Tuesday, November 3, 2009

Masyarakat Sebagai Sistem Sosial (Talcott Parson)


Menurut Talcott Parson masyarakat sebagai sistem sosial terbagai atas beberapa bagian/kesatuan yaitu :
1. Tindakan Manusia, terbagi atas 2 bagian utama yaitu :
A. Orientasi Motivational
1. Dimensi kognitif
2. Dimensi karateristik
3. Dimensi evaluasional
B. Orientasi Nilai
1. Dimensi kognitif
2. Dimensi apresiatif
3. Dimensi moral
2. Teori AGIL :
1. Adaptation
2. Goal Attainment
3. Integration
4. Latents Pattern Maintanance
3. Variabel Pola (Pattern Variables), terbagi atas :
1. Afektif versus Netral Afektif
2. Orientasi Diri versus Orientasi Kolektif
3. Universalistik versus Patrikuralistik
4. Askripsi versus Prestasi
5. Spesifitas versus kekaburan
Berdasarkan pembagian masyarakat sebagai sistem sosial di atas, menurut Talcott Parson dapat dijelaskan sebagai berikut :
 A. Orientasi Motivational yaitu segala sesuatu dalam masyarakat baik individu maupun kelompok yang menyangkut kepuasan jangka panjang dan kepuasan jangka pendek, atau dengan kata lain ada tujuan utama yang ingin diperoleh dimana tujuan tersebut dapat memperbesar kepuasan dan memperkecil kekecewaan.
• Contoh :
- kepuasan jangka pendek : “ seseorang yang telah selesai bermain bola selama kurang lebih 45 menit akan merasakan capek dan haus, untuk menghilangkan rasa hausnya ia meminum segelas air. Pada saat itulah ketika ia meminum air maka kepuasan jangka pendeknya terpenuhi untuk beberapa saat”.
- kepuasan jangka panjang : “ seseorang yang telah menikah dan kawin dengan wanita pujaan hatinya akan merasakan kepuasan jangka panjangnya karena dengan menikahi wanita tersebut maka keinginannya selama ini untuk memiliki wanita tersebut seumur hidupnya telah terpenuhi”.
Di dalam orientasi motivational ini terbagi lagi atas 3 bagian dimensi yaitu dimensi kognitif, dimensi karateristik, dan dimensi evaluasional.
 Dimensi Kognitif yaitu dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap sesuatu.
Contoh : “Kita ingin menikah, dalam hal ini kita harus memiliki dimensi kognitif yang harus kita gunakan untuk memahami sebuah arti pernikahan yang akan kita lakukan. Dimana di dalam sebuah pernikahan itu harus ada rasa saling memahami (latar belakang sosial, budaya dan ekonomi) antara satu sama lain sebelum menuju ketahap pernikahan”. Pernikahan yang diinginkan tersebut dapat terjadi jika kita memahami arti dari dimensi kognitif yang intinya harus ada rasa saling memahami.
 Dimensi Karateristik yaitu berupa tindakan atau reaksi terhadap orang lain yang bersifat emosional dan dapat berupa reaksi positif dan negatif.
Contoh : “Jika seseorang ingin menikah sebaiknya antara keduanya harus mengetahui karakter dari masing-masing (pasangannya) sehingga tidak ada penyesalan dikemudian hari, dimana dalam proses saling memahami tersebut jangan ada kejelakan-kejelekan dari keduanya yang disembunyikan. Hubungan yang dijalin selama dalam proses pra-nikah tersebut akan berakhir pada satu tujuan yaitu nikah (dalam arti positif) dan kandas (dalam arti negatif).
 Dimensi Evaluasional yaitu menyangkut atau terkait dalam dimensi kognitif dan dimensi karateristik, sehingga dalam dimensi ini pengetahuan itu sangatlah mutlak.
Contoh : “Dalam hal pernikahan, pengetahuan yang kita miliki harus digunakan sebaik mungkin untuk memahami (dimensi kognitif) dan mengetahui karakter (dimensi karateristik) pasangan kita, sehingga setelah kita menggunakan pengetahuan yang dimiliki, kita dapat mengambil tindakan/sikap (positif/negatif) dari apa yang telah kita ketahui dari pasangan kita.



 B. Orientasi Nilai yaitu merujuk pada standar-standar normatif, berupa fikiran-fikiran yang dapat mempengaruhi pola hidup seseorang.
• Contoh : Strata perkawinan, dalam hal ini kita melihat sistem kasta yang digunakan di India, dimana kaum brahmana (orang ningrat) tidak diperbolehkan menikah dengan kaum paria (orang miskin) apa pun alasannya, begitu pula sebaliknya, atau dengan kata lain setiap orang yang ingin menikah haruslah menikah dengan orang-orang se-kastanya tidak pada kasta yang di atas maupun di yang bawahnya.
Di dalam orientasi nilai ini Parson membaginya lagi menjadi 3 bagian dimensi yaitu : dimensi kognitif, dimensi apresiatif, dan dimensi moral.
 Dimensi Kognitif yaitu standar-standar normatif yang ada digunakan untuk menolak dan menerima seseorang.
Contoh : Ketika Pak Rahman diundang untuk datang membersihkan mesjid di dekat perumahannya secara bergotong-royong bersama-sama dengan warga yang lain, ia menolak untuk hadir dengan alasan tertentu, namun dengan ketidakhadirannya di mesjid tersebut bukan berarti menghalangi niatnya untuk tidak ikut ambil bagian secara langsung membersihkan mesjid, dengan penuh rasa bertanggung jawab atas undangan yang ditujukan kepadanya untuk membersihkan mesjid biarpun tidak secara langsung, ia lakukan dengan cara memanggil seorang tukang becak untuk menggantikannya membersihkan mesjid atas namanya dan kemudian memberikan uang kepada tukang becak tersebut sebagai ganti atas tidak beroprasinya selama menggantikan pak Rahman membersihkan mesjid. Dalam hal ini penolakan yang dilakukan oleh pak Rahman didasarkan pada standar-standar normatif yang sesuai dimana antara pihak pak Rahman dan pihak tukang becak tidak ada yang dirugikan, malahan tukang becak terbantukan dengan mendapat uang dari membantu menggantikan pak Rahman di mesjid plus dapat makanan gratis dari mesjid setelah membersihkan mesjid bersama-sama dengan warga yang lain.
 Dimensi Apresiasi yaitu berupa penilaian yang diberikan seseorang terhadap orang lain (positif/negatif).
Contoh : Ketika seseorang membantu orang lain yang membutuhkan bantuan misalnya dalam hal finansial, setelah membantu orang tersebut maka secara otomatis si penerima bantuan tersebut akan memberikan apresiasi (penilaian) yang positif kepada si pemberi bantuan karena telah membantunya mengurangi bebannya, namun di sisi lain, akan ada orang lain yang akan memberikan apresiasi negatif karena ia berfikir bahwa si pemberi bantuan membantu karena ada hal-hal tertentu yang ia inginkan dari si penerima bantuan.
 Dimensi Moral yaitu berupa sikap atau tindakan seseorang terhadap orang lain yang didasarkan atas perilaku-perilaku moral.
Contoh : Ketika kita berbicara dengan orang yang lebih tua dari kita misalnya Ibu/bapak maka kita sebagai orang yang paling muda dari mereka akan berbicara secara sopan, baik, dan penuh dengan rasa menghormati agar tidak terjadi rasa ketersinggungan dari mereka. Berbeda ketika kita berbicara dengan orang yang setara dengan kita, dalam berbicara biasanya kita menggunakan kata-kata yang tidak terlalu formal dan tidak terlalu sopan namun dalam batasan-batasan yang wajar.
 Teori AGIL, dalam teori Talcott Parson berupaya mengembangkan dan meyempurnakan model analisis umum yang sangat cocok untuk menganalisis semua bentuk kolektifitas atau organisasi. Dalam hal ini Parson mengeksploitasi mengapa masyarakat bias stabil dan berfungsi. Modelnya yaitu AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latern Patten Maintanance) mewakili empat fungsi dasar yang harus dicapai oleh semua system social atau organisasi social jika ingin bertaha.
 Adaptation (adaptasi) Penyesuaian
Yaitu kemampuan suatu sistem untuk meyerap dari lingkungan serta membagikannya kebagian-bagian dari sistem yang lainnya atau dengan kata lain kemampuan sistem sosial untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapi.
Contoh : Sistem budaya asing yang masuk ke Indonesia, utamanya cara berpakaian. Otomatis secara tidak langsung budaya asing tersebut akan berusaha menyesuaikan diri dengan budaya yang ada di Indonesia. Budaya asing ini akan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat beradaptasi dengan budaya Indonesia sehingga dari hasil adaptasi tersebut akan muncul suatu budaya yang bercorak ke-Indonesiaan, atau budaya yang bercorak kebarat-baratan(westernisasi) ataukah budaya baru perpaduan kedua budaya tersebut.
 Goal Attainment (pencapaian tujuan)
Yaitu dari sekian banyak tujuan yang ingin dicapai harus ada sebuah tujuan yang dipilih yang paling dibutuhkan dan mewakili dari sekian banyak tujuan yang ada.
Contoh : Ketika kita ingin membantu sebuah desa yang sangat terpencil, dimana di desa tersebut terdapat berbagai masalah seperti :
1. Gizi buruk
2. Tidak Adanya Posyandu
3. Tidak Adanya Listrik
Dari sekian banyak masalah di atas yang dihadapi desa tersebut maka yang paling utama dan paling mendesak yang akan dilakukan sebagaimana pengertian dari Goal Attainment adalah pemberantasan masalah gizi buruk karena untuk masalah ini sangatlah penting sebab tanpa penanganan gizi buruk yang terjadi mustahil untuk menyelesaikan masalah yang lain. Masalah yang lain dapat ditangani ketika masalah gizi buruk yang melanda desa dapat diberantas sehingga jalan menuju peneyelesaian masalah yang lain akan menjadi gampang.
 Integration (integrasi) berembuk
1. Proses penyesuaian dari unsur-unsur yang pokok menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyatukan bagian-bagian dari suatu sistem menjadi sebuah sistem yang memiliki fungsi.
2. Menunjukkan adanya solidaritas sosial dari bagian-bagian yang mementuknya, serta berperannya masing-masing unsur tersebut sesuai dengan posisinya.

No comments:

Post a Comment

Simpan komentar anda di sini?