Analisis Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah Di Tinjau dari Segi Pertanahan
Kekuasaan yang dibagi-bagi, niscaya tidak akan bertahan lama. Itulah sepenggal pernyataan dari sang penguasa (il principe) oleh Niccolo Machiavelli. Di Indonesia, pernyataan ini seakan-akan menjadi justifikasi dari keadaan Negara yang carut marut akibat pembagian kekuasaan. Pernyataan ini ada benarnya jikalau kita melihat langgengnya kekuasaan pada masa orde baru, di mana dengan sistem sentralisasi, kekuasaan dan kewenangan berada sepenuhnya di tangan Pemerintah Pusat (Pempus) dalam hal ini presiden dan pemerintah daerah (Pemda) seakan-akan hanya menjadi pelengkap pertanggungjawaban administratif dari pemerintah pusat. Hal inilah yang menyebabkan kekuasaan dapat bertahan lama. Pada masa ini, Pemda dalam berbagai bidang pemerintahan, hanya dapat melaksanakan wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat secara terbatas (UU No. 5 Tahun 1997). Dalam hal ini, hubungan kewenangan antara Pempus dan Pemda dijalankan berdasarkan prinsip Residu, dimana Pempus telah menentukan terlebih dahulu apa yang menjadi wewenangnya dan sisanya menjadi tugas Pemda)
Seiring berkembangnya isu demokratisasi melalui penerapan UU No. 22/1999 Jo UU No. 32/2004 mengenai pemerintah daerah, paradigma pelaksanaannya mengalami perubahan yang mendasar, di mana melalui asas desentralisasi dengan konsekuensi logisnya Otonomi Daerah (Otoda), hubungan kewenangan antara keduanya lebih demokratis. Adanya perubahan paradigma ini kemudian menyebabkan suatu pergeseran pola hubungan kewenangan antara Pempus dan Pemda dengan prinsip Formal, dimana urusan-urusan yang termasuk dalam rumah tangga daerah tidak secara priori ditetapkan atau dengan Undang-Undang, dalam hal ini daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya.
Melalui adanya suatu perubahan mendasar dalam pola hubungan kewenangan antara Pempus dan Pemda tentunya menimbulkan sejumlah harapan yang besar di kalangan pemerintah dan masyarakat dalam pencapaian tujuan bangsa dan Negara. Namun, jikalau dianalisis lebih jauh, maka Otoda yang selama ini dibanggakan hanyalah merupakan sebuah angin segar atau bayangan semu dari apa yang seharusnya sebagaimana diamanahkan dalam UU No. 32/2004. Dalam hal ini, Pempus tampaknya setengah hati atau tidak sepenuhnya melepaskan apa yang seharusnya menjadi wewenang Pemda,”Pemda masih menjadi bayang-bayang Pempus”. Salah satu permasalahan pokok yang mendasari argumentasi bahwa Hubungan kewenangan antara Pempus dan Pemda tidak sejalan dengan aturan yang ada dapat ditilik dari segi Keagrariaan dalam hal ini Pertanahan.
Dalam UUPA No. 5/1960 Mengenai konsep dasar Keagrariaan, memang sangat nampak adanya hegemonisasi dari Pempus kepada Pemda dari segi kewenangan pertanahan. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai aturan yang ada dalam UUPA tersebut yang sekalipun sudah lama belum direvisi, di mana aturan tersebut memberikan kewenangan yang besar kepada Pempus untuk mengurusi pertanahan.Sebagai contoh dalam UUPA Pasal 2 Ayat 4,”Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”. Dalam pasal ini terlihat jelas bahwa daerah swatantra (daerah otonom) hanya diberikan wewenang atas tanah sebatas diperlukan dan jelas harus sesuai dengan keputusan Pempus. Memang agak Nampak sedikit pelimpahan wewenang pertanahan dari Pempus kepada Pemda sebagaimana dinyatakan dalam pasal 14 ayat 3 dan 4 di mana Pemda mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan cirri khas daerah masing-masing, namun diberlakukan setelah mendapatkan izin/ pengesahan dari Pempus.
Seiring berkembangnya dinamika pemerintahan, di mana yang menjadi titik tolak pelaksanaan demokrasi adalah adanya desentralisasi, maka perlahan-lahan kewenangan mulai dilimpahkan oleh Pempus kepada Pemda, melalui UU No. 22/1999 Jo UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping itu dibuat pula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, yang merupakan turunan UU No. 22/1999, namun tidak satu pun yang menyebut pemda punya kewenangan pertanahan.
Sebagai pelaksanaan dari UU No 22/1999 tersebut, diatur dalam PP No 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Kewenangan Pemerintah (yang dalam PP ini dimaksud Pemerintah Pusat) hanya meliputi 5 hal yaitu: (1) penetapan persyaratan pemberian hak-hak atas tanah; (2) penetapan persyaratan land reform; (3) penetapan standard administrasi pertanahan; (4) penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan; dan (5) penetapan Kerangka Dasar Kadastral Nasional dan pelaksanaan pengukuran Kerangka Dasar Kadastral Nasional Orde I dan II. Sedangkan kewenangan Pemerintah Provinsi dalam bidang pertanahan tidak diatur dalam PP ini. Sehingga kewenangan pertanahan lainnya menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan tidak adanya kewenangan Provinsi dalam bidang pertanahan, maka ada bagian penghubung yang hilang antara Pusat dan Kabupaten/Kota sehingga sulit dijamin konsistensi kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan berbagai pertimbangan bahwa pelaksanaan pemerintahan haruslah demokratis, maka melalui UU No. 32/2004 dijelaskan bahwa terdapat 30 kewenangan Pemda dan 5 Kewenangan Pempus, di mana salah satu kewenangan Pemda adalah kewenangan di bidang pertanahan. Namun di sisi lain, pemerintah malah menerbitkan PP No 10/2006 yang memberi kewenangan penuh kepada Badan Pertanahan Nasional dalam pertanahan. Belum selesai revisi terhadap PP No. 25/2000, sudah terbit PP No.10/2006 yang jelas-jelas menunjukkan inkonsistensi desentralisasi oleh Pempus kepada Pemda. Padahal jika dianalisis lebih jauh, wewenang Pemda cukup besar sebagaimana tersirat dalam aturan yang lebih tinggi, yakni UUD’45 Pasal 18 hasil amandemen IV, di mana disebutkan bahwa Setiap Provinsi, Kota/Kabupaten mempunyai pemerintahan daerah yang otonom berdasarkan Undang-Undang. Selain itu juga disebutkan bahwa hubungan antara Pempus dan Pemda diatur dengan Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Jadi jelaslah bahwa ada ketidaksingkronan antara aturan yang satu dengan aturan yang lain.
Menurut hemat penulis, seyogyanya ada aturan yang jelas yang menyatakan secara tegas mengenai pembagian kewenangan pertanahan antara Pempus dan Pemda agar tidak terjadi tarik ulur dalam pelaksanaannya. Jikalau tidak demikian, maka fenomena klasik akan kembali terulang sebagaimana yang pernah terjadi pada awal era otonomi, di mana disatu sisi Pempus menyatakan bahwa kewenangan atas pertanahan ada padanya melalui instansi BPN Pusat dengan Kanwil BPN di daerah sebagai perpanjangan tangannya, sementara di sisi lain Pemda dengan berbekal Otoda juga mendirikan dinas pertanahan di Kab/Kota yang menyebabkan tumpang tindih tugas dan fungsi yang mengarah pada inifisiensi pemerintahan.
Memang jikalau berbicara mengenai siapa yang lebih tahu mengenai kondisi daerahnya masing-masing, sudah barang tentu jikalau Pemda berkeras bahwa kewenangan atas tanah ada diwilayahnya. Namun jikalau berbicara mengenai reformasi Agraria, maja jelas dibutuhkan suatu aturan formal yang holistik (kebijakan nasional) yang dapat menjembatani hubungan antara keduanya, di mana dikarenakan tanah merupakan kekuasaan dari Negara, maka kekuasaan untuk menetapkan aturan tersebut berada di tangan Pempus. Jikalau masing-masing berkeras, maka berbagai permasalahan akan tanah tak kunjung diminimalisir. Kasus lain yang baru saja menggema di telinga kita, di mana telah merebaknya penyewaan bahkan penjualan pulau di beberapa daerah. Hal ini jika dianalisis lebih jauh akan berujung pada permasalahan tarik ulur antara keduanya, dalam hal ini Pempus dan Pemda. Pulau sebagai bagian dari bumi (pasal 33) dikatakan merupakan kekuasaan Negara, yang olehnya menjadi tanggungjawab dari Pempus. Namun berbekal UU. No. 32/2004, Pemda mengambil alih wewenang tersebut sehingga dengan mudahnya melakukan penyewaan/penjualan demi pendapatan daerah. Contoh lainnya seperti yang terjadi di Papua, Aceh, Sulsel dan beberapa daerah lainnya yang hasil kekayaan alamnya (tambang), di mana terdapat tarik ulur yang sama antara Pempus dan Pemda dalam pengelolaannya. Hal yang sama terjadi untuk produk tanah lainnya (hutan), di mana hal ini paling banyak terjadi di Kalimantan yang juga merebak fenomena yang sama.
Berdasarkan hasil analisis singkat di atas, maka penulis menarik suatu garis pemahaman bahwa pembagian kewenangan antara Pempus dan Pemda dalam hal pertanahan belum sesuai sebagaimana yang diharapkan, di mana senantiasa terjadi tarik ulur kepentingan antara keduanya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu aturan yang tegas yang mengatur keduanya atau jikalau diharuskan suatu konsensus, maka haruslah ditentukan secara tetgas batasan-batasan yang jelas mengenai pembagian kewenangan antara keduanya.
Sumber : UUPA 1960 Tentang Konsep Dasar Keagrariaan, UU. No 5/1997 Jo 22/1999 Jo 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, PP No. 10/2006 tentang BPN.
No comments:
Post a Comment
Simpan komentar anda di sini?