“Suatu peradaban bagaikan mahluk organis: lahir, berkembang, matang, dan pada akhirnya mengalami proses kehancuran. Dari puin-puing kehancuran itu, terjadi kelahiran kembali peradaban yang baru, ini dimungkinkan karena terdapat kelompok minority creative yang mampu menjawab tantangan zaman.”
Pernyataan di atas adalah penggalan dari pernyataan Ibnu Khaldun yang dikutip oleh Arnold Thoynbee dalam bukunya yang berjudul Challenge and Response Theory. Pernyataan ini ternyata terbantahkan jikalau dikaitkan dengan realita di Indonesia, di mana sudah sepuluh tahun jalannya reformasi di Indonesia, tapi perubahan yang diinginkan masyarakat tidak kunjung tercapai. Para aktivis reformasi yang merasa bagian dari minority creative tersebut ternyata hanya dapat memberikan harapan hampa kepada masyarakat, bahkan menjadi penindas-penindas baru yang lupa akan tanggung jawabnya sebagai agen of change, agen of sosial control, and moral force. Momen reformasi malah dijadikan ajang pertarungan elit-elit yang namanya saat itu sedang naik daun karena perannya dalam gerakan reformasi.
Belenggu zaman Orde Baru jika ditelaah dari segi pertarungan politik telah membawa dampak yang signifikan dalam proses demokrasi di Indonesia. Fakta riilnya dapat kita lihat pada masa Orde Baru, di mana selama 32 tahun jalannya pemerintahan, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar peran-peran penting dalam pemerintahan didominasi oleh orang-orang militer, baik dari posisi menteri hingga direktur beberapa BUMN. Memang jika dipandang dari segi tugas dan fungsi, maka militer memegang peranan penting dalam konstelasi politik yang ada di Indonesia. Namun, jikalau tugas dan fungsi yang diemban oleh militer disalahgunakan sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru, maka saat itu pula militer telah keluar dari kaidah-kaidah demokrasi yang dijunjung tinggi di bangsa ini.
Pada masa Orde Baru, posisi militer telah keluar jauh dari garis idealnya, di mana militer bukan hanya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, tetapi juga turut serta menentukan berbagai keputusan politik yang ada di Indonesia. Hal ini diakibatkan beberapa faktor, pertama, militer sangat dekat dengan kekuasaan. Pada saat itu memang ditekankan bahwa komando militer berada di tangan pemegang jabatan politik tertinggi yakni presiden. Namun karena kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan, maka militer dimanfaatkan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara memberikan jabatan kepada para petinggi-petingginya sehingga dengan mudahnya militer dapat mengeluarkan kebijakan politik sesuai dengan kehendak militer tersebut. Studi kasus ketika masa pemerintahan Soeharto, para direktur BUMN seperti pertamina dan posisi menteri yang sangat mendukung jalannya kebijakan, diisi oleh orang-orang kepercayaannya yang sebagian besar berasal dari kalangan militer.
Kedua, tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru politik kepartaian yang berkembang saat itu adalah politik terpusat dengan hanya mengizinkan tiga partai besar untuk ikut dalam pertarungan politik di Indonesia, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada saat itu partai Golkarlah yang menjadi partai yang senantiasa memenangkan lima pemilihan berturut-turut, karena selama masa 32 tahun tersebut suara Golkar didominasi oleh kaum sipil dalam hal ini PNS dan militer. Dominasi tersebut bila dikaji lebih jauh ternyata diselubungi dengan ancaman yang tegas bahwa jika dari kalangan sipil ada yang tidak berpihak pada partai pemerintah dalam hal ini Golkar, maka harus bersiap-siap untuk kehilangan jabatan PNS tersebut. Selain itu juga, bila ada dari kalangan militer yang menjadi oposisi pemerintah, maka karirnya dalam militer tersebut akan terhambat.
Ketiga, dalam menjalankan kekuasaannya presiden Soeharto menggunakan pola otoriter dengan militer sebagai alat untuk memperlancar setiap aktivitas politik presiden beserta jajarannya. Hal di atas dapat kita lihat dari fakta ketika ada yang melakukan gerakan bawah tanah untuk melawan pemerintah, misalnya dari kalangan mahasiswa, maka metode yang dipakai adalah pendekatan persuasive di mana orang-orang yang melawan tersebut diberikan beasiswa bahkan dijanjikan tempat dalam kekuasaan ketika selesai. Jikalau metode di atas tidak dapat meredam perlawanan tersebut, maka preside melalui komando militernya melakukan penculikan dan melenyapkan orang-orang yang menjadi dalang dari perlawanan tersebut.
Keempat, sebenarnya menguatnya peran militer dalam sistem politik Indonesia bukan hanya dikarenakan oleh kuatnya posisi militer dalam kekuasaan kepemerintahanan, tetapi lebih disebabkan oleh kurangnya supremasi sipil dalam melakukan input dan kontrol. Hal ini tidak terlepas dari metode intervensi yang dilakukan oleh alat pertahanan negara tersebut, sehingga kondisi sosial politik kemasyarakatan yang terbangun seakan-akan damai dan demokratis, tetapi diselimuti penderitaan akibat hak-hak mengeluarkan aspirasi dikekang.
Berdasarkan fenomena di atas dapat kita lihat bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, militer berada pada posisi yang tidak seharusnya, di mana pada masa itu militer telah berada pada posisi politik strategis, tepatnya militer bermain pada posisi input dan proses dalam sistem politik Indonesia. Ketika itu, jalannya pemerintahan diatur dengan paradigma militeristik, nalar klinis, dan metode intervensi secara totaliter.
Paradigma militeristik yang mendasari jalannya pemerintahan dapat kita lihat dari setiap kebijakan politik yang diambil menggunakan sudut pandang layaknya strategi militer. Contohnya untuk mempertahankan kekuasaan pada masa Orde Baru tersebut sempat lahir kebijakan ABRI Masuk Desa (AMD). Hal tersebut nampaknya alat pertahanan dan keamanan negara tersebut memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Namun dibalik itu semua, segala sendi-sendi kehidupan masyarakat mulai dari desa telah disusupi oleh militer. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya distrik-distrik militer yang dibangun di tingkat desa, yang kesemuanya itu disiapkan untuk memantau setiap gerak gerik masyarakat dan bersiap-siap untuk megamankan pemerintahan jikalau terjadi hal-hal yang membahayakan konstelasi politik negara. Selain itu juga strategi militer dalam menempatkan posisi pasukan pada posisi yang strategis untuk memenangkan pertempuran juga menjadi paradigma untuk menempatkan orang-orang yang dipercaya dan mempunyai kredibilitas terhadap presiden turut mewarnai konstelasi pemerintahan yang dijalankan selama 32 tahun tersebut.
Nalar Klinis dimaksudkan dalam menjalankan pemerintahan dan mempertahankannya digunakan logika klinis. Analoginya ketika ada penyakit yang susah disembuhkan dan telah menggerogoti bagian tubuh penderita, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan menghilangkan bagian tubuh yang terinfeksi tersebut. Oleh karena itu tidak jarang kita lihat begitu banyak terjadi penculikan dan penghilangan nyawa masyarakat sipil yang melakukan pemerontakan, karena mereka dianngap sebagai penyakit yang harus dihilangkan agar tidak menggerogoti masyarakat lainnya. Hal di atas mengakibatkan lahirnya kebijakan tembak di tempat kepada siapa saja yang dianggap membahayakan jalannya pemerintahan, karena kekuasaan untuk memberikan perintah penembakan bukan saja berada pada presiden, tetapi juga berada pada setiap pimpinan militer dari disrik bawah hingga atas. Dengan demikian dapat kita analisa faktor penyebab mampunya suatu pemerintahan dapat eksis dalam jangka waktu yang lama bahkan dapat menciptakan kondisi sosial kemasyarakatan yang seakan-akan stabil.
Intervensi secara totaliter diraksiskan dengan berbagai kebijakan penyeragaman-penyeragaman dari pemerintahan desa hingga pusat. Bentuk penyeragaman yang terjadi dapat dilihat dari sistem pemerintahan yang dijalankan di tiap daerah yang hamper sama antara yang satu dengan yang lainnya dengan metode sentralisasi. Dalam hal ini tiap daerah tidak punya kekuasaan untuk mengatur daerahnya masing-masing bahkan rata-rata yang menjadi pemimpin daerah adalah dari orang-orang militer yang notabene berkecimpung dalam partai pemerintah (Golkar). Selain itu juga contoh kongkrit pentingnya militer pada masa pemerintahan saat itu dapat kita lihat dari penyusunan APBN yang sebagian besar dialokasikan untuk biaya pertahanan dan keamanan.
Puncak menguatnya peran militer dalam konstelasi politik Indonesia dapat kita lihat pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, di mana pada saat itu mulai terjadi perpecahan internal di kubu militer, misalnya yang dilakukan oleh pembesar-pembesar militer seperti Jenderal Wiranto yang tidak mengindahkan perintah presiden untuk mengamankan pemerintahan sehingga terjadilah reformasi yang menumbangkan rezim totalitarianisme tersebut. Sebenarnya, pemerintahan saat itu mulai dapat dikendalikan kalau saja tidak terjadi perpecahan internal di kubu militer, bahkan berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan seperti kebijakan daerah istimewa dan reshuffle cabinet ternyata juga tidak dapat mempertahankan pemerintahan.
Runtuhnya rezim yang telah memerintah cukup lama tersebut ternyata tetap meninggalkan bekas yang menunjukkan kuatnya peran militer dalam konstelasi politik Indonesia jikalau dilihat dari atmosfir politik yang terbangun saat ini. Di mana saya melihat bahwa peta perpolitikan yang ada saat ini tidak terlepas dari intervensi militer yang mendominasi perpolitikan Indonesia. Fakta sosial yang kemudian berbicara, yaitu menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden 2009, figur-figur seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan Prabowo Sugiantoro yang notabene berlatarbelakang militer mulai mencuak kepermukaan. Hal ini tentunya mulai menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat tentang nasib bangsa ini kedepannya.
Memang, kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi pemimpin suatu negara tidak ditentukan dari latar belakang figur tersebut. Namun, melihat figur-figur dari militer yang pernah memimpin sebelumnya, maka saya pesimis konstelasi politik Indonesia dapat berjalan dengan baik apabila masih tetap dari kalangan militer yang menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu, saya beranggapan bahwa milter seharusnya berada pada posisi Output dalam sistem politik Indonesia, di mana militer menjalankan peran profesional dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara bukan berlomba-lomba untuk mencapai kekuasaan. Selain itu juga, kebijakan milter masuk barak seharusnya diterapkan secara optimal untuk menjaga terulangnya dwifungsi alat pertahanan keamanan negara, sehingga membuat mereka tidak fokus dalam menjalankan tugas fungsinya.
Fungsi output yang dimaksudkan di atas, yaitu militer harus senantiasa berada pada garis koordinasi yang tidak terlepas dari kontrol pemerintah dan masyarakat, di mana militer harus menjalankan tugas dan fungsi berdasarkan kebijakan politik yang diembankan kepadanya. Selain itu juga, militer dalam menjalankan tugas dan fungsinya haruslah sesuai dengan visinya sebagai pengayom rakyat bukan menjadi penindas rakyat. Saya mengatakan demikian karena saya menganggap bahwa reformasi yang dilakukan oleh militer saat ini belumlah menyeluruh, di mana fakta sosial yang berbicara menunjukkan bahwa ternyata peran militer dalam mempengaruhi kebijakan masih cukup besar. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, di mana penguasa yang saat ini berlatar belakang miter masih menggunakan intervensi dalam bentuk kekerasan aparat dalam menstabilkan konstelasi politik yang ada, misalnya kasus-kasus yang terjadi di Aceh dan di Papua tidak terlepas dari rasionalisasi tugas dan fungsi militer dalam menciptakan kondisi aman dan damai, sehingga dengan mudahnya kekerasan aparat terjadi di mana-mana. Selain itu juga, dapat kita lihat bahwa fungsi output yang dijalankan saat ini belum sesuai dengan kondisi yang seharusnya, di mana ketika lahir kebijakan penggusuran, penertiban pedagan kaki lima, dan sengketa tanah seperti yang terjadi di Makassar, dapat kita lihat bahwa masih tingginya peran militer dalam mempengaruhi konstelasi politik pemerintahan yang terbangun saat ini.
Memang kita tidak dapat selamanya menyalahkan militer sebagai faktor utama keterpurukan bangsa ini. Oleh karena itu, kita sebagai warga sipil seharusnya juga menjankan fungsi control dengan baik, sehingga konstelasi politik yang terbangun dapat stabil. Selain itu juga, hendaknya diperjelas bahkan lebih dipertegas lagi posisi dan peran militer dalam sistem politik Indonesia agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam menjalankan tugas dan fungsinya, seperti aturan yang jelas yang menegaskan bahwa militer harus professional dengan amanah konstitusi, dengan tidak mencampuri urusan politik pemerintahan selama tidak membahayakan negara bahkan jikalau harus masuk di dalamnya hendaknya melakukan integrasi ke dalam secara tidak langsung. Dengan demikian, jikalau hal di atas dilankan sebagaimana mestinya, maka jalannya konstelasi politik di Indonesia akan senantiasa sesuai dengan amanah konstitusi dan tuntutan demokrasi di Indonesia.
No comments:
Post a Comment
Simpan komentar anda di sini?