Wednesday, April 14, 2010

MENIMBANG KEPEMIMPINAN MEGAWATI
Perbincangan mengenai Megawati Soekarnoputri memang tidak akan pernah habis. Sebagai putri mantan Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, ia memang layak dibicarakan. Sebagai manta Presiden Republik Indonesia,dan Ketua Umum Partai PDI-P ia memang jadi centre point. Maka dari itu telah ratusan atau bahkan ribuan tulisan tentang dirinya, mengulas hal jelak ataupun baik. Kepemimpinan Megawati telah dirasakan rakyat Indonesia. Sejak ia menjadi wakil presiden dan kemudian menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid menjadi presiden Republik Indonesia.
Megawati juga akan kembali bertarung merebut kursi presiden Republik Indonesia. Banyak yang optimis Megawati akan kembali mendapatkan posisi puncak di negeri ini. Tetapi banyak pula yang yakin, bahwa ia akan segera terlempar dari kancah perpolitikan Indonesia pasca tahun 2004. Dan itu terbukti setelah kekalahan pada pilpres tahun 2004 yang lalu, Megawati yang kembali mencalonkan diri sebagai Calon Presiden 2009-2010 di dampingi dengan Prabowo Subianto kalah telak oleh lawan politiknya Susilo Bambang Yudhoyono yang bersanding dengan Boediono. Penilaian ini didasari karena Megawati dinilai tidak mempunyai sifat-sifat kepemimpinan yang mampu membawa Indonesia keluar dari multi krisis ini.
Megawati memang seorang mantan presiden. Tetapi apakah dia memang seorang pemimpin sejati. Pertanyaan itulah yang ingin dikupas dalam tulisan ini. Teori kepemimpinan yang melekat pada diri Megawati dapat dianalisis sebagai teori kepemimpinan tradisional dan teori kepemimpinan “sifat tersendiri”. Pendekatan teori kepemimpinan tradisional karena Megawati mewarisi sifat kepemimpinan Soekarno.
Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia masih melihat bahwa Megawati akan berwujud seperti Soekarno. Ekspektasi (pengharapan) masyarakat terhadap kepemimpinan gaya Soekarno tercurah pada Megawati. Karena itu tak heran jika Megawati didukung habis-habisan oleh kalangan penganut Soekarnois.
Sedangkan pendekatan teori kepemimpinan “sifat tersendiri” adalah bahwa pemimpin berbeda dengan massa rakyat karena mereka memiliki ciri atau “sifat tersendiri” yang sangat dihargai. Teori ini memunculkan teori “orang besar” yakni orang yang memiliki keinginan, sifat, dan kemampuan untuk melakukan hal-hal yang besar. Contoh orang-orang yang masuk dalam teori ini adalah Napoleon Bonaparte dan Mahatma Gandhi. Varian dari teori ini memunculkan tiga ciri yakni; manusia ulung yang menghancurkan kaidah-kaidah tradisional dan menciptakan suatu nilai-nilai baru bagi suatu bangsa, pahlawan yang mengabdikan dirinya untuk tujuan yang besar dan mulia, serta pangeran yang termotivasi oleh hasrat untuk mendominasi pangeran-pangeran lainnya (Nimmo, 1999:39).
Dari segi kepemimpinan, tampaknya Megawati perlu mengubah pola kepemimpinannya , jika ingin partainya memenangkan pemilu 2014. Selama ini, gaya kepemimpinan Megawati terkesan tanpa arah yang jelas. Yang terjadi hanyalah sekedar mempertahankan dan mengamankan kepemimpinan politiknya dalam jangka pendek. Megawati dapat dikatakan masuk dalam salah satu varian teori kepemimpinan “sifat tersendiri”. Lihat saja, Megawati dan partainya menjadi sasaran utama rezim orde baru. Ini dapat dianggap sebagai kegiatan dari varian pertama dimana seorang pemimpin menghancurkan kaidah-kaidah tradisional dan menciptakan suatu nilai-nilai baru bagi suatu bangsa.
Selain dua teori kepemimpinan diatas, kepemimpinan Megawati terasa lebih kuat kecenderungannya pada teori kepemimpinan situsionalis. Teori kepemimpinan situsionalis menyebutkan bahwa waktu, tempat, dan keadaan menentukan siapa yang memimpin dan siapa pengikut. Megawati hadir ketika masyarakat Indonesia sudah jenuh dengan gaya kepemimpinan orde baru Presiden Soeharto. Ketika emosi masyarakat meledak-ledak, Megawati muncul dengan PDI-Perjuangan. Dia beridiom bahwa partainya merupakan partai wong cilik.
Masyarakat terenggut simpati. PDI-Perjuangan memperoleh dukungan mayoritas dari rakyat Indonesia pada pemilu 1999. Dan, Megawati dihantarkan duduk menjadi pemimpin bangsa ini.
Realitas empirik membuktikan, Megawati yang memiliki kharisma sebagai putri pertama Proklamator Bung Karno, adalah tokoh pemberani yang paling berpengaruh melawan tindakan tidak demokratis dari pemerintah yang cenderung otoriter ketika itu. Saat tokoh-tokoh nasional (termasuk yang kemudian menjadi tokoh dan pahlawan reformasi) masih membungkuk-bungkuk di hadapan Pak Harto, Megawati dengan caranya sendiri, tanpa banyak bicara, secara konsisten telah berani melawan tanpa kekerasan. Dia menempuh jalan demokrasi dan hukum.
Saat tokoh yang lain masih membeo atau diam pasif tak berani, Megawati yang dikekang tampil berani menghadapi berbagai tantangan dan risiko memasuki gelanggang politik dengan segala kemampuan dan keterbatasannya. Dia all out dengan keyakinan untuk menegakkan demokrasi dan reformasi di NKRI ini, tanpa kekerasan dan tanpa balas dendam. (Sikap tanpa balas dendamnya telah pula kemudian disalahartikan banyak politisi dan pengamat sebagai kelemahan untuk merongrong kepemimpinannya).
Cobalah kita sejenak menoleh ke belakang. Siapa-siapa tokoh yang berani melawan Pak Harto sebelum Megawati memukul genderang perlawanan terbuka pada Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya tahun 1993? Hanya sedikit tokoh yang berani bertindak dan bersuara melawan kehendak pemerintah ketika itu.
Barulah setelah Megawati mengadakan perlawanan terbuka terhadap kekuasaan yang represif, nyali tokoh-tokoh lainnya mulai bangkit. Sebagian pada mulanya ikut menambangi, mensupport dan membela perjuangan (perlawanan) Megawati. Dia telah menjadi simbol dan inspirasi perlawanan terhadap kekuasaan yang cenderung otoriter ketika itu. Bukan hanya politisi yang mulai terinspirasi dan terpicu keberaniannya ketika itu, tetapi juga para pengamat yang sebelumnya bungkam atau malah memuja-muji, juga para pengacara dan mahasiswa.
Mereka yang satu garis perjuangan atau tidak dengan Megawati, terinspirasi untuk bangkit bersama. Mereka berkumpul dan berani berorasi menumpahkan segala kemarahan terhadap penguasa yang represif di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta. Keberanian yang dibayar mahal, karena kantor itu diserang aparat dan orang-orang tertentu atas kehendak penguasa. Peristiwa tahun 1996 itu, kemudian dikenal dengan sebutan Kudatuli (Kasus 27 Juli).
Peristiwa itu, tak menyurutkan perlawanan Megawati. Dia sangat sadar bahwa dibutuhkan seorang pemimpin sebagai simbol perlawanan untuk menegakkan demokrasi, keadilan dan kesejahteraan rakyat di negeri ini. Jika dia surut, gerbong perlawanan yang sudah makin membesar di belakangnya itu pun akan berhenti. Jika gerbong perlawanan itu berhenti, maka reformasi pun tidak akan terjadi. Maka dia pun terus berjuang dengan caranya yang tidak banyak bicara, tapi terus melangkah maju ke medan tempur sesengit apa pun dan menghadapi risiko apa pun itu. Dia kuat bahkan sungguh kuat. Dia perempuan keibuan berjiwa emas dan berhati baja.
Kini setelah Megawati memimpin negeri ini, masih layakkah dia kembali memimpin? Survei opini publik yang dilakukan International Foundation for Election System (IFES) tahun 2003 menunjukkan bahwa Megawati masih didambakan menjadi presiden pada tahun 2004 dengan memperoleh dukungan dari responden sebanyak 13,7 %. Dibawah Megawati muncul sejumlah nama seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Abdurrahman Wahid, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra. Dari hasil survei ini pula terlihat bahwa Megawati lebih banyak dipilih di kalangan rural (pedesaan) ketimbang di kalangan urban (perkotaan).
Inilah yang kemudian membedakan pemimpin dengan orang lain atau masyarakat biasa. Dengan sindroma yang dimilikinya, misalnya, pemimpin itu bisa menonjol karena lebih tinggi, lebih besar, lebih bersemangat, lebih pintar, percaya diri, tenang dan sebagainya. Selain itu, pemimpin juga harus merefleksikan interaksi kepribadian pada kepemimpinannya dengan kebutuhan dan pengharapan para pengikutnya.

Penulis :
Irham
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
Unhas

No comments:

Post a Comment

Simpan komentar anda di sini?