Menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (PEMILU) tahun 2009, hampir seluruh proses politik di negeri ini tercurah untuk pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Setelah rampungnya kerangka perundang-undangan sebagai basis landasan hukum pelaksanaan pemilu tahun 2009, banyak hal yang harus segera dipersiapkan oleh berbagai pihak yang memiliki harapan bagi terwujudnya proses demokratisasi di Indonesia melalui pemilu 2009, termasuk juga harapan dari lapisan kaum muda.
Ada beberapa hal yang berbeda secara substansial dalam pemilu 2009 ini jika dibandingkan dengan pemilu pra reformasi. Pertama, munculnya “inflasi” partai politik di Indonesia, yaitu bermunculannya partai politik baru yang cukup banyak dengan beragam penawaran yang seakan-akan ingin menuntaskan krisis multi-dimensional di negeri ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat ratusan partai politik yang telah terdaftar untuk mengikuti pemilu 2009 mendatang dan berhasil mengesahkan 38 Partai Politik sebagai peserta resmi pemilu 2009-bandingkan dengan pemilu 2004 yang diikuti 24 parpol. Kedua, sistem pemilu 2009 menganut sistem proporsional terbuka (proporsional open half list system) tak terbatas, yakni pemenang pemilu pemilu legislative ditentukan oleh suara terbanyak, bukan lagi nomor. Ketiga, adanya Pilkada jauh hari sebelum pemilu 2009 mendorong lahirnya dinamika politik yang mempengaruhi pemilu 2009. Di samping itu, masih banyak lagi perbedaan-perbedaan teknis dalam pemilu 2009 jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Dalam perdebatan seputar metode penempatan calon anggota legislatif terpilih pada setiap partai politik, sudah muncul dua arus besar. Pertama, berdasarkan "metode campuran", yakni tetap menggunakan nomor urut. Namun, jika ada yang mendapat angka 25 persen dari bilangan pembagi pemilih, sang calon anggota legislatif (caleg) akan langsung duduk di parlemen. Kedua, berdasarkan metode suara terbanyak, tanpa nomor urut.
Keuntungan Pertimbagan Sistem Suara Terbanyak :
Suara terbanyak meneguhkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Suara terbanyak yang berasal dari rakyat merupakan esensi dalam sistem demokrasi. Dengan sistem ini, rakyat akan merasa aspirasinya terwakili dan kedaulatannya tersalurkan. Siapa pun calon yang memperoleh suara terbanyak adalah calon yang benar-benar pilhan rakyat sekaligus calon paling populis di tengah-tengah masyarakatnya. Sehingga kedaulatan di tangan rakyat (bukan di tangan elite partai) dan dijalankan menurut UU, menjadi kenyataan.
Keuntungan bagi parpol dalam peningkatan perolehan suara. Dipastikan semua calon di nomor urut berapa pun mendapat peluang yang sama untuk menjadi wakil rakyat. Pengaruhnya, semua calon dari setiap parpol peserta pemilu pada suatu daerah pemilihan akan bekerja keras untuk memperoleh dukungan suara sebanyak-banyaknya. Maka, kesan nomor urut bawah sebagai nomor pelengkap dan tidak harus bekerja keras karena yang jadi pasti nomor urut atas akan hilang. Pesimisme akan menjadi optimisme setiap calon. Optimisme calon akan berbuah kerja keras pada setiap calon yang pada akhirnya akan menjadi keuntungan parpol.
Mengurangi konflik internal partai. Konflik tersebut misalnya ada kepengurusan ganda, anarkisme, jual beli nomor urut, bahkan terjadi anggota yang mengundurkan diri sebagai calon anggota legislatif salah satu parpol karena penempatan nomor urut. Dengan suara terbanyak, sedikit banyak mengurangi makna penting arti sebuah nomor urut. Siapa pun calon yang memperoleh suara terbanyak akan diakui calon lain bahwa ia yang berhak menjadi anggota legislatif, walaupun konflik masih ada ketika kampanye.
Daerah berkesempatan diwakili calon yang berasal dari daerahnya. Selama ini, banyak anggota DPR yang tidak dikenal masyarakat di daerah pemilihannya. Masalahnya adalah calon tersebut berasal dari elite di partai yang tinggal di Jakarta atau bahkan "kenalan" elite partai yang pada pemilu sebelumnya menempati nomor urut jadi. Sehingga selama lima tahun berjalan pemerintahan rakyat memiliki kesulitan menyalurkan aspirasinya. Lebih celakanya lagi, anggota DPR dari pemilihan daerah tersebut tidak memiliki kesadaran tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Pada akhirnya menjadi anggota DPR adalah keuntungan pribadi dan mungkin partainya.
Sistem suara terbanyak, akan tercermin rasa keadilan bagi para calon legislatif. Kita tidak pungkiri, banyak juga di antara anggota legislatif maupun calon legislatif yang sudah berkorban untuk rakyat. Tentunya orang-orang seperti ini yang sangat layak dan pantas untuk duduk mewakili rakyat, bukan mereka yang sering menjadi penjilat para petinggi partai. Namun, tidak sedikit di antara mereka yang lupa diri setelah duduk di gedung dewan bahkan lupa sama konstituennya yang berhasil mengantarkan mereka ke singgasananya.
Dengan sistem suara terbanyak, maka mau tidak mau para caleg akan termotivasi dan berusaha untuk mengambil simpati rakyat serta berusaha untuk mendekati rakyat. Para wakil rakyat akan benar-benar merakyat karena mereka sudah mulai sadar bahwa sebenarnya tanpa rakyat mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa dan tidak akan memperoleh apa-apa.
Dengan sistem suara terbanyak, maka peluang korupsi di tubuh partai akan bisa dihilangkan. Sebab tidak ada lagi pengaruh nomor urut. Selama ini, nomor urut selalu dijadikan ajang untuk memeras para calon legislatif. Bahkan, nomor urut akan disesuaikan dengan kemampuan caleg untuk memberikan sejumlah dana. Nomor urut paling tinggi tentunya akan memberikan kontribusi paling besar kepada partai yang mengusungnya.
Dengan suara terbanyak, ruang sempit hubungan antara legislator dan partai politiknya bisa diperlebar. Khalayak bisa masuk ke dalam beragam proses pengambilan keputusan. Berbagai survei pendapat publik atas isu-isu krusial akan menemukan pijakannya. Pilihannya, jika anggota legislatif lebih memilih aneka kebijakan yang tidak populis di mata publik, potensi ke arah pembangkangan sudah terbentuk. Jadi, mari hargai publik dengan menggunakan metode penempatan caleg berdasarkan suara terbanyak.
Dengan sistem suara terbanyak akan mendekatkan pemilih dengan wakil-wakilnya di parlemen. Penggunaan sistem suara terbanyak juga akan mendorong anggota legislatif terpilih untuk tetap terus bersinergi dengan kepentingan konstituen di dapil yang diwakilinya. Jika tidak pandai memelihara dukungan publik, memungkinkan muncul "pemakzulan" dari publik atau setidaknya tidak dipilih lagi di pemilu berikutnya. Hal ini juga akan mendorong para anggota legislatif untuk lebih aspiratif terhadap kepentingan konstituen yang diwakilinya. Seandainya anggota legislatif lebih memilih kebijakan yang tidak populis di mata publik, maka akan menuai risiko. Kondisi ini akan membuka ruang partisipasi konstituen dalam proses pengambilan keputusan di parlemen.
Kerugian Pertimbangan Sistem Suara Terbanyak :
Penerapan sistem ini melanggar Undang-Undang Pemilu sehingga menimbulkan beberapa masalah baru antara lain: Pertama Caleg nomor urut kecil dengan suara minim bisa saja menolak mengundurkan diri untuk digantikan oleh caleg yang mendapatkan suara terbanyak (namun tidak memenuhi 30 % BPP) dengan nomor urut dibawahnya. Meskipun mekanisme internal partai sudah melakukan proses hukum melalui perjanjian tertulis dan di notariskan, namun tetap akan terjadi ketidakpastian hukum ( legal uncertainty ). Bila itu terjadi, maka kekuatan hukum Undang-Undang lebih tinggi dari kesepakatan internal partai sehingga KPU bisa menganulir kesepakatan internal partai dengan sistem suara terbanyak itu. KPU tetap akan berpegang kepada UU Pemilu untuk menetapkan dan melantik anggota legislatif yang terpilih berdasarkan pemenuhan kuota 30 % atau kembali ke nomor urut.
Konflik hukum akan muncul bila caleg yang mendapatkan suara terbanyak menggugat KPU/KPUD karena tidak mengindahkan mekanisme internal partai. Proses gugatan hukum ini tentu saja akan memperlambat penetapan caleg terpilih dan mengganggu kinerja KPU/KPUD. Caleg dengan suara terbanyak juga bisa melakukan gugatan wanprestasi terhadap caleg terilih yang ditetapkan KPU dengan sistem nomor urut. Proses ini akan berlangsung lama bahkan hingga batas waktu yang diperebutkan berakhir.
Kerugian tidak hanya dialami oleh caleg yang gagal menjadi anggota DPR tapi juga pada para pemilih yang memberikan suaranya kepada mereka dan hal ini mungkin saja akan meningkatkan jumlah Golput, karena pemilih yang sebelumnya telah menetapkan nama seorang caleg untuk dipilih namun karena menganggap bahwa jumlah suara yang akan diraih parpol dimana caleg tersebut berada tidak akan mencapai PT (batasan 2,5 persen suara nasional ke kursi DPR atau yang disebut dengan parliamentary threshold PT), lalu memutuskan untuk tidak memilih.
Dampak negatifnya kemungkinan besar akan dialami oleh caleg dari parpol baru yang belum mempunyai massa pendukung dan kurang melakukan sosialisasi sehingga namanya belum dikenal secara luas oleh masyarakat pemilih di Indonesia, terutama oleh masyarakat di daerah. Karena meskipun jumlah suara yang diraih partainya mencapai 30% dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) pada daerah pilihannya, namun apabila secara nasional jumlah suara yang diraih partainya tidak mencapai parliamentary threshold (PT) yaitu 2,5% dari jumlah suara pemilih yang sah, maka pencapaian perolehan suarannya tersebut akan sia-sia belaka karena dia tidak akan dapat mewakili parpolnya duduk sebagai anggota legislatif di kursi DPR di Senayan.
Tidak ada jaminan dari caleg nomor urut kecil yang bersedia mengundurkan diri untuk digantikan oleh caleg yang mendapatkan suara terbanyak. Meskipun mekanisme internal partai sudah melakukan proses hukum melalui perjanjian tertulis dan dinotariskan, namun tetap akan terjadi ketidakpastian hukum. Pasalnya, peraturan internal partai bukan produk hukum yang memiliki kekuatan hukum. Sementara, produk hukum yang lebih tinggi, yakni UU Pemilu tidak mengatur suara terbanyak.
Dengan sistem suara terbanyak ini, persaingan di dalam tubuh partai akan lebih tinggi dibandingkan dengan partai di luar. Kalau seperti ini, parpol menjadi tidak berfungsi secara politik. perkembangan masyarakat dalam setiap kali pemilihan kepala daerah (pilkada), calon pemimpin yang menang umumnya adalah pemilik modal besar. Sementara itu, calon pemimpin yang memang benar-benar memiliki visi dan misi kerakyatan hanya mendapatkan suara kecil. sistem seperti ini akan menguntungkan pemodal dan makin merusak politik yang sehat.
Kerugian Sistem Nomor Urut Penetapan Anggota Legislatif :
• Penerapan sistem proporsional terbuka terbatas yang sebelumnya masih menggunakan nomor urut, wakil rakyat lebih ditentukan partai daripada oleh rakyat. Ketika itu, caleg yang memperoleh suara terbanyak tetapi tidak dapat memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) akan tergusur oleh caleg yang berada di nomor urut atas. Pada kondisi itu, hegemoni politik akan menampakkan wujud aslinya, dimana politik oligarki tumbuh subur dan elite parpol kerap menjalankan politik ala rente dengan menjajakan setiap jumlah suara yang diraih demi keuntungan kelompok oligarkis masing-masing.
• Sistem proporsional terbuka terbatas dengan sistem nomor urut ini merupakan upaya elite parpol untuk mempertahankan kultur yang sudah hidup selama ini, yaitu menjadikan elite oligarkis pimpinan parpol sebagai faktor yang paling dominan atas terpilih atau tidaknya seorang caleg. Sistem seperti ini tentu akan menyuburkan praktik oligarki di tubuh parpol. Karena keputusan penentapan caleg akan dihegemoni oleh segelintir elite saja.
• Selama ini ada sejumlah masalah terkait dengan nomor urut. Nama-nama yang didukung pemilih tidak otomatis duduk jika menempati urutan bawah dalam daftar caleg. Untuk mencegah konflik, biasanya terjadi "perjanjian di bawah tangan", yaitu sang anggota legislatif nomor urut atas akan dengan sadar mengundurkan diri di tengah masa jabatan. Bisa dengan pola masing-masing dua setengah tahun atau ada juga dengan pola 1-4 (satu tahun dan empat tahun) dan 2-3 (dua tahun dan tiga tahun). Ini sama dengan kawin siri dalam ranah politik.
• Sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi. Dari sisi dasar filosofi pun, memberlakukan sistem nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya. Sistem ini telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih.
• Akan membawa implikasi politik yang besar pada Pemilu 2009 ini. Sistem proporsional terbuka murni itu hanya akan membuat rakyat kembali tertipu. Jika dulu penipuan dilakukan oleh elite politik yang duduk di nomor urut wahid, kini penipuan bisa dilakukan orang yang memiliki modal. Hal ini karena adanya jurang yang lebar antara sistem pemilu dan parpol. Sistem pemilu berubah sangat cepat dan lebih demokratis, sementara parpol masih belum direformasi. Akibatnya, perubahan sistem pemilu yang demokratis tersebut bukanya membawa manfaat, tetapi sebaliknya malah bisa menjadi ancaman baru bagi kualitas kepemimpinan.
• Penentuan nomor urut di internal partai politik telah dijadikan ajang transaksi ilegal. Fenomena seat buying menjadi kian marak karena calon legislatif jadi sangat ditentukan oleh nomor urutnya. Bagi siapa pun yang bisa membeli nomor jadi dengan jumlah terbesar, sudah dapat dipastikan dialah yang akan menempati nomor tersebut.
• Dengan sistem nomor urut menyebakan terjadinya split loyalty, dimana caleg akan lebih loyal kepada elite atau pimpinan parpol ketimbang pemilih yang diwakilinya. Konsekuensi dari kondisi itu, maka bagi yang berkeinginan menjadi anggota legislatif berpotensi akan lebih mengabdi kepada para petinggi partai daripada kepentingan rakyat. Kesetiaan seorang wakil rakyat dinilai bukan kepada rakyat atau pemilih, tetapi kepada figur pimpinan parpol.
• Sistem pemilu dengan berdasarkan nomor urut hanya akan mementingkan kepentingan caleg yang memiliki kedekatan dengan pimpinan partai. Kondisi seperti ini menjadikan para wakil rakyat tercerabut dari basis pemilih (rakyat) dan hanya menjadi wakil partai, bukan wakil rakyat. Hubungan wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya dalam situasi seperti itu dalam istilah Gilbert Abcarian (1967) merupakan tipe partisan, yaitu seorang wakil rakyat bertindak hanya berdasarkan keinginan partainya. Setelah terpilih dalam pemilu, maka lepaslah hubungannya dengan para pemilih. Kualitas keterwakilan seperti ini tentunya sangat rendah.
Kesimpulan :
Bagaimanapun juga sistem suara terbanyak sangat sesuai dengan semangat demokrasi. Oleh karena itu, untuk menghindari rumitnya konflik suara terbanyak ini dikemudian hari maka parpol, DPR dan pemerintah harus segera mengambil langkah antisipatif dengan melakukan amandemen terbatas UU Pemilu. Proses amandemen ini bila disepakati tidak akan menghabiskan waktu yang panjang karena hanya menyangkut pasal 214 antara lain dengan menambahkan klausul untuk mengakomodir mekanisme internal partai dalam menentukan caleg terpilih. Bila ini tidak dilakukan maka KPU/KPUD, parpol akan disibukkan oleh gugatan hukum caleg yang terjadi di seantero Indonesia. Akan tetapi,jika hal diatas dapat diantisipasi dengan keseriusan Partai Politik dalam menjalankan proses demokrasi yang berlangsung dalam partai. Keunggulan suara terbanyak akan menjadi perbaikan sistem Pemilu 2009. Akan tetapi, akan sangat bergantung pada ketegasan, keberanian, dan keadilan penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu di semua tingkatan. Kedua lembaga ini secara UU merupakan lembaga yang memiliki mandat untuk melaksanakan rule of game seluruh proses pemilu. Kata kuncinya adalah bagaimana kedua lembaga ini mendorong upaya pelaksanaan pemilu yang bersih dan kualitas dengan program sosialisasi yang optimal.
Akhirnya, kualitas Pemilu 2009 akan sangat bergantung pada sistem yang ditetapkannya. Sistem akan berjalan dengan baik seandainya pemegang mandat penegakan sistem mampu menjalankan amanahnya serta mendapat dukungan dari masyarakat.
No comments:
Post a Comment
Simpan komentar anda di sini?