat Daerah harus dapat dengan leluasa memilih kepada pemerintahannya sendiri, serta menyusun dan membuat peraturan sendiri. Dengan perkataan lain, apa pun yang terjadi di daerah adalah : from the people, by the people, and for the people. Intervensi pusat terhadap daerah hrus dikurangi dan dibatasi, sehingga kemandirian daerah benar-benar dapat terwujud.
Dalam bidang politik, ekonomi seluas-luasnya harus ditandai dengan semakin besarnya wewenang dan kemandirian DPRD. DPRD harus berwenang dan secara mandiri memilih calon Kepala Daerahnya dan kemudian diresmikan pengangkatannya oleh Pemerintah Pusat. DPRD juga harus berwenang meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah yang tidak memenuhi harapan rakyat. Terkait dengan hal ini, maka sangat relevan pencabutan Dwifungsi ABRI, terutama pengangkatan Anggota ABRI dalam lembaga legislative dan eksekutif seperti Gubernur dan Bupati/Walikota.
Aspek Teknis
Dari sudut teknis, pelaksanaan ini ditujukan untuk memperoleh efisiensi dan efektifitas yang maksimal dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Hal ini meliputi urusan rumah tangga mana yang paling cocok dan paling tepat dikerjakan oleh Daerah, bidang pekerjaan apa yang sebaiknya tetap dilakukan oleh lembaga Pemerintah Pusat, dan bekerja sama yang bagaimana yang bisa dilakukan oleh beberapa Daerah agar memperoleh hasil yang sebaik-baiknya. Dengan perkataan lain aspek teknis ini bersifat kasualistis, tergantung kepada situasi dan kondisi masing-masing daerah.
Aspek Ekonomis
Dalam bidang ekonomi, Otonomi Daerah yang seluas-luasnya harus ditujukan kepada perubahan pengaturan hubungan antara Pusat dengan Daerah. Undang-undang tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah harus dapat menjamin agar Daerah memperoleh bagian yang lebih proporsional sehingga dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembagunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Pengaturan tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Perusahaan Daerah juga harus ditinjau kembali, dengan demikian daerah dapat mengembangkan kreasinya dalam mencari berbagai pendapatan daerah yang potensial. Sumber-sumber pajak daerah yang tradisional yang sudah dihapuskan, seperti pajak anjing,pajak kendaraan bermotor tidak bermotor, pajak radio dan sebagainya.
Dalam ketatanegaraan di Indonesia, pada waktu menggunakan sistem pemerintahan parlementer, dipergunakan asas otonomi yang seluas-luasnya, sehingga aspek demokrasi atau politik ini tampak menonjol. Hal ini diwujudkan dengan besarnya kekuasaan atau wewenang DPRD. Wewenang DPRD tidak terbatas pada pemilihan calon Kepala Daerah dan mengusulkan kepada Pusat untuk menghentikannya.
Meskipun demikian asas desentralisasi pada masa itu kurang memperhatikan aspek teknis, sehingga kemampuan Daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat kurang dapat terlaksana. Sebaliknya pada masa Orde Baru aspek teknis diutamakan akan tetapi aspek politiknya diabaikan, dan DPRD hampir sama sekali tidak mampu melaksanakan fungsi perwakilannya.
Masalahnya adalah bagaimana menentukan titik batasan tersebut sesuai dengan kondisi dinamis daerah bersangkutan. Pembatasan ini bisa dilakukan melalui tiap-tiap cirri atau unsure Daerah otonom, misalnya dalam hal Aparatur Pemerintah, urusan rumah tangga Daerah dan peraturan Daerah
Dalam hal Aparatur Pemerintah Daerah minimal ada tiga komponen, yakni Kepala Daerah, DPRD dan Pegawai Pemerintah Daerah. Pengangkatan Kepala Daerah dan Anggota DPRD seharusnya merupakan wewenang penuh masyarakat daerah, sementara Pemerintah Pusat hanya mengukuhkan atau meresmikan saja. Dalam bidang kepegawaian daerah, pusat memberikan pedoman dan rambu-rambu, dan secara operasional menjadi wewenang daerah, sehingga tidak terjadi daerah menerima droping pegawai yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah dan peraturan daerah atau kebijaksanaan Daerah lainnya. Daerah harus mempunyai otoritas yang cukup besar, sehingga kemandirian Daerah dapat tumbuh dan dikembangkan.
Menguatnya embusan desentralisasi membawa harapan dan tantangan tersendiri bagi proses dan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan kesejahteraan sosial. Makalah ini berpijak pada argumen bahwa tanpa good governance (tata pemerintahan yang baik), desentralisasi akan lebih meminggirkan pembangunan kesejahteraan sosial. Terutama pada masa transisi dan pencarian makna sejati desentralisasi, pemerintahan di daerah cenderung lebih bergairah dalam meningkatkan investasi ekonomi secepatnya dari pada melakukan investasi sosial jangka panjang. Tanpa sikap dan komitmen yang jelas mengenai makna good governance, desentralisasi dapat menimbulkan jebakan-jebakan bagi strategi dan implementasi pembangunan kesejahteraan sosial di daerah.
Pembangunan kesejahteraan sosial sejatinya adalah segenap strategi dan aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang bermatra pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat.
Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami transformasi kekuasaan seperti itu. Sejak runtuhnya Orde Baru, gelombang reformasi telah mengubah format politik dan sistem pemerintahan di Tanah Air. Kewenangan pemerintahan yang tadinya sangat terpusat di Jakarta kini semakin terdistribusi ke pemerintahan di daerah-daerah melalui proses desentralisasi.
Desentralisasi sesungguhnya membawa angin segar bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi warga dalam segenap aktivitas pembangunan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesetaraan antar golongan, memperluas keadilan sosial dan memperbaiki kualitas kehidupan rakyat banyak. Konsep tentang demokrasi representatif dan partisipatoris, misalnya, lebih mudah diterapkan di tingkat pemerintahan daerah, karena skala kedaerahan dan kedekatannya dengan komunitas lokal.
Namun dalam kenyataannya, suara-suara yang terdengar dari realisasi desentralisasi itu tidak terlalu memuaskan. Umumnya, argumentasi pesimis menyatakan bahwa desentralisasi hanya memperkuat elit-elit lokal, menyuburkan primordialisme, ‘men-daerahkan KKN’ dan ‘meng-KKN-kan daerah’. Bahkan argumentasi yang lebih psimis lagi menyatakan bahwa desentralisasi menyulut disintegrasi bangsa.
Meskipun pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa desentralisasi seringkali hanya menguntungkan penguasa dan pengusaha setempat, bukan memperhatikan suara dan kepentingan kaum marginal. Sebagaimana dikemukakan Gaventa (2005: 12), hambatan-hambatan kekuasaan, pengucilan sosial, kecilnya kemampuan individu dan kapasitas organisasional kolektif menyebabkan rakyat kecil hanya menikmati sangat sedikit dari desentralisasi. Mengutip pengamatan Manor, Gaventa menyatakan “…belum ada bukti tentang elite lokal yang lebih bijak dan baik hati ketimbang orang-orang yang berada di atasnya.”
Tanpa good governance, maka desentralisasi dapat menimbulkan berbagai jebakan yang menghambat pembangunan, khususnya di bidang kesejahteraan sosial.
1. Money follows function atau function follows money? Idealnya, UU Pemerintahan Daerah yang baru berpedoman pada prinsip money follows function, uang mengikuti kewenangan. Artinya, otonomi daerah tidak ditentukan oleh seberapa besar Pendapatan Asli Daerahnya (PAD), melainkan oleh kemampuannya menjalankan kewenangan sesuai dengan kebutuhan. Setiap daerah dipersilahkan menentukan kewenangannya masing-masing. Namun dalam prakteknya, prinsip function follows money seringkali lebih dominan. Pemda yang memiliki prosentase PAD yang besar terhadap APBD-nya, memiliki kewenangan yang besar. Sebaliknya, Pemda yang memiliki PAD yang rendah memiliki otonomi yang rendah pula. Bahkan, jika PAD-nya hanya 5 atau 10 persen saja dari APBD, Pemda dianggap tidak layak memiliki otonomi. Akibatnya, perlombaan meningkatkan PAD lebih mengemuka ketimbang menjalankan (apalagi meningkatkan) kewajiban memberi pelayanan dasar dan perlindungan sosial bagi publik.
2. Pembangunan ekonomi dulu baru kemudian pembangunan kesejahteraan sosial. Keragaman sumberdaya manusia dan potensi ekonomi daerah kerapkali menimbulkan pandangan generalisasi bahwa pembangunan kesejahteraan sosial hanya perlu dilakukan oleh daerah-daerah yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Desentralisasi yang memberi kewenangan lebih luas pada daerah, kemudian dijadikan momentum untuk memangkas anggaran dan institusi-institusi sosial dan bahkan meniadakannya sama sekali. Alasannya: pembangunan kesejahteraan sosial dianggap boros dan karenanya baru perlu dilakukan apabila pertumbuhan ekonomi (PAD) telah tinggi. Padahal, studi di beberapa negara menunjukkan bahwa kemampuan ekonomi tidak secara otomatis dan linier berhubungan dengan pembangunan kesejahteraan sosial (Suharto, 2005a).
No comments:
Post a Comment
Simpan komentar anda di sini?